Minggu, 26 Februari 2023

Kamis, 10 November 2022

SELAYANG PANDANG ANIEM EMBONG WUNGU SURABAYA

 

 
ANIEM Embong Wungu (foto koleksi Tropenmuseum)

Gedung kantor PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi Jawa Timur tidak bisa dilepaskan dari sejarah masuknya listrik di Kota Surabaya. Gedung ini semula dimiliki oleh Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) di Jalan Embong Wungu nomor 4-6 Surabaya. 

Rabu, 26 Oktober 2022

ALUMNI SAMBANG COR JESU

 

Kampus Cor Jesu 1920 (foto koleksi Tropenmuseum)

 

Sampeyan kan alumni kene… ngerti gak, sejarahe bangunan iki?”

Sabtu, 16 Juli 2022

INGAT AKU DI BULAN JULI

(Foto koleksi Jenik Kristin)

 

Sidang Pembaca, bolehlah kiranya saya ajak Anda sekalian kembali ke masa lalu.

Hari itu tanggal 31 Juli 1947, Kamis pagi.

Bulan Ramadhan, bulan yang suci.

Waktunya sekitar jam 7 pagi.

Kota Malang sedang dingin-dinginnya, walaupun pagi jarang berkabut.

Mungkin seperti pagi ini, tanggal 16 Juli 2022, ketika kita semua bersama komunitas Malang Old Photo menelusuri Jalan Salak (kini Jalan Pahlawan Trip), yang sejarahnya bersimbah darah.

Pagi itu, remaja-remaja tanggung, beberapa bahkan belum tumbuh kumis walaupun sudah akil balik, bersiap-siap menyambut pasukan Belanda di seberang asrama mereka di Jalan Salak.

Pagi seperti itu, harusnya mereka duduk manis di bangku sekolah, mendengarkan guru menerangkan di depan kelas.

Tapi perang merampas kemewahan kecil seperti datang ke sekolah pagi-pagi, bergurau dengan teman-teman, mendengarkan suara guru sambil sesekali terkantuk-kantuk, dan kadang-kadang menggerutu karena banyaknya tugas sekolah.

Bumi pertiwi memanggil, dan mereka menjawab panggilan itu.

Seperti halnya sejawat mereka yang tergabung dalam pasukan Tentara Genie Pelajar, mereka adalah pelajar yang tergabung dalam pasukan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Bila sejawat mereka adalah para pelajar sekolah teknik, mereka adalah pelajar sekolah umum.

Sama-sama pelajar rasa tentara, tentara rasa pelajar.

Pandangan mereka diarahkan ke Betek, karena diprediksi, pasukan Belanda datang dari Batu. Berdasarkan perhitungan, Belanda takkan bisa melewati Sungai Porong karena jembatan sudah dihancurkan, sehingga mereka pasti lewat Batu.

Semua harap-harap cemas. Kota Malang sudah dibumi hangus. Rintangan sudah dipasang sepanjang jalan dari Lawang ke Malang dalam upaya menahan majunya pasukan Belanda.

Tapi tetap saja mereka tahu: mereka kalah jumlah, kalah senjata.

Pertahanan kota sebenarnya sudah dibagi: tentara TRIP mempertahankan wilayah mulai asrama mereka di Jalan Salak sampai dengan wilayah Bareng. Tentara Hizbullah, Sabilillah, dan lain-lain mempertahankan wilayah alun-alun. Hamid Rusdi dan pasukannya berjaga di Malang Selatan.

Maka di situlah mereka berada. Pasukan TRIP patuh pada perintah.

Pagi itu, pagi yang dingin, di bulan yang suci, mereka berjaga.

Di langit, pesawat-pesawat tempur Belanda meraung-raung. Menukik, menjulang, menukik, menjulang. Entah apa yang mereka cari. Entah apa yang mereka buru.

Tak terbayang kagetnya remaja-remaja pasukan TRIP ketika pasukan Belanda justru datang dari Jalan Buring. Jalan di samping Gereja Ijen itu dipenuhi gemuruh suara tank dan salakan senapan yang sesekali terdengar.

Di ujung Jalan Buring, pasukan Belanda berhenti, memandang remaja-remaja tanggung yang duduk meringkuk di belakang barikade di seberang jalan.

Pasukan TRIP terpaku memandang pasukan Belanda yang datang. Musuh yang tak diduga datang dari arah yang tak diduga.

Korps Marinir Belanda.

Pantas saja bahkan penjagaan Sungai Porong pun bisa mereka libas.

Entah siapa yang menembak duluan, namun segera saja peluru dibalas peluru. Tentara Belanda berada di atas angin karena tank-tank yang mereka bawa merangsek dengan mudah seperti pisau panas membelah mentega.

Pasukan TRIP tidak punya tempat berlindung. Apalah artinya barikade sederhana, bila lawannya adalah meriam nan perkasa dan hujan peluru yang tak ada habisnya?

Namun menyerah tak pernah jadi pilihan.

Mau dikemanakan harga diri kami, Tuan?

Satu demi satu pasukan TRIP jatuh seperti daun yang gugur dari pohon yang meranggas di musim kemarau.

Melihat anak buahnya gugur satu demi satu, Susanto, Komandan Batalion 5000, berlari ke arah tank terdekat. Granat yang sudah dicabut pinnya tergenggam di tangan. Tujuannya jelas: menghancurkan turret meriam di hadapannya.

Langkahnya terhenti ketika butir-butir peluru menembus tubuhnya.

Ia jatuh mencium Bumi.

Melihat Susanto tersungkur, sopir tank banting setir.

Dilindasnya tubuh anak lelaki yang hari itu membuktikan bahwa ia senilai seribu lelaki dewasa.

Hujan peluru Belanda menghabisi anak buahnya yang tersisa.

Matahari belum lagi setinggi puncak menara Gereja, namun tiga puluh lima anggota pasukan TRIP sudah terbaring tak bernyawa.

(Foto koleksi penulis)

 

Waktu berjalan seakan merambat.

Setelah memastikan tidak ada pasukan TRIP yang selamat, pasukan Belanda menyisir wilayah Jalan Ijen dan sekitarnya untuk mencari sisa-sisa pasukan.

Dalam keheningan yang menyusul, timbunan mayat pasukan TRIP bergerak-gerak. Satu, dua, tiga orang penyintas muncul dari bawah tumpukan. Tubuh-tubuh sejawat mereka yang gugur menyelamatkan mereka dari pemeriksaan pasukan Belanda.

Tak ada waktu lagi untuk sekedar berduka. Pasukan Belanda bisa datang kembali sewaktu-waktu. Ketiganya lari lintang-pukang ke arah perkampungan terdekat, mencari pertolongan.

Marah, sedih, takut, ngeri. Semua itu menggerakkan kaki-kaki mereka lebih cepat dari biasanya, memacu tubuh mereka lebih kuat dari biasanya, hingga hambatan tembok setinggi apapun tak ada artinya bagi mereka.

Namun para penolong mereka juga tak bisa berbuat apa-apa. Pasukan Belanda masih ada di mana-mana.

Karena itu, proses pemakaman pasukan TRIP yang gugur di Jalan Salak baru bisa dilakukan esok harinya.

Tempat mereka gugur menjadi rumah mereka yang abadi.

Hari itu tanggal 31 Juli 1947, Kamis pagi.

Bulan Ramadhan, bulan yang suci.

Waktunya sekitar jam 7 pagi.

Mereka bukan lagi anak-anak, tapi belum pula dewasa ketika pergi.

 

 

 

(sebagaimana dikisahkan Margono Ongko, penyintas Pertempuran Jalan Salak, anak buah almarhum Susanto, kepada Irawan Prajitno).

Minggu, 29 Mei 2022