Senin, 16 Desember 2024

(TIDAK JADI) HUJAN DI PASURUAN

 

Waduh, telat, rek! Maaf, maaf...

Perjumpaan tak sengaja dengan seorang teman lama di pojok Goedangweg membuatku terlambat beberapa menit dari jadwal keberangkatan ke Pasuruan.

Sabtu pagi tanggal 14 Desember 2024 itu mendung. Dalam hati aku berdoa supaya langit berbaik hati dan menahan turunnya hujan selama kami di Pasuruan. Setelah kehujanan berkali-kali sehari sebelumnya di Sidoarjo, aku tak yakin bisa survive kalau hari itu berbasah-basah lagi.

Teman-teman dari Indonesia Cultural Heritage sudah menunggu di kedai kopi.

 

 

Menjelang berangkat (Foto Koleksi ICH)

 

Tanpa buang waktu, kami berangkat. Dear Pasuruan, tunggu kami, ya!

Mengapa Pasuruan?

Konon, kota kecil ini menyimpan hidden gem yang menarik disambangi. Mari kita buktikan.

The first gem yang kami kunjungi adalah Klenteng Tjoe Tik Kiong di Jalan Lombok. Pengelola Klenteng, bapak Yudi Dharma Santosa, menyambut kami dengan ramah.

 

 

Bapak Yudi Darma Santosa (Foto Koleksi Penulis)

 

Klenteng Tjoe Tik Kiong didirikan pada tahun 1625. Tidak hanya merupakan tempat ibadah Tridharma, namun juga tempat aktivitas bagi etnis Tionghoa. Klenteng ini juga menjadi salah satu tempat berkumpulnya warga Pasuruan untuk beraktivitas, mengindikasikan leburnya Klenteng dengan masyarakat.

Menariknya, Pak Yudi menyatakan bahwa Klenteng Tjoe Tik Kiong ini punya kembaran di Tulungagung. Setelah googling, klenteng di Tulungagung ternyata juga bernama Klenteng Tjoe Tik Kiong.

Menyisakan pertanyaan, adakah kesamaan sejarah dan filosofi antara kedua klenteng ini?

Selanjutnya, Pak Yudi membawa kami mengunjungi ruangan-ruangan dalam klenteng.

Jangan lupa, memasuki klenteng wajib masuk lewat pintu Naga, keluar lewat pintu Harimau. Pintu Naga dan pintu Harimau ditandai dengan jendela bundar di samping pintu, masing-masing menggambarkan sosok Naga dan Harimau.

 

 

Masuk lewat Pintu Naga (Foto Koleksi Penulis) 

 

Keluar lewat Pintu Harimau (Foto Koleksi Penulis)

 

Bergeser dari Klenteng Tjoe Tik Kiong, kami menuju Stasiun Pasuruan di Jalan Stasiun. Fasad depan stasiun yang serupa dengan Stasiun Pasuruan tinggal Stasiun Probolinggo. Stasiun Kota Malang pernah memiliki fasad serupa, ketika stasiun lama masih menghadap Jalan Panglima Besar Soedirman (kurang lebih di lokasi stasiun yang baru). Tentunya sebelum dibangun pintu stasiun yang menghadap Goedangweg (Jalan Trunojoyo).

 

 

Stasiun Pasuruan (Foto Koleksi Penulis)

 

Selanjutnya, kaki melangkah menuju Gereja Santo Antonius Padua di Jalan Balaikota. Pembangunan gereja Katolik ini tak bisa dilepaskan dari keterlibatan pengusaha kaya Belanda bernama Alexander Manuel Anthonys. Diperlukan waktu 70 tahun sejak mulainya pembangunan gereja pada tahun 1825 hingga pemberkatannya pada tahun 1895 oleh Mgr. Walterus Jacobus Staal.

 

 

Gereja Santo Antonius Padua (Foto Koleksi Penulis)


Istimewanya, dalam kunjungan ini aku berkesempatan melihat relikui Santo Antonius dari Padua, Italia yang disimpan dalam gereja. Menurut Pak Irawan, sebenarnya setiap gereja menyimpan relikui orang suci, namun tidak semua bisa diakses oleh pengunjung.

 

 

Relikui disimpan di sini (Foto Koleksi Penulis)


Seorang kerabat yang lama tinggal di Eropa, sambil mengikuti update status media sosialku ketika melihat foto Gereja Santo Antonius Padua, berkomentar, “Kayak di Eropa Timur...”

Wah, benarkah?

Semoga kami semua ada rejeki lebih sehingga bisa menjelajahi bangunan-bangunan bersejarah di Eropa.

Gedung Sociteit Harmonie di Jalan Pahlawan adalah tujuan kami selanjutnya. Gedung yang megah ini adalah penanda masa lalu Pasuruan sebagai kota komersial pada jaman penjajahan Belanda. Banyaknya pedagang, juragan perkebunan, dan bangsawan yang singgah di Pasuruan menimbulkan kebutuhan akan sarana hiburan yang mumpuni.

 

 

Gedung Sociteit Harmonie (Foto Koleksi Penulis) 

 

Sesungguhnya, Gedung Sociteit Harmonie yang kami kunjungi ini bukanlah yang pertama kali didirikan di Pasuruan. Gedung ini baru didirikan pada tahun 1858, pada masa residen CPC Steinmetz.

Pada tahun 1921 dilakukan renovasi dalam bentuk penggantian ubin marmer dengan ubin keramik pada beberapa bagian gedung. Saat ini hasil renovasi tersebut masih bisa dilihat.

 

 

Before: Marmer, After: Keramik (Foto Koleksi Penulis)

 

Plakat renovasi 1921 (Foto Koleksi Penulis) 

 

Sisa-sisa marmer pasca renovasi masih rapi tersimpan di tempat penyimpanan di bawah panggung. Sekilas, tempat penyimpanan tersebut mirip dengan tempat penyimpanan yang ada di bawah panggung di lingkungan SMA Tugu di Malang.

 

 

Marmer sisa renovasi disimpan di sini (Foto Koleksi Penulis) 

 

Setelah tentara Jepang diusir keluar dari Pasuruan, sekitar periode Masa Bersiap, gedung Sociteit Harmonie menjadi tempat transit bagi warga asing yang hendak dipulangkan ke negara asalnya.

Lokasi selanjutnya adalah kompleks Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Lembaga yang berfokus pada penelitian produk pergulaan dan pemanis ini telah didirikan pada tahun 1887, dulu dengan nama Proefstation Oostjava (POJ). Usia lembaga yang sudah lebih seabad membawa kisah yang panjang pula, paling tidak bisa disaksikan dari peninggalan-peninggalan yang ada.

 

 

Gedung P3GI (Foto Koleksi Penulis) 

 

Ruang-ruang laboratorium P3GI masih orisinil dan tetap digunakan hingga saat ini. Hingga tahun 1950-an, P3GI masih menerima kiriman sampel-sampel tanah dari berbagai daerah di Indonesia dan dari seluruh dunia. Laboratorium tanah P3GI juga masih aktif hingga hari ini, walaupun teknologi penelitian tanah sudah sangat berkembang, sehingga sudah tidak diperlukan pengiriman sampel tanah lagi.

 

 

Laboratorium tanah P3GI (Foto Koleksi Penulis)

 

Sampel tanah dari dalam dan luar negeri (Foto Koleksi Penulis)

 

Perpustakaan lama P3GI masih menyimpan buku-buku edisi tahun 1800-an, sehingga nuansa Perpustakaan Hogwarts sangat terasa. Rak-rak kayu menjulang dari lantai hingga langit-langit. Buku-buku koleksi perpustakaan P3GI juga sangat menarik. Banyak di antaranya dihiasi ilustrasi indah, 100% lukisan tangan dengan kualitas kertas dan gambar yang prima sehingga bisa bertahan selama ratusan tahun.

 

 

Bukan Perpustakaan Hogwarts, ini perpustakaan lama P3GI (Foto Koleksi Penulis)

 

Edisi 1800-an (Foto Koleksi ICH)

 

Lukisan tangan dengan detil yang luar biasa (Foto Koleksi ICH) 

 

Kami juga berkesempatan menikmati Sugar Cane, produk minuman khas P3GI. Limited edition, tidak diperjualbelikan,  dan hanya bisa dinikmati on location. Rasanya mirip dengan sari tebu yang dijual di tepi jalan, namun yang ini dipastikan tebu asli yang segar dan menyegarkan.

 

 

Sweger pwooolll (Foto Koleksi Penulis) 

 

Setelah menikmati sebotol Sugar Cane, kami meluncur ke Jalan Hasanuddin, ke Gedung Pancasila, yang dulu merupakan kediaman pribadi keluarga Han. Seperti halnya Gedung Sociteit Harmonie yang dimiliki oleh sebuah yayasan pendidikan bernama Yayasan Untung Suropati, Gedung Pancasila dimiliki oleh Yayasan Pendidikan Pancasila.

Penggunaan Gedung Pancasila sebagai fasilitas pendidikan menyebabkan lokasi di sekitar gedung ramai digunakan oleh masyarakat untuk beraktivitas. Pada saat kami datang, halaman depannya dipenuhi anak-anak dan remaja yang sedang berlatih bola basket.

 

 

Gedung Pancasila yang penuh aktivitas (Foto Koleksi Penulis)

 

Menariknya, walaupun dalam kondisi kosong tanpa perabot, Gedung Pancasila masih menyimpan peninggalan keluarga Han. Makam salah satu anggota keluarga tersebut masih bisa ditemukan di sudut halaman Gedung Pancasila. Letak makam yang berada di tengah kebun yang liar tak terawat tak menyurutkan niat rekan-rekan ICH untuk berkunjung. Kondisi makam yang utuh, nyaris seperti terawat, merupakan imbalan yang memuaskan setelah diserbu pasukan nyamuk kebun yang lumayan ganas. Inskripsi yang tertera pada batu nisan menimbulkan rasa penasaran.

 

 

Makam anggota keluarga Han (Foto Koleksi Penulis)

 

Bikin penasaran aja (Foto Koleksi ICH) 

 

Tujuan akhir kami sebelum kembali ke Kota Malang adalah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) PNIEL yang terletak di Jalan Cemara. Gereja Protestan ini diresmikan pada tanggal 15 November 1829 dengan nama De Protestanse Kerk te Pasoeroean.

 

 

GPIB PNIEL (Foto Koleksi Penulis)

 

Gereja ini menyimpan kenangan kelam karena pernah dibakar habis dalam kerusuhan pada tahun 2001. Yang tersisa dari bangunan asli hanyalah tembok dan tiang-tiang penopang bangunan. Segala benda peninggalan Belanda yang terbuat dari kayu dan kaca ludes tak bersisa. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia saat itu, mendorong pembangunan kembali GPIB PNIEL dengan mempertahankan bentuk aslinya.

 

 

Interior GPIB PNIEL setelah renovasi pasca 2001 (Foto Koleksi ICH)

 

Ah ya, istimewanya Pasuruan. Lebih istimewa lagi bagiku, karena hari itu, tidak jadi hujan di Pasuruan.

Seorang sahabat berkomentar, “Lohh apik yo tibake Pasuruan... Omku nggone nang kono tapi aku jarang banget mrono.”

(Lohh bagus ya ternyata Pasuruan... Omku rumahnya di sana, tapi aku jarang sekali ke sana).

Membaca komentarnya aku tertawa kecil.

Tuh, kan. Sekarang, ada alasan (lebih) untuk mengunjungi Pasuruan, bukan?

 

 

 Tulisan ini sudah tayang di https://www.kompasiana.com/arek-tembalangan/67602dd234777c310a33d743/tidak-jadi-hujan-di-pasuruan