Senin, 16 Desember 2024

(TIDAK JADI) HUJAN DI PASURUAN

 

Waduh, telat, rek! Maaf, maaf...

Perjumpaan tak sengaja dengan seorang teman lama di pojok Goedangweg membuatku terlambat beberapa menit dari jadwal keberangkatan ke Pasuruan.

Sabtu pagi tanggal 14 Desember 2024 itu mendung. Dalam hati aku berdoa supaya langit berbaik hati dan menahan turunnya hujan selama kami di Pasuruan. Setelah kehujanan berkali-kali sehari sebelumnya di Sidoarjo, aku tak yakin bisa survive kalau hari itu berbasah-basah lagi.

Teman-teman dari Indonesia Cultural Heritage sudah menunggu di kedai kopi.

 

 

Menjelang berangkat (Foto Koleksi ICH)

 

Tanpa buang waktu, kami berangkat. Dear Pasuruan, tunggu kami, ya!

Mengapa Pasuruan?

Konon, kota kecil ini menyimpan hidden gem yang menarik disambangi. Mari kita buktikan.

The first gem yang kami kunjungi adalah Klenteng Tjoe Tik Kiong di Jalan Lombok. Pengelola Klenteng, bapak Yudi Dharma Santosa, menyambut kami dengan ramah.

 

 

Bapak Yudi Darma Santosa (Foto Koleksi Penulis)

 

Klenteng Tjoe Tik Kiong didirikan pada tahun 1625. Tidak hanya merupakan tempat ibadah Tridharma, namun juga tempat aktivitas bagi etnis Tionghoa. Klenteng ini juga menjadi salah satu tempat berkumpulnya warga Pasuruan untuk beraktivitas, mengindikasikan leburnya Klenteng dengan masyarakat.

Menariknya, Pak Yudi menyatakan bahwa Klenteng Tjoe Tik Kiong ini punya kembaran di Tulungagung. Setelah googling, klenteng di Tulungagung ternyata juga bernama Klenteng Tjoe Tik Kiong.

Menyisakan pertanyaan, adakah kesamaan sejarah dan filosofi antara kedua klenteng ini?

Selanjutnya, Pak Yudi membawa kami mengunjungi ruangan-ruangan dalam klenteng.

Jangan lupa, memasuki klenteng wajib masuk lewat pintu Naga, keluar lewat pintu Harimau. Pintu Naga dan pintu Harimau ditandai dengan jendela bundar di samping pintu, masing-masing menggambarkan sosok Naga dan Harimau.

 

 

Masuk lewat Pintu Naga (Foto Koleksi Penulis) 

 

Keluar lewat Pintu Harimau (Foto Koleksi Penulis)

 

Bergeser dari Klenteng Tjoe Tik Kiong, kami menuju Stasiun Pasuruan di Jalan Stasiun. Fasad depan stasiun yang serupa dengan Stasiun Pasuruan tinggal Stasiun Probolinggo. Stasiun Kota Malang pernah memiliki fasad serupa, ketika stasiun lama masih menghadap Jalan Panglima Besar Soedirman (kurang lebih di lokasi stasiun yang baru). Tentunya sebelum dibangun pintu stasiun yang menghadap Goedangweg (Jalan Trunojoyo).

 

 

Stasiun Pasuruan (Foto Koleksi Penulis)

 

Selanjutnya, kaki melangkah menuju Gereja Santo Antonius Padua di Jalan Balaikota. Pembangunan gereja Katolik ini tak bisa dilepaskan dari keterlibatan pengusaha kaya Belanda bernama Alexander Manuel Anthonys. Diperlukan waktu 70 tahun sejak mulainya pembangunan gereja pada tahun 1825 hingga pemberkatannya pada tahun 1895 oleh Mgr. Walterus Jacobus Staal.

 

 

Gereja Santo Antonius Padua (Foto Koleksi Penulis)


Istimewanya, dalam kunjungan ini aku berkesempatan melihat relikui Santo Antonius dari Padua, Italia yang disimpan dalam gereja. Menurut Pak Irawan, sebenarnya setiap gereja menyimpan relikui orang suci, namun tidak semua bisa diakses oleh pengunjung.

 

 

Relikui disimpan di sini (Foto Koleksi Penulis)


Seorang kerabat yang lama tinggal di Eropa, sambil mengikuti update status media sosialku ketika melihat foto Gereja Santo Antonius Padua, berkomentar, “Kayak di Eropa Timur...”

Wah, benarkah?

Semoga kami semua ada rejeki lebih sehingga bisa menjelajahi bangunan-bangunan bersejarah di Eropa.

Gedung Sociteit Harmonie di Jalan Pahlawan adalah tujuan kami selanjutnya. Gedung yang megah ini adalah penanda masa lalu Pasuruan sebagai kota komersial pada jaman penjajahan Belanda. Banyaknya pedagang, juragan perkebunan, dan bangsawan yang singgah di Pasuruan menimbulkan kebutuhan akan sarana hiburan yang mumpuni.

 

 

Gedung Sociteit Harmonie (Foto Koleksi Penulis) 

 

Sesungguhnya, Gedung Sociteit Harmonie yang kami kunjungi ini bukanlah yang pertama kali didirikan di Pasuruan. Gedung ini baru didirikan pada tahun 1858, pada masa residen CPC Steinmetz.

Pada tahun 1921 dilakukan renovasi dalam bentuk penggantian ubin marmer dengan ubin keramik pada beberapa bagian gedung. Saat ini hasil renovasi tersebut masih bisa dilihat.

 

 

Before: Marmer, After: Keramik (Foto Koleksi Penulis)

 

Plakat renovasi 1921 (Foto Koleksi Penulis) 

 

Sisa-sisa marmer pasca renovasi masih rapi tersimpan di tempat penyimpanan di bawah panggung. Sekilas, tempat penyimpanan tersebut mirip dengan tempat penyimpanan yang ada di bawah panggung di lingkungan SMA Tugu di Malang.

 

 

Marmer sisa renovasi disimpan di sini (Foto Koleksi Penulis) 

 

Setelah tentara Jepang diusir keluar dari Pasuruan, sekitar periode Masa Bersiap, gedung Sociteit Harmonie menjadi tempat transit bagi warga asing yang hendak dipulangkan ke negara asalnya.

Lokasi selanjutnya adalah kompleks Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Lembaga yang berfokus pada penelitian produk pergulaan dan pemanis ini telah didirikan pada tahun 1887, dulu dengan nama Proefstation Oostjava (POJ). Usia lembaga yang sudah lebih seabad membawa kisah yang panjang pula, paling tidak bisa disaksikan dari peninggalan-peninggalan yang ada.

 

 

Gedung P3GI (Foto Koleksi Penulis) 

 

Ruang-ruang laboratorium P3GI masih orisinil dan tetap digunakan hingga saat ini. Hingga tahun 1950-an, P3GI masih menerima kiriman sampel-sampel tanah dari berbagai daerah di Indonesia dan dari seluruh dunia. Laboratorium tanah P3GI juga masih aktif hingga hari ini, walaupun teknologi penelitian tanah sudah sangat berkembang, sehingga sudah tidak diperlukan pengiriman sampel tanah lagi.

 

 

Laboratorium tanah P3GI (Foto Koleksi Penulis)

 

Sampel tanah dari dalam dan luar negeri (Foto Koleksi Penulis)

 

Perpustakaan lama P3GI masih menyimpan buku-buku edisi tahun 1800-an, sehingga nuansa Perpustakaan Hogwarts sangat terasa. Rak-rak kayu menjulang dari lantai hingga langit-langit. Buku-buku koleksi perpustakaan P3GI juga sangat menarik. Banyak di antaranya dihiasi ilustrasi indah, 100% lukisan tangan dengan kualitas kertas dan gambar yang prima sehingga bisa bertahan selama ratusan tahun.

 

 

Bukan Perpustakaan Hogwarts, ini perpustakaan lama P3GI (Foto Koleksi Penulis)

 

Edisi 1800-an (Foto Koleksi ICH)

 

Lukisan tangan dengan detil yang luar biasa (Foto Koleksi ICH) 

 

Kami juga berkesempatan menikmati Sugar Cane, produk minuman khas P3GI. Limited edition, tidak diperjualbelikan,  dan hanya bisa dinikmati on location. Rasanya mirip dengan sari tebu yang dijual di tepi jalan, namun yang ini dipastikan tebu asli yang segar dan menyegarkan.

 

 

Sweger pwooolll (Foto Koleksi Penulis) 

 

Setelah menikmati sebotol Sugar Cane, kami meluncur ke Jalan Hasanuddin, ke Gedung Pancasila, yang dulu merupakan kediaman pribadi keluarga Han. Seperti halnya Gedung Sociteit Harmonie yang dimiliki oleh sebuah yayasan pendidikan bernama Yayasan Untung Suropati, Gedung Pancasila dimiliki oleh Yayasan Pendidikan Pancasila.

Penggunaan Gedung Pancasila sebagai fasilitas pendidikan menyebabkan lokasi di sekitar gedung ramai digunakan oleh masyarakat untuk beraktivitas. Pada saat kami datang, halaman depannya dipenuhi anak-anak dan remaja yang sedang berlatih bola basket.

 

 

Gedung Pancasila yang penuh aktivitas (Foto Koleksi Penulis)

 

Menariknya, walaupun dalam kondisi kosong tanpa perabot, Gedung Pancasila masih menyimpan peninggalan keluarga Han. Makam salah satu anggota keluarga tersebut masih bisa ditemukan di sudut halaman Gedung Pancasila. Letak makam yang berada di tengah kebun yang liar tak terawat tak menyurutkan niat rekan-rekan ICH untuk berkunjung. Kondisi makam yang utuh, nyaris seperti terawat, merupakan imbalan yang memuaskan setelah diserbu pasukan nyamuk kebun yang lumayan ganas. Inskripsi yang tertera pada batu nisan menimbulkan rasa penasaran.

 

 

Makam anggota keluarga Han (Foto Koleksi Penulis)

 

Bikin penasaran aja (Foto Koleksi ICH) 

 

Tujuan akhir kami sebelum kembali ke Kota Malang adalah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) PNIEL yang terletak di Jalan Cemara. Gereja Protestan ini diresmikan pada tanggal 15 November 1829 dengan nama De Protestanse Kerk te Pasoeroean.

 

 

GPIB PNIEL (Foto Koleksi Penulis)

 

Gereja ini menyimpan kenangan kelam karena pernah dibakar habis dalam kerusuhan pada tahun 2001. Yang tersisa dari bangunan asli hanyalah tembok dan tiang-tiang penopang bangunan. Segala benda peninggalan Belanda yang terbuat dari kayu dan kaca ludes tak bersisa. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia saat itu, mendorong pembangunan kembali GPIB PNIEL dengan mempertahankan bentuk aslinya.

 

 

Interior GPIB PNIEL setelah renovasi pasca 2001 (Foto Koleksi ICH)

 

Ah ya, istimewanya Pasuruan. Lebih istimewa lagi bagiku, karena hari itu, tidak jadi hujan di Pasuruan.

Seorang sahabat berkomentar, “Lohh apik yo tibake Pasuruan... Omku nggone nang kono tapi aku jarang banget mrono.”

(Lohh bagus ya ternyata Pasuruan... Omku rumahnya di sana, tapi aku jarang sekali ke sana).

Membaca komentarnya aku tertawa kecil.

Tuh, kan. Sekarang, ada alasan (lebih) untuk mengunjungi Pasuruan, bukan?

 

 

 Tulisan ini sudah tayang di https://www.kompasiana.com/arek-tembalangan/67602dd234777c310a33d743/tidak-jadi-hujan-di-pasuruan

Rabu, 01 Mei 2024

KULINERAN ASYIK DI LENGKONG

Lelah nugas di Jakarta dan Bandung adalah alasan yang valid bagi saya untuk mulai googling hiburan untuk melepas kegabutan saya pada akhir minggu terakhir bulan April 2024.

Posisi di Bandung, tapi tidak tertarik untuk belanja ke Pasar Baru.

Alternatifnya apa?

Dari media sosial, saya mendapat informasi bahwa Bandung Good Guide berkolaborasi dengan Eat And Date pada tanggal 27 April 2024, start jam 08.00 pagi. Acaranya, kulineran di daerah Lengkong.

Lengkong itu di mana saja saya tidak tahu. Tapi tak apa. Yuk, gaskeun!

Titik kumpul di trotoar depan BSI Asia Afrika Bandung. Seperti biasa, saya bersama Juno. Hari itu, kami sarapan ringan saja, untuk memberi ruang seluas-luasnya bagi segala jenis kuliner yang akan kami sikat sepagian ini.

 

Jalan dan makan (foto koleksi Bandung Good Guide dan Eat And Date) 

Sebelum berangkat, pemandu kami, Kang Rifki dari Bandung Good Guide dan Teh Stevi dari Eat And Date membekali kami dengan peralatan makan.

 

Peralatan makan dari panitia (foto koleksi Penulis) 

Surprise yang sungguh menyenangkan. Jadi makin yakin bahwa hari ini bakal kenyang beneran.

Dari BSI Asia Afrika, tak sampai 50 meter, kami tiba di kuliner pertama: COMRO ECHO

 

Comro Echo (foto koleksi Penulis) 

"Cho"-nya mohon dilafalkan seperti "co-cok", ya... Echo, artinya dalam bahasa Jawa adalah "enak".

Pak Dani, founder Comro Echo sudah mulai berjualan comro sejak tahun 1997. Semula berjualan keliling, kini sudah menempati tempat yang permanen. Tak hanya comro, beliau juga berjualan gorengan lain, antara lain pisang goreng dan tahu isi.

 

Pak Dani sedang menggoreng comro (foto koleksi Penulis)

Buat pembaca budiman arek Malang yang tidak familiar dengan comro, comro itu adalah jemblem, makanan yang berasal dari parutan singkong yang digoreng bulat-bulat. Bedanya, comro kemudian diisi oncom pedas.

Ngomong-ngomong soal pedas, comro produksi Pak Dani ini ada dua jenis. Yang bulat sempurna, pedasnya sedang. Yang lonjong, pedasnya nendang.

 

Pedas sedang dan pedas nendang (foto koleksi Penulis) 

Comro sering dikonsumsi untuk sarapan, ditemani segelas kopi atau teh hangat. Karena itu, rata-rata penjual comro berjualan antara pukul 08.00 hingga pukul 10.00 saja.

Kalau saya sendiri, belum sarapan kalau belum makan nasi.

Puas menikmati comro sambil sedikit ber-huhhah kepedasan, kami bergeser ke Jalan Nursijan, mengunjungi MIE NURSIJAN.

 

Mie Nursijan (foto koleksi Penulis) 

Kedai mie ini didirikan oleh Pak Akiong pada tahun 1968, dan kini dikelola oleh Pak Wei Wei dan Bu Monika.

Mienya homemade, mie kecil, mirip dengan mie untuk cwie mie khas Malang.

Ngomong-ngomong soal cwie mie, saya sudah penasaran sejak melongok bahan-bahan racikan Mie Nursijan. Selain mie, tampak ada daging ayam cacah, botol-botol perbumbuan duniawi, dan kuah kaldu yang menggelegak di panci, harum menggoda selera.

Persis bahan-bahan cwie mie. Paling tidak, persis bahan-bahan cwie mie di kedai langgananku di Malang.

Mie Nursijan menyajikan mie polos dan rica, dengan base bumbu asin dan manis. Pembeli bisa memesan kombinasinya.

Saya pesan mie polos asin.

Mengasyikkan sungguh menonton Pak Wei Wei meracik mie.

 

Pak Wei Wei sedang meracik mie (foto koleksi Penulis) 

Masukkan mie ke dalam air rebusan.

Aduk rata.

Siapkan mangkok.

Segala rupa minyak bumbu dituang.

Mie ditumplekkan ke dalam mangkok.

Aduk rata bersama saos dan minyak.

Taburi daging ayam cacah.

Kuah kaldu ayam kampung dihidangkan di mangkok terpisah. Makin mengepul asapnya, makin menguar aromanya.

Siap disantap.

 

Mie polos asin (foto koleksi Penulis) 

Pak Wei Wei berpesan, untuk sendokan pertama, mie-nya jangan dicampur segala macam sambal dan kecap dulu, supaya kita familiar dengan rasa asli hidangan tanpa embel-embel.

Untuk yang satu ini, saya sepenuhnya setuju dengan Pak Wei Wei.

Saya juga, paling anti mengublek sambal, saos, dan kecap ke dalam mie atau bakso. Kuah tetap jernih. Rasa asli tetap terjaga.

Mie atau bakso yang memang enak, pasti tetap enak walaupun tanpa ublekan saos, sambal, kecap, dan lain-lain.

Tampilan mie yang kemudian muncul di hadapanku serupa dengan cwie mie. Semangkok mie, dengan taburan ayam cacah, ditemani semangkok kuah di sisinya. Tanpa pangsit, brambang (bawang merah) goreng, dan potongan acar mentimun-cabai. Pun ketika kucoba melongok dasarnya, tak kutemukan potongan sayur sawi rebus atau selada yang biasanya menghiasi semangkok cwie mie.

Selebihnya?

Sebelas-dua belas dengan cwie mie.

Perkara topping kiranya bukan perkara prinsip. Ada atau tidak pangsit, acar, dan sayur bukanlah hal besar.

Andai saya makan dengan mata tertutup, kiranya tak mudah membedakan mie Nursijan dengan cwie mie.

Walaupun, tentu saja, mie-nya akan kececeran kalau saya makan sambil merem.

Namun memang, kalau mau lebih teliti sedikit, minyak bawang dalam mie Nursijan terasa lebih soft daripada minyak bawang dalam cwie mie yang lebih medok.

Kenyang makan mie, saatnya melonggarkan ikat pinggang sejenak sebelum kulineran lagi. Ke mana lagi kalau bukan ke SOES STORY.

 

Soes Story (foto koleksi Penulis)

Walaupun menjual berbagai menu lain, toko kue yang memiliki speciality choux dengan resep lama ini berdiri tahun 2005 dan dikelola oleh Pak Freddy. Varian isiannya antara lain original, chocolate, marie regal, matcha, strawberry, cappuccino, dan keju. Kata Pak Freddy, para pelanggan wanita paling suka varian matcha.

Eh, kok choux? Katanya jualan kue soes...

Iya, kue soes itu tulisan aslinya choux.

Kue-kue choux ini tidak hanya lucu dan imut-imut. Isiannya juga luber dan creamy. Ukurannya mungil, sekali hap langsung masuk mulut. Tidak perlu kuatir isiannya belepotan ke mana-mana.

 

Choux-nya Soes Story (foto koleksi Penulis) 

Setelah puas icip-icip choux beraneka isian, perut sudah agak longgar, ayok jalan lagi ke BASO TAHUN SHIN-CHAN.

 

Baso Tahun Shin-Chan (foto koleksi Penulis) 

Kedai baso tahu ini didirikan oleh Bu Wahyuni pada tahun 2005.

Bagi pembaca budiman arek Malang yang tidak familiar dengan baso tahu, baso tahu adalah siomay dengan bumbu kacang, namun tanpa pare dan kubis.

Perut kenyang, mata berat, langkah (sedikit) goyah, untunglah hanya selangkah-dua langkah kami sudah tiba di KOPI TOKO TUA.

 

Kopi Toko Tua (foto koleksi Penulis) 

Segelas-dua gelas kopi tentunya bisa menyegarkan tubuh.

Juno memesan Kopi Toko Tua, minuman dingin paduan sempurna kopi dan susu, menghasilkan rasa pahit, manis, dan creamy yang seimbang.

Untukku sendiri? Sebagai penggemar coklat, pilihan pasti adalah Coklat Toko Tua untuk menyudahi acara makan-makan hari ini. Nyoklat beneran sampai tetes terakhir.

 

Ngupi dan nyoklat (foto koleksi Penulis) 

Perut kenyang, pikiran adem.

Eh, makin bahagia karena dapat tumbler sebagai hadiah tebak-tebakan lucu.

 

Horeee... dapat tumbler! (foto koleksi Penulis) 

Dalam perjalanan ke Masjid Raya Bandung untuk shalat Dzuhur, ingatan melayang lagi ke mie Nursijan yang ternyata mirip cwie mie. Bila jagad mie adalah Diagram Venn, menarik juga bahwa Bandung dan Malang ada rasa yang beririsan.

Kadang-kadang kita terlalu terfokus pada perbedaan, sampai-sampai lupa bahwa ada kalanya lebih mudah mencari kesamaan.

Ah, sudahlah...

Hujan menderas di tengah perjalanan. Bunyi tetesan hujan di kaca jendela mobil dan perut yang kenyang membikin ngantuk.

Merem sebentar, enak nih.

Selamat siang, selamat tidur... hoaaaheemmm...

 

Tulisan ini juga tayang dengan judul yang sama di Kompasiana pada akun milik Penulis:

https://www.kompasiana.com/arek-tembalangan/663248ccde948f79611e7ed2/kulineran-asyik-di-lengkong




Minggu, 26 Februari 2023

Kamis, 10 November 2022

SELAYANG PANDANG ANIEM EMBONG WUNGU SURABAYA

 

 
ANIEM Embong Wungu (foto koleksi Tropenmuseum)

Gedung kantor PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi Jawa Timur tidak bisa dilepaskan dari sejarah masuknya listrik di Kota Surabaya. Gedung ini semula dimiliki oleh Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) di Jalan Embong Wungu nomor 4-6 Surabaya. 

Rabu, 26 Oktober 2022

ALUMNI SAMBANG COR JESU

 

Kampus Cor Jesu 1920 (foto koleksi Tropenmuseum)

 

Sampeyan kan alumni kene… ngerti gak, sejarahe bangunan iki?”

Sabtu, 16 Juli 2022

INGAT AKU DI BULAN JULI

(Foto koleksi Jenik Kristin)

 

Sidang Pembaca, bolehlah kiranya saya ajak Anda sekalian kembali ke masa lalu.

Hari itu tanggal 31 Juli 1947, Kamis pagi.

Bulan Ramadhan, bulan yang suci.

Waktunya sekitar jam 7 pagi.

Kota Malang sedang dingin-dinginnya, walaupun pagi jarang berkabut.

Mungkin seperti pagi ini, tanggal 16 Juli 2022, ketika kita semua bersama komunitas Malang Old Photo menelusuri Jalan Salak (kini Jalan Pahlawan Trip), yang sejarahnya bersimbah darah.

Pagi itu, remaja-remaja tanggung, beberapa bahkan belum tumbuh kumis walaupun sudah akil balik, bersiap-siap menyambut pasukan Belanda di seberang asrama mereka di Jalan Salak.

Pagi seperti itu, harusnya mereka duduk manis di bangku sekolah, mendengarkan guru menerangkan di depan kelas.

Tapi perang merampas kemewahan kecil seperti datang ke sekolah pagi-pagi, bergurau dengan teman-teman, mendengarkan suara guru sambil sesekali terkantuk-kantuk, dan kadang-kadang menggerutu karena banyaknya tugas sekolah.

Bumi pertiwi memanggil, dan mereka menjawab panggilan itu.

Seperti halnya sejawat mereka yang tergabung dalam pasukan Tentara Genie Pelajar, mereka adalah pelajar yang tergabung dalam pasukan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Bila sejawat mereka adalah para pelajar sekolah teknik, mereka adalah pelajar sekolah umum.

Sama-sama pelajar rasa tentara, tentara rasa pelajar.

Pandangan mereka diarahkan ke Betek, karena diprediksi, pasukan Belanda datang dari Batu. Berdasarkan perhitungan, Belanda takkan bisa melewati Sungai Porong karena jembatan sudah dihancurkan, sehingga mereka pasti lewat Batu.

Semua harap-harap cemas. Kota Malang sudah dibumi hangus. Rintangan sudah dipasang sepanjang jalan dari Lawang ke Malang dalam upaya menahan majunya pasukan Belanda.

Tapi tetap saja mereka tahu: mereka kalah jumlah, kalah senjata.

Pertahanan kota sebenarnya sudah dibagi: tentara TRIP mempertahankan wilayah mulai asrama mereka di Jalan Salak sampai dengan wilayah Bareng. Tentara Hizbullah, Sabilillah, dan lain-lain mempertahankan wilayah alun-alun. Hamid Rusdi dan pasukannya berjaga di Malang Selatan.

Maka di situlah mereka berada. Pasukan TRIP patuh pada perintah.

Pagi itu, pagi yang dingin, di bulan yang suci, mereka berjaga.

Di langit, pesawat-pesawat tempur Belanda meraung-raung. Menukik, menjulang, menukik, menjulang. Entah apa yang mereka cari. Entah apa yang mereka buru.

Tak terbayang kagetnya remaja-remaja pasukan TRIP ketika pasukan Belanda justru datang dari Jalan Buring. Jalan di samping Gereja Ijen itu dipenuhi gemuruh suara tank dan salakan senapan yang sesekali terdengar.

Di ujung Jalan Buring, pasukan Belanda berhenti, memandang remaja-remaja tanggung yang duduk meringkuk di belakang barikade di seberang jalan.

Pasukan TRIP terpaku memandang pasukan Belanda yang datang. Musuh yang tak diduga datang dari arah yang tak diduga.

Korps Marinir Belanda.

Pantas saja bahkan penjagaan Sungai Porong pun bisa mereka libas.

Entah siapa yang menembak duluan, namun segera saja peluru dibalas peluru. Tentara Belanda berada di atas angin karena tank-tank yang mereka bawa merangsek dengan mudah seperti pisau panas membelah mentega.

Pasukan TRIP tidak punya tempat berlindung. Apalah artinya barikade sederhana, bila lawannya adalah meriam nan perkasa dan hujan peluru yang tak ada habisnya?

Namun menyerah tak pernah jadi pilihan.

Mau dikemanakan harga diri kami, Tuan?

Satu demi satu pasukan TRIP jatuh seperti daun yang gugur dari pohon yang meranggas di musim kemarau.

Melihat anak buahnya gugur satu demi satu, Susanto, Komandan Batalion 5000, berlari ke arah tank terdekat. Granat yang sudah dicabut pinnya tergenggam di tangan. Tujuannya jelas: menghancurkan turret meriam di hadapannya.

Langkahnya terhenti ketika butir-butir peluru menembus tubuhnya.

Ia jatuh mencium Bumi.

Melihat Susanto tersungkur, sopir tank banting setir.

Dilindasnya tubuh anak lelaki yang hari itu membuktikan bahwa ia senilai seribu lelaki dewasa.

Hujan peluru Belanda menghabisi anak buahnya yang tersisa.

Matahari belum lagi setinggi puncak menara Gereja, namun tiga puluh lima anggota pasukan TRIP sudah terbaring tak bernyawa.

(Foto koleksi penulis)

 

Waktu berjalan seakan merambat.

Setelah memastikan tidak ada pasukan TRIP yang selamat, pasukan Belanda menyisir wilayah Jalan Ijen dan sekitarnya untuk mencari sisa-sisa pasukan.

Dalam keheningan yang menyusul, timbunan mayat pasukan TRIP bergerak-gerak. Satu, dua, tiga orang penyintas muncul dari bawah tumpukan. Tubuh-tubuh sejawat mereka yang gugur menyelamatkan mereka dari pemeriksaan pasukan Belanda.

Tak ada waktu lagi untuk sekedar berduka. Pasukan Belanda bisa datang kembali sewaktu-waktu. Ketiganya lari lintang-pukang ke arah perkampungan terdekat, mencari pertolongan.

Marah, sedih, takut, ngeri. Semua itu menggerakkan kaki-kaki mereka lebih cepat dari biasanya, memacu tubuh mereka lebih kuat dari biasanya, hingga hambatan tembok setinggi apapun tak ada artinya bagi mereka.

Namun para penolong mereka juga tak bisa berbuat apa-apa. Pasukan Belanda masih ada di mana-mana.

Karena itu, proses pemakaman pasukan TRIP yang gugur di Jalan Salak baru bisa dilakukan esok harinya.

Tempat mereka gugur menjadi rumah mereka yang abadi.

Hari itu tanggal 31 Juli 1947, Kamis pagi.

Bulan Ramadhan, bulan yang suci.

Waktunya sekitar jam 7 pagi.

Mereka bukan lagi anak-anak, tapi belum pula dewasa ketika pergi.

 

 

 

(sebagaimana dikisahkan Margono Ongko, penyintas Pertempuran Jalan Salak, anak buah almarhum Susanto, kepada Irawan Prajitno).