Kamis, 10 November 2022

SELAYANG PANDANG ANIEM EMBONG WUNGU SURABAYA

 

 
ANIEM Embong Wungu (foto koleksi Tropenmuseum)

Gedung kantor PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi Jawa Timur tidak bisa dilepaskan dari sejarah masuknya listrik di Kota Surabaya. Gedung ini semula dimiliki oleh Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) di Jalan Embong Wungu nomor 4-6 Surabaya. 

Menariknya, di lokasi yang sama namun berpunggung-punggungan, berdiri gedung ANIEM juga, namun menghadap Jalan Embong Trengguli. Gedung yang terletak di Jalan Embong Trengguli ini kini menjadi pintu masuk bagi karyawan PLN maupun masyarakat yang hendak menerima layanan dari PLN, sedangkan gerbang gedung di Jalan Embong Wungu menjadi pintu keluarnya. Bangunan yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya Nomor 188.45/523/436.1.2/2013 tanggal 18 Desember 2013 sebagai salah satu cagar budaya Kota Surabaya adalah gedung ANIEM yang menghadap Jalan Embong Wungu, walaupun gedung yang berada di sebaliknya juga merupakan gedung lawas yang indah.

Jalan Embong Trengguli (foto koleksi Penulis)

 
Jalan Embong Wungu (foto koleksi Penulis)

Awal sejarah kelistrikan di Indonesia dimulai sejak tahun 1897 ketika berdiri perusahaan listrik pertama yang bernama Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM) di Batavia dengan kantor pusat terletak di Gambir. Sementara itu, sejarah kelistrikan Surabaya bermula pada 26 April 1909 ketika perusahaan gas NIGM (Nederlandsch-Indische Gasmaatschappij) mendirikan perusahaan listrik bernama Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) atau Perusahaan Listrik Umum Hindia Belanda.

G.H. von Faber dalam bukunya Nieuw Soerabaia menuliskan, bahwa pada tahun 1908, N.V. Algemeene Nederlandsche-lndische Electriciteitsmaatschappij (A.N.I.E.M.) memulai elektrifikasi di Surabaya, yang ditandai dengan dibangunnya pembangkit tenaga listrik di Gemblongan.

Keberadaan perusahaan listrik Algemeene Nederlandsche lndische Electriciteits Maatschappij (ANIEM) di Surabaya menimbulkan banyak perubahan bagi masyarakat Surabaya. Sektor transportasi adalah salah satunya. Samidi dalam tulisannya Surabaya sebagai Kota Kolonial Modern pada Akhir Abad ke-19: Industri, Transportasi, Permukiman, dan Kemajemukan Masyarakat menyebutkan, pembangunan trem listrik (electrische trem) diajukan oleh Oost Java Stoomtram (O.J.S.) pada 31 Desember 1910 kepada gubernur jenderal. Gagasan ini dilatarbelakangi oleh kehadiran perusahaan listrik Algemeene Nederlandsche Electriciteit Maatschappij (A.N.I.E.M.) pada tahun 1909.

Perkembangan kebutuhan akan tenaga listrik di Kota Surabaya menuntut pembangunan gedung baru bagi ANIEM, yang merupakan perluasan pelayanan gedung kantor di Jalan Gemblongan. Dalam terbitannya pada tanggal 10 Pebruari 1930, surat kabar Soerabaiasch Handelsblad menuliskan bahwa berbagai faktor menyebabkan manajemen ANIEM melihat perlunya perluasan lokasi kantor di Surabaya. Pertumbuhan berbagai perusahaan secara progresif yang membutuhkan tenaga listrik di Jawa menyebabkan kegiatan administrasi dan teknis harus selalu ditingkatkan, sehingga ANIEM perlu menambah pegawai.

Karenanya, pada tanggal 21 Maret 1929 dibuka tender konstruksi gedung kantor baru berlokasi di Jalan Embong Wungu, yang dimenangkan oleh Hollandsche Beton Maatschappij, dan dibangun di bawah supervisi desainer bangunan, yaitu A.I.A Bureau.

Gedung baru di Jalan Embong Wungu diresmikan secara meriah pada tanggal 2 Oktober 1930, sebagaimana diberitakan dalam surat kabar De Indische Courant tanggal 3 Oktober 1930. Dalam peresmian tersebut, hadir Mr. C. Noome (perwakilan manajemen ANIEM) dan Ir. D.J. van Aalst (pimpinan A.I.A Bureau).

Ir. D.J. van Aalst adalah pimpinan A.I.A Bureau pada saat pembangunan kantor ANIEM Jalan Embong Wungu. Saat itu, salah satu pendiri sekaligus pimpinan A.I.A Bureau, Frans Johan Louwrens Ghijsels, telah kembali ke Belanda lewat Genoa dengan kapal S.S. Pieter Cornelisz Hooft pada tanggal 30 Mei 1928. Di Belanda, Ghijsels berencana untuk bertemu dengan para direktur The Netherlands Indian Commercial Bank. Ghijsels biasa menulis surat untuk istrinya setiap hari dan ketiadaan surat-menyurat dari Oktober 1928 hingga Maret 1929 menunjukkan bahwa Ghijsels memutuskan untuk tinggal di Belanda bersama keluarganya. Hal ini dapat diketahui dari biografi Ghijsels, Ir. FJL Ghijsels Architect In Indonesia (1910-1929), yang ditulis oleh drs. H. Akihary.

 

Ir. FJL Ghijsels Architect In Indonesia (1910-1929)

Hal ini dipertegas dengan keterangan tambahan dalam biografi tersebut bahwa gedung ANIEM Jalan Embong Wungu adalah salah satu bangunan karya A.I.A Bureau yang dibangun setelah kepulangan Ghijsels ke Belanda.

Sebuah plakat di dinding kantor ANIEM Embong Wungu menyatakan bahwa Ghijsels adalah desainer gedung tersebut. Namun periode dimulainya tender pembangunan kantor ANIEM dengan kepulangan Ghijsels ke Belanda ini menyisakan pertanyaan bagi Penulis: apakah Ghijsels benar-benar desainer kantor ANIEM Embong Wungu Surabaya? Tak bisa dipungkiri bahwa desain kantor ANIEM Surabaya adalah karya A.I.A Bureau. Namun apakah Ghijsels, dan bukan arsitek lain dalam biro A.I.A, yang mendesain? Tentu ada kemungkinan Ghijsels yang mendesain, dan desainnya dikirim ke Surabaya lewat pos. Namun mengingat lamanya pengiriman pos saat itu, apakah desain itu bisa diterima tepat waktu untuk pembangunanya?

Foto koleksi Penulis

Hingga wafat di Overveen Belanda pada tanggal 2 Maret 1947 pada usia 64 tahun, arsitek kelahiran Tulungagung, 8 September 1882, itu tak pernah kembali ke tanah kelahirannya.

Gentingnya suasana akibat Perang Dunia Pertama juga dirasakan di Surabaya. Algemeen-Handelsblad edisi Sabtu tanggal 2 Oktober 1937 menulis, hal ini menyebabkan para pimpinan ANIEM merasa perlu untuk membangun ruang bawah tanah di bawah gedung kantor ANIEM Jalan Embong Wungu Surabaya. Mulai tanggal 1 Agustus 1937, N.V. NEDAM sebagai pemenang tender melaksanakan pembangunan ruang bawah tanah yang dimaksudkan sebagai perlindungan bagi para karyawan ANIEM terhadap serangan udara yang mungkin terjadi. 

Ruang Bawah Tanah di Jalan Embong Wungu (Foto koleksi Penulis)

Ruang bawah tanah yang sama juga ditemukan di gedung PLN yang menghadap Jalan Embong Trengguli, namun tidak ditemukan catatan apakah keduanya dibangun pada periode yang sama.

Ruang bawah tanah di Jalan Embong Trengguli (foto koleksi Penulis)

Dalam penelusuran Penulis terkait sejarah gedung ANIEM Jalan Embong Wungu, ditemukan nama Ir. G.S. Goemans. Dalam terbitannya tanggal 19 Maret 1937, De Ingenieur menyebutkan, “Ir. G.S. GOEMANS, voorheen ingenieur bij het Algemeen Ingenieurs- en Architecten Bureau Sitsen en Louzads te Bandoeng, is benoemd tot ingenieur bij de ANIEM te Soerabaia.”

Apabila ditilik dari tahun pemuatan berita, kemungkinan Ir. G.S. Goemans menangani perbaikan di gedung ANIEM, dan tidak menangani pembangunannya, walaupun belum ditemukan informasi lebih lanjut.

Minimnya informasi juga menyebabkan Penulis belum dapat mengkonfirmasi posisi  Job dan Sprey sebagai biro arsitek yang juga disebut-sebut menangani gedung ANIEM. Dalam bukunya Architectuur & Stedebouw In Indonesie, Huib Akihary menyebutkan, “Een aantal ontwerpen van het bureau Job en Sprey is uitgevoerd door de N.V. Nederlandsche Aanneming Maatschappij V/H FA. H.F. Boersma (NEDAM). Het betreft een aantal villa's aan de voormalige Patjarweg en een uitbreiding van het hoofdkantoor van "Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteits Maatschappij (ANIEM), beide in Surabaya. Het Bureau Job En Sprey was tot 1958 werkzaam in Indonesie.

Huib Akihary tidak memberikan keterangan kapan biro Job en Sprey menangani kantor ANIEM di Surabaya, pun tidak mencantumkan kantor ANIEM mana yang ditanganinya, apakah kantor ANIEM di Jalan Embong Wungu atau Jalan Gemblongan.

Penulis tidak menemukan catatan mengenai penggunaan gedung ANIEM Jalan Embong Wungu selama masa penjajahan Jepang. Informasi terkait pengelolaan kelistrikan di Kota Surabaya pada masa itu diperoleh Penulis dari buku Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya Dan Malang Sejak Zaman Kolonial Sampai Kemerdekaan. Beliau menulis, “Sejak pendudukan tentara Jepang, perusahaan Listrik diambil alih oleh pemerintah Jepang. Urusan kelistrikan di seluruh Jawa kemudian ditangani oleh sebuah lembaga yang bernama Djawa Denki Djigjo Kosja. Nama tersebut kemudian berubah menjadi Djawa Denki Djigjo Sja dan menjadi cabang dari Hosjoden Kabusiki Kaisja yang berpusat di Tokyo. Djawa Denki Djigjo Sja dibagi menjadi tiga wilayah pengelolaan yaitu: Jawa Barat diberi nama Seibu Djawa Denki Djigjo Sja berpusat di Jakarta, Jawa Tengah diberi nama Tjiobu Djawa Denki Djigjo Sya berpusat di Semarang, dan Jawa Timur diberi nama Tobu Djawa Denki Djigjo Sja berpusat di Surabaya.”

Keberadaan ANIEM di Surabaya berakhir pada tanggal 2 Nopember 1954 ketika ANIEM diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia, namun gedung ANIEM di Jalan Embong Wungu hingga kini aktif digunakan sebagai kantor PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi Jawa Timur.

 

 Pengambilalihan Perusahaan Listrik Umum Hindia-Belanda atau Algemeene Nederlandsch-Indische Electriciteits Maatschappij (ANIEM) di Kota Surabaya pada 2 November 1954 oleh Ir. R.M. Koesoemaningrat dan Ir. F.J. Inkiriwang (duduk paling kanan) 

(foto koleksi Wikipedia, diunduh tanggal 06.09.2022 pukul 9:39)

Kemajuan teknologi kelistrikan menyebabkan ruangan-ruangan yang dulu dipenuhi karyawan yang sibuk bekerja kini terasa longgar. Beberapa upaya revitalisasi telah dilakukan bagi gedung ANIEM/PLN Jalan Embong Wungu. Beberapa ruangan sempat direvitalisasi sebagai tempat coworking space bagi masyarakat umum. Lokasi gedung ANIEM/PLN Jalan Embong Wungu yang terletak di pusat Kota Surabaya memudahkan akses bagi warga. Upaya ini terhenti ketika pandemi Covid merebak di Indonesia. 

 
Ruangan kerja (foto koleksi Penulis)

Coworking space (foto koleksi Penulis)

Revitalisasi bangunan cagar budaya menjadi tantangan tersendiri bagi pengelolanya. Tidak hanya dari segi perawatan, namun juga upaya agar bangunan cagar budaya (yang rata-rata berkualitas baik dan masih kokoh hingga kini) dikenal dan karenanya bisa membawa manfaat bagi masyarakat luas. Upaya menyediakan coworking space bagi masyarakat perlu kiranya diapresiasi baik, karena merupakan bagian dari upaya mendekatkan gedung ANIEM/PLN Jalan Embong Wungu dengan warga. Mengingat peranan gedung tersebut dalam sejarah infrastruktur Kota Surabaya, perlu pula kiranya memasukkan gedung ANIEM/PLN Jalan Embong Wungu dalam bangunan cagar budaya yang layak mendapat kunjungan dalam wisata sejarah Kota Surabaya. 

 

 

 

2 komentar: