DARMAWAN
Aku kehilangan kata-kata ketika menatap punggungnya untuk pertama
kali.
Rambutnya.
Tengkuknya.
Tarikan punggungnya.
Laki-laki di depanku ini menoleh sedikit, entah apa yang menarik
perhatiannya, sehingga aku bisa menangkap sekilas garis wajahnya. Rahangnya
yang kuat. Hidung mancungnya yang melengkung seperti paruh elang.
Tiga belas tahun yang lalu, ada seorang laki-laki seperti ini yang
mengisi hidupku. Kemiripan itu begitu menyesakkan dada. Tak hanya lidahku yang
kelu, otakku pun berhenti bekerja.
Selama sekian menit aku melongo seperti orang tolol. Di sekelilingku
orang-orang berseliweran, tak sabar menuju ruang kerja masing-masing. Aku
berdiri saja, sejenak lupa kenapa aku ada di situ.
Entah kapan terakhir kali aku merasakan sensasi seperti ini. Sudah
tiga belas tahun aku mati rasa.
Hingga sekarang. Ah, kenapa harus saat ini, ketika hari-hariku di
sini bisa dihitung dengan jari?
Tanganku gatal ingin menyentuh rambut ikal itu. Membiarkan
helai-helainya meluncur di sela-sela jariku, seraya menatap matanya. Mungkin
setelahnya bisa kucium dahinya, lalu merengkuhnya dalam pelukanku.
Telapak tanganku sudah gatal ingin merasakan sentuhan rambutnya di
tanganku. Apakah ikal itu selembut rambut bayi? Atau helainya tebal dan kuat
sehingga sentuhan ujungnya setara tusukan-tusukan kecil di tanganku?
Ah, ia berdiri tak lebih dari semeter jaraknya dariku. Mudah saja
bila aku ingin menuntaskan rasa penasaranku. Cukup selangkah, dan tanganku
sudah bisa menjangkaunya Namun tidak. Sekuat tenaga kukepalkan erat-erat
tanganku agar tak lancang menyentuhnya.
Apa pikirnya nanti, bila ia tahu laki-laki tak tahu diri yang sedang
memandanginya seperti kucing lapar ini, cukup tua untuk menjadi ayahnya?
Apa pikir orang-orang di kantor, bila mereka tahu aku, pegawai
senior yang diam-diam dijuluki Mister Nyentrik ini, terpesona pada karyawan baru yang tak
hanya jauh lebih muda, namun “level”-nya lebih tinggi darinya?
Lidah-lidah akan bergoyang. Cibiran di mana-mana. Kikik tawa
menghina.
Tak apa. Aku sudah tahu.
Laki-laki di depanku ini menoleh sekilas ke belakang. Mungkin ia
merasa sedang dipandangi. Pandangannya menyapuku sebelum matanya kembali
menatap ke depan. Kucoba mengira-ngira apa yang dilihatnya ketika ia
memandangku. Jengah karena dipelototi? Tak suka tapi tak bisa protes karena ia
tak mengenalku?
Sebentar kemudian aku menyerah. Sepasang mata itu menyimpan
rahasianya sendiri.
Tiga belas tahun yang lalu, seorang laki-laki dengan pandangan
serupa itu membawa pergi separuh nyawaku.
Dadaku sesak. Aku rindu.
*****
INDRA
Karir singkatku sebagai model membuatku terbiasa dipandangi orang,
pria dan wanita, sehingga ketika apel pagi itu aku merasa ada yang mengawasiku,
aku tak merasa jengah. Aku separuh yakin orang itu wanita, bila mengingat
lirikan menggoda dan bisik-bisik seru yang mengikuti langkahku selama minggu
pertamaku di sini.
Aku tak menyangka yang memandangiku adalah seorang laki-laki. Setengah tua, lagi. Ia
memandangiku nyaris tanpa berkedip. Karena sudah terbiasa, kubiarkan saja ia
menatapku. Kelihatannya dia bukan tipe penyuka sesama. Tapi siapa tahu? Ada
hasrat di matanya yang tak bisa kumengerti, walaupun bukan sekali ini saja aku
menangkap hasrat dalam pandangan mata sesama pria.
Sungguh merepotkan. Banyak orang merasa mereka berhak melampiaskan
hasrat mereka padaku hanya karena aku pernah menjual penampilan demi uang. Tak
kupungkiri, ada sejawatku yang sengaja memanfaatkan hasrat untuk mengeruk
keuntungan.
Tapi aku tidak. Hasrat orang lain padaku membuatku bosan dan lelah,
sibuk mencari cara untuk menghindar.
Kukira kerja kantoran bisa membuat hidupku lebih tenang. Namun belum
lagi sebulan di sini, aku sudah dipelototi sesama laki-laki.
*****
DARMAWAN
“Eh...”
Sial, sial, sial! Bisa-bisanya aku lupa semua dialog yang kuhapalkan
tadi di kantor!
Setengah mati aku ingin menyapa Indra, laki-laki ini, tapi kata-kata
yang kukarang sejak aku pertama kali melihatnya, menguap habis begitu aku sudah
berdiri di hadapannya.
“Ya? Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
Ia menatapku dengan perhatian yang tidak berlebihan. Siap
membantuku, siap memenuhi apa yang kubutuhkan untuk melaksanakan tugasku. Tak lebih,
tak kurang.
Tenang, tenang…
“Kalau tamu dari Kementerian datang, tolong langsung diantarkan ke
ruangan saya, ya,” jawabku sekenanya.
Tolol! Sudah jelas ia bukan resepsionis kantor, jadi buat apa aku
memintanya menerima tamuku?
Indra menatapku dengan pandangan kosong. Sudah jelas ia juga bingung
dengan permintaanku, tapi aku sudah telanjur kehilangan kata-kata. Jadi
kutegakkan saja tubuhku, bersikap seakan-akan permintaanku ini wajar adanya.
Akhirnya ia tersenyum kecil dan menjawab, “Sebenarnya ini bukan
tugas kami Pak, tapi tak apa, nanti begitu ada informasi dari resepsionis,
tamunya segera saya antar ke ruangan Bapak.”
“Eh… terima kasih.”
Ia tetap tersenyum. Aku balas tersenyum gugup.
“Eh… sudah makan?” tanyaku mencoba berbasa-basi.
“Sudah, Pak.”
“Jaga kesehatan, ya. Jangan sampai sakit. Pekerjaan di sini berat.”
“Ya Pak, terima kasih.”
Aku sungguh tak tahu kenapa. Mungkin karena senyumnya. Namun
tiba-tiba tanganku sudah bergerak sendiri, menjangkau tubuhnya, lalu membelai
anak-anak rambut di tengkuknya. Selama sepersekian detik waktu seakan berhenti.
Hanya aku dan dia dan kerinduan yang menyakitkan.
Gerakan tiba-tiba lelaki itu mengembalikanku pada kenyataan. Ia
menatapku dengan terkejut dan marah. Aku tak tahu harus berkata apa.
*****
INDRA
Aku tak bisa mengenyahkan rasa tidak nyaman di tubuhku, di tempat
tangan laki-laki itu, Pak Darmawan namanya, menyentuhku. Aku tak percaya,
begitu saja membelai-belaiku! Di kantor, lagi!
Bukankah perbuatan seperti itu ada larangannya? Tidak ada?
Seharusnya ada! Bukan cuma karyawati yang terancam predator, karyawan pun
ternyata juga sama!
Sejak itu aku selalu berusaha menghindarinya. Tidak mudah, karena
kami bekerja di kantor yang sama. Apalagi tampaknya Pak Darmawan punya radar
yang khusus mendeteksi keberadaanku. Di mana aku berada, ia nyaris selalu
muncul!
Bikin pengin muntah saja!
Tadinya kukira hanya aku saja yang merasa terganggu dengan ulah Pak
Darmawan. Aku baru menyadari rekan-rekan kerjaku yang lain juga merasa begitu
ketika Pak Tito, manajerku, mengeluhkan frekuensi kemunculan Pak Darmawan,
laki-laki itu.
“Apa-apaan Pak Darmawan itu, sedikit-sedikit ke mari. Buang-buang
waktuku saja. Kalau ada pertanyaan, kan cukup lewat message board aja. Atau paling pol lewat e-mail. Pasti kujawablah…”
Firman, yang mejanya berdampingan dengan mejaku, terkekeh. “Pak
Darmawan kan ke sini bukan buat ketemu Pak Tito. Dia ke sini kan pengin ketemu
sama… itu tuh…,” godanya sambil mengedikkan kepala ke arahku.
Pak Tito dan teman-teman lain ikut terkekeh.
Wajahku panas.
*****
DARMAWAN
Surat itu begitu saja tergeletak di atas meja.
Surat yang kutunggu-tunggu selama beberapa tahun ini. Akhirnya
Kantor Pusat mengabulkan permohonan pengunduran diriku. Surat yang mengakhiri
kejenuhanku selama ini. Sesuatu yang kuidam-idamkan setelah terpenjara di sini,
menduduki kursi administrasi, selama lima belas tahun terakhir ini.
Namun kini, ketika surat ini sungguh-sungguh datang, hatiku berat.
Indra. Itu sebabnya.
Setiap kali melihat laki-laki itu, rasanya seperti dibawa ke masa
lalu, ke masa-masa aku pernah bahagia.
Sebelum kebahagiaan itu direnggut dariku.
Aku mendesah. Ayolah, masa lalu ya masa lalu. Masih banyak yang bisa
kaulakukan dengan sisa umurmu, kata hati kecilku.
Baiklah, jawabku. Tapi ijinkan aku melakukan satu hal lagi.
Hati kecilku mengangguk.
*****
INDRA
Aku melihat kamera itu jatuh dalam gerakan lambat, sebelum pecah
berhamburan menghantam lantai bawah. Benda itu terlepas dari genggaman Pak
Darmawan ketika kutepis tangan laki-laki itu.
Bukan salahku, tentu saja. Kalaupun itu salahku, aku tak menyesal.
Pak Darmawan muncul begitu saja di kantin pada jam makan siang,
mendekati mejaku. Di depan teman-teman yang makan beramai-ramai di sana, ia minta
ijin memotretku, lalu menyuruhku tersenyum! Seketika kantin seperti meledak karena suara tawa. Suitan nakal
dan ejekan terdengar dari segala arah.
Aduh, malunya! Buru-buru kusudahi makan siangku, lalu bergegas
kembali ke ruangan kerjaku.
Siapa sangka Pak Darmawan menyusulku, lalu mengulangi permintaannya
itu?
Dan berani-beraninya ia menyentuh lenganku!
Masa dia masih belum mengerti juga bahwa aku tak tertarik padanya?
Dasar cabul!
*****
INDRA
Aku berdiri terpaku di depan pintu, tak yakin harus terus atau
mundur. Tulisan “HRD” di bagian atas pintu membuat hatiku makin berat.
Ayolah, kalau tidak begini, kau tidak akan bisa bekerja dengan
tenang! sebuah suara dalam hatiku mendorongku.
Aku masih baru di sini. Aku bisa dipecat! Atau minimal, aku bisa
di’kotak’, tidak dipromosikan, kenaikan gajiku bisa dihambat, atau apalah lagi!
Suara dalam hatiku terdiam sejenak. Tapi hanya ini jalannya. Kau tak
punya pilihan lain, desahnya.
Hatiku terasa berat. Ya, aku tak punya pilihan lain, sebelum keadaan
jadi makin buruk.
Pak Bas, manajer HRD, mengangkat wajah ketika aku masuk. Ia
tersenyum sekilas. “Indra. Ada yang bisa kubantu?”
Entah kenapa, begitu saja kata-kata berhamburan keluar dari mulutku.
Tentang Pak Darmawan yang menguntitku ke mana-mana. Tentang kecenderungannya
untuk menyentuhku. Tentang ketidaknyamananku. Pak Bas mendengarkanku dengan
seksama. Dua tangannya terjalin rapi di atas meja. Tak sekalipun ia menyela
ucapanku.
“Kau tidak tahu, ya? Oh, tentu kau tidak tahu. Kau baru beberapa
bulan di sini,” kata Pak Bas setelah aku selesai bercerita.
“Tidak tahu apa, Pak?”
“Tentang Pak Darmawan. Putra tunggalnya meninggal tiga belas tahun
yang lalu.”
“Lalu apa hubungannya dengan saya?”
Pak Bas mengulurkan sebuah foto. “Pak Darmawan memberikan foto ini
pada sesi konselingnya yang terakhir. Ini, lihatlah sendiri.”
Sesi konseling? Konseling apa? Ah, aku tak heran bila Pak Darmawan
ternyata bermasalah.
Aku menatap foto yang sudah kumal itu, tanda sering dipegang dan
dilihat. Wajah dalam foto itu tersenyum lebar. Wajahku. Aku kehilangan
kata-kata.
“Ini Andra, putra Pak Darmawan. Sejak ibunya wafat, Andra dan Pak
Darmawan tidak akur, hingga kemudian ia pergi dari rumah. Ketika akhirnya
mereka berbaikan dan berencana bertemu, pesawat yang ditumpangi Andra jatuh di
tengah laut. Jenazahnya tak pernah ditemukan. Pak Darmawan kolaps seketika.
Bertahun-tahun kami mendampinginya hingga pulih. Nah, ketika ia mulai bangkit,
kau bergabung bersama kami.”
Pak Bas tersenyum tipis. “Andra mirip sekali denganmu. Karena itu
aku tak heran bila Pak Darmawan kehilangan kendali tiap kali melihatmu. Ia
melihat anaknya hidup kembali.”
Aku tetap tak bisa berkata apa-apa.
“Aku tak bermaksud memaksamu memaklumi perbuatan Pak Darmawan, maupun
membenarkannya. Tapi inilah sebabnya. Inilah yang terjadi. Sekarang terserah
kamu menyikapinya. Aku juga akan memberi peringatan Pak Darmawan agar menahan
diri bila bertemu denganmu, walaupun mungkin sudah tak banyak gunanya bagimu.”
“Kenapa begitu?”
“Mulai tanggal satu lusa, Pak Darmawan sudah tidak bekerja di sini
lagi.”
*****
DARMAWAN
Aku memandangi ruanganku dengan perasaan mengharu-biru. Besok, kursi
itu tak lagi kududuki. Minggu depan, bulan depan, akan ada orang lain yang
menghuni ruangan ini.
Aku belum tahu apa yang hendak kulakukan untuk mengisi masa pensiunku.
Aku hanya sudah lelah.
Mungkin Bas benar. Aku perlu rehat dulu, baru mereka ulang hidupku.
Mungkin mengajar? Bukankah selama ini beberapa kali aku jadi dosen tamu di
almamaterku dulu?
Aku menghela napas. Selama bertahun-tahun, kantor ini adalah rumahku
yang kedua, namun barang-barang pribadiku bahkan tak sampai memenuhi kardus
bekas air mineral yang kubawa dari rumah. Aku tak menyesali apa yang sudah
terjadi. Aku hanya… lelah.
Sebuah gerakan di pintu menarik perhatianku. Aku mendongak.
Di ambang pintu, Indra berdiri salah tingkah.
“Pak Darmawan…” sapanya.
Sesaat jantungku berhenti berdetak.
Cerita pendek
ini kutulis untuk dua orang lelaki yang menginspirasiku.
Tokoh Darmawan
adalah sosok dosen di almamaterku dulu, yang sangat terpukul akibat kehilangan
putra tunggalnya secara tragis, namun sayangnya sering kali disalahpahami oleh
mahasiswanya.
Tokoh Indra
adalah seorang rekan sekantor yang menarikku seperti laron pada cahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar