Nyaris saja Karina
tercebur ke telaga karena terkejut.
Ia menoleh. Dilihatnya
seorang laki-laki sebayanya berdiri di belakangnya, memandanginya dengan kening
berkerut. Rambutnya yang ikal berwarna cokelat, hidungnya mancung, dengan
mata sedalam dan sebiru warna air telaga. Karina
sampai melongo, tak sanggup menjawab. Dari mana datangnya lelaki ini?
“Hei! Ditanya baik-baik
kok diam saja? Mau apa kamu di sini?”ulang laki-laki itu.
Karina menelan ludah,
berusaha menghilangkan kekagetannya. “Aku mencari kucingku, tapi aku tersesat.
Aku haus, karena itu aku berhenti sebentar untuk minum,” jawab Karina. “Kenapa
memangnya? Tidak boleh?”
Lelaki itu mengangkat
bahu. “Siapa yang melarang? Aku bukan pemilik telaga ini. Memangnya kamu datang
dari mana? Aku tidak bertemu dengan siapapun tadi di jalan.”
“Aku datang dari…” Karina
memandang berkeliling, tak yakin harus menunjuk arah mana, “entahlah. Aku kan
sudah bilang, aku tersesat. Tahu-tahu saja aku menemukan telaga ini.” Ia
berhenti sejenak, mengamati laki-laki di depannya, lalu bertanya,” Kamu siapa?”
“Aku Willem. Tadi kau
tidak lewat jalan setapak?”
Karina menggeleng. “Aku asal berlari saja, mengejar kucingku. Memangnya
harus lewat jalan setapak, ya?”
Willem menggerundel. Lamat-lamat
Karina mendengar kata “ceroboh”. “Siapa namamu?” tanya Willem kemudian.
“Karina. Kau tinggal di sini?”
“Itu rumahku.” Willem menunjuk sebuah rumah putih bergaya kolonial
yang terletak agak jauh di seberang telaga. Sebuah jalan setapak menjulur dari halaman rumah itu hingga
masuk jauh ke dalam hutan pinus tempat Karina datang tadi. Tak
urung Karina bertanya-tanya dalam hati.
Inikah ujung jalan setapak yang membuatnya penasaran selama ini?
“Katamu kau mencari
kucingmu. Apakah kucingmu bulunya hitam, dengan mata kanan berwarna biru, dan
mata kiri coklat?” tanya Willem.
Karina terbelalak. “Iya!
Benar! Bagaimana kau tahu?”
“Dia ada di rumahku.
Sebentar, kuambil dulu. Tunggu di sini,” jawab Willem sambil beranjak. “Jangan
ke mana-mana!” perintahnya.
Karina menunggu dengan
patuh. Tak berapa lama, Willem kembali sambil menggendong Ollie. Kucing hitam
itu mendengkur nyaman dalam pelukan Willem. Laki-laki itu terkekeh sambil
mengangsurkan Ollie ke dalam gendongan Karina, “Kucingmu manja sekali. Setelah kuberi makan tadi, dia
tidur terus. Kalau tidak kuangkat dari keset tempatnya tidur, dia pasti tidak bangun-bangun.”
Karina ikut tertawa, lega. “Ayo pulang, Ollie. Eyang pasti sudah khawatir,”
katanya sambil memeluk Ollie. Kucing hitam itu mengeong lembut.
“Ayo, kuantar kau,” ajak Willem sambil beranjak.
“Tak usah. Tunjukkan saja jalan setapak yang kau sebut tadi. Aku bisa
pulang sendiri,” sahut Karina dengan suara digagah-gagahkan. Sekarang saja
degup jantungnya sudah meliar tak keruan gara-gara Willem. Apa jadinya bila
Willem mengantarnya pulang? Wajah Karina menghangat. Ia yakin ia akan mengoceh
tak keruan atau bertingkah konyol saking gugup dan malunya.
Kening Willem berkerut lagi. “Sudah hampir gelap. Hutan ini berbahaya
setelah matahari terbenam. Sudah, jangan membantah. Aku akan menemanimu.”
Karina memandang langit. Betapa cepat waktu berlalu! Baru saja rasanya
cahaya keemasan matahari mencumbui permukaan telaga, kini langit sudah berwarna
biru gelap. Beberapa bintang berkerlip. Ia tak punya pilihan lain. Karina
mengangguk.
Willem berjalan di samping Karina, mengarahkannya ke jalan setapak. Dalam
keremangan cahaya senja, jalan setapak itu tampak mengeluarkan sinar lembut,
membedakannya dengan lantai hutan di kiri-kanannya. Bahkan tanpa alat
penerangan apapun, mudah saja melalui jalan itu.
Bulan purnama terbit di langit. Cahayanya yang keperakan menerangi rambut
dan wajah Willem, mengukir lekuk-liku wajahnya yang sempurna, membuatnya tampak
seperti pangeran dalam kisah-kisah dongeng. Dengan susah-payah Karina menahan
diri agar tidak melongo menatap Willem, namun yang dipandangi tampaknya tak
menyadari efek sinar bulan pada penampilannya.
Sepanjang jalan Karina merasa pipinya panas. Seperti sudah diduganya,
mulutnya tak bisa berhenti bicara. Apa saja diceritakannya pada Willem. Bisa
saja lelaki itu menyuruhnya diam kalau dia bosan mendengar ocehan Karina. Tapi
tidak. Lelaki itu mendengarkan dengan seksama, menanggapinya dengan senyum, dan
komentar kecil di sana-sini. Ia membuat Karina nyaman bercerita. Rasanya seakan-akan ia sudah mengenal Willem seumur
hidupnya.
Entah berapa lama mereka berjalan, tiba-tiba seberkas awan menutupi bulan.
Sekeliling mereka mendadak gelap-gulita. Willem menghentikan langkah. Ia menegakkan
kepala, waspada. Diedarkannya
pandangan ke sekeliling hutan. Karina mengikuti pandangan Willem, tapi tak ada
yang tertangkap matanya. Ia hanya mendengar gemerisik yang makin lama makin
keras, sepotong-sepotong percakapan bernada tegang yang tak bisa dipahaminya, dan
geraman rendah anjing-anjing
besar.
Ada yang mengikuti mereka! Tapi siapa? Siapapun itu, mereka tak terlihat
karena selalu bergerak dalam kegelapan hutan.
Willem menarik lengan Karina. “Tetap di tengah jalan, supaya mereka tak
bisa menjangkaumu,” perintahnya. Pandangannya terus beralih-alih ke arah hutan
pinus. “Ayo. Makin cepat kau keluar dari sini, makin baik.”
Karina mempercepat langkah. Tak mudah, karena jalan setapak itu tak rata
dan ia harus memeluk Ollie erat-erat agar tak kabur lagi. Kucing itu menyurukkan kepalanya
dalam-dalam, gemetar ketakutan dalam gendongan Karina, membuat gerakan Karina
makin canggung karena gugup. Willem berjalan cepat di sampingnya. Beberapa kali
lelaki itu harus menahan siku Karina agar ia tidak jatuh terjerembab.
Bulu kuduk Karina meremang. Kini suara gemerisik ditingkahi bunyi
langkah-langkah kaki yang mengiringi langkah mereka. Asalnya dari kiri dan
kanan jalan setapak. Suara dengus dan geraman makin keras, seakan-akan anjing-anjing
besar beserta tuan mereka berlari tepat di sisi jalan setapak. Sesekali
terdengar suara rahang yang kuat dikatup-katupkan dengan buas. Sudah tak
terdengar lagi suara percakapan. Walaupun begitu, Karina tak bisa mengenyahkan perasaan
tak menyenangkan bahwa jumlah pengejar mereka sudah bertambah.
Kemudian, seperti hilangnya tadi, mendadak bulan bersinar lagi. Suara
langkah kaki, geraman, dan dengusan lenyap bagaikan disapu angin. Untung saja.
Karina terengah-engah kehabisan napas sambil melambatkan langkah. Willem ikut
mengurangi kecepatannya.
Selama beberapa saat mereka berjalan berdampingan tanpa
berkata-kata. Sesekali
Karina melirik ke samping. Willem
sudah tak setegang tadi, namun pandangan matanya ke arah hutan tetap waspada.
“Siapa mereka?” tanya Karina memecah kesunyian.
“Bukan ‘siapa’. Lebih tepatnya ‘apa’,” jawab Willem.
“Baiklah, mereka itu apa?”
Willem diam sejenak. “Aku tak tahu kau
menyebut mereka apa. Mudahnya begini saja... mereka pemangsa, dan kau mangsa
mereka. Mereka lapar, dan kau berkeliaran di depan hidung mereka. Daging dan
darah segar. Siapa yang tak tergoda?” Willem terkekeh pelan. “Aku pun pasti
takkan menolak hidangan lezat, kalau aku jadi mereka.”
“Aku mangsa mereka? Kenapa hanya
aku? Bagaimana denganmu?”
“Karena kamu manusia.”
“Memangnya kamu sendiri bukan manusia?”
Diam lagi. Tiba-tiba punggung Karina terasa dingin.
“Apa yang membuatmu berpikir aku manusia sepertimu, Karina?” tanya Willem
dengan lembut.
good post
BalasHapusTerima kasih, Pak.
BalasHapusTerima kasih juga sudah mampir.
Ditunggu lanjute bu.
BalasHapusTerima kasih sudah mampir.
HapusLanjutannya dah terbit, mbak.
Mampir lagi, yak...