Ketika aku kecil, aku pernah ingin menjadi seperti Deni Manusia Ikan.
Ya, tokoh utama dalam komik serial di majalah Bobo itu membuatku iri.
Bagaimana tidak?
Petualang. Jago berenang. Bisa bernapas dalam air. Dan… bisa ngobrol dengan ikan.
Paling sedikit nama kami sudah mirip. Aku Dani, dia Deni.
Nama sudah mirip, berarti syarat pertama sudah terpenuhi.
Yang artinya: menjadi seperti Deni Manusia Ikan mestinya tidak sulit. Minimal bisa dipelajari. Deni saja bisa, masa Dani tidak bisa?
Karena itu, ketika Kebun Binatang Surabaya mengadakan atraksi lumba-lumba, aku merengek-rengek pada Papa dan Mama untuk menonton.
Dari Majalah Bobo aku tahu lumba-lumba adalah hewan yang mudah akrab dengan manusia.
Apa salahnya menguji keakrabanku dengan hewan itu?
Mengingat saat itu fasilitas hiburan, apalagi hiburan keluarga, sangat terbatas dan langka, maka Papa dan Mama mengiyakan permintaanku.
Maka berangkatlah kami ke Surabaya.
Oh, atraksinya sendiri sangat menakjubkan. Lumba-lumba memang pintar. Melompati lingkaran api. Bermain bola. Berhitung.
Hingga tiba saatnya Sang Pembawa Acara bertanya, “Siapa yang mau dicium lumba-lumba?”
Belum selesai Pembawa Acara bertanya, aku sudah mengacungkan tangan. Jadilah aku maju mendekati kolam dengan jantung berdebar.
Apakah akhirnya aku bisa mengerti celoteh lumba-lumba?
Apakah aku akhirnya bisa menjadi seperti Deni Manusia Ikan?
Dengan dipandu pelatih lumba-lumba, aku berjongkok di tepi kolam. Seekor lumba-lumba dipanggil mendekat… aku memejamkan mata…
Lalu semburan air berkekuatan penuh menghantam mukaku. Air asin memenuhi mulut dan hidungku.
Bukannya ‘mencium’ pipiku seperti yang direncanakan, lumba-lumba itu malah menyemburkan air dari moncongnya!
Bajuku, rambutku, mukaku basah kuyup. Aku menangis sejadi-jadinya. Kaget, takut, marah, kecewa.
Singkat kata, tahun berganti. Aku yang dulu disembur lumba-lumba ketika kelas satu Sekolah Dasar, kini sudah kelas enam.
Sebagai hadiah kenaikan kelas enam, Eyang Kakung dan Eyang Putri mengajak aku dan adikku berlibur ke Jakarta.
Selain Monas dan Museum Gajah, tujuan wisata yang kutunggu-tunggu adalah Taman Impian Jaya Ancol.
Ternyata, setelah sakit hatiku karena disembur lumba-lumba mereda, aku masih menyimpan hasrat untuk menjadi seperti Deni Manusia Ikan. Oke, mungkin tidak persis seperti Deni Manusia Ikan, tapi paling tidak bisa jadi ilmuwan yang jago bahasa ikan.
Di mana lagi aku bisa menguji keberuntunganku itu kalau bukan di Taman Impian Jaya Ancol?
Maka jadilah kami menonton atraksi lumba-lumba di sana. Tetap saja aku terpesona. Hatiku berbunga-bunga oleh angan-angan bisa bersahabat dengan lumba-lumba.
Lagi-lagi Pembawa Acara mengumumkan kesempatan untuk dicium lumba-lumba. Entahlah, aku curiga Pembawa Acara di Taman Impian Jaya Ancol masih berkerabat dengan Pembawa Acara di Kebun Binatang Surabaya. Selain penampilannya mirip, mereka juga sama-sama suka melihat pengunjung berciuman dengan lumba-lumba.
Singkat kata, aku maju ke depan lagi.
Hati-hati aku berjongkok di pinggir kolam… memejamkan mata… menunggu…
Dan semburan air asin lagi-lagi memenuhi mulut dan hidungku.
Aku curiga lumba-lumba di sini masih berkerabat dengan lumba-lumba di Kebun Binatang Surabaya.
Kali ini aku tidak menangis lagi walaupun tetap kaget, marah, dan kecewa. Malu dong, sudah besar masa masih menangis?
Disembur untuk kedua kalinya oleh lumba-lumba berarti sudah pupus sudah harapanku untuk menjadi seperti Deni Manusia Ikan.
Apakah itu berarti aku kapok dekat-dekat dengan mahluk laut? Kuharap tidak. Andai ada kesempatan, aku ingin belajar menyelam. Minimal snorkelling. Melihat keindahan dasar laut dengan mata kepalaku sendiri.
Yang paling penting, dalam laut, tidak ada yang bisa menyemburku lagi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar