Sabtu, 08 Juli 2017

[FANFICTION] PENGGANTI



Catatan: ini fanfict-ku yang pertama, berdasarkan serial The Hunger Games karya Suzanne Collins. Dalam serial tersebut, Finnick Odair tewas dalam pemberontakan kedua. Fanfict ini kubuat karena aku tidak ingin Finnick mati.


Finnick Odair membuka mata dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan serba putih itu. Menunggu membuatnya resah, karena selalu saja ada orang yang mengajaknya bercakap-cakap. Sudah beberapa minggu ia tak berminat mengobrol. Ia sudah berhati-hati dengan memilih waktu di pagi hari untuk datang ke rumah sakit itu. Finnick tak ingin bertemu pasien lain.

Sayang ia bukan satu-satunya pasien hari itu. Pemuda di sampingnya mengetuk-ngetukkan kaki mengikuti irama lagu yang hanya bisa didengarnya sendiri. Tak ada yang menyolok darinya, kecuali lengan kiri dan kanannya yang berbeda warna. Lengan kirinya lebih coklat daripada kulit tubuhnya yang lain.

Finnick mengerutkan kening.

Si pemuda menangkap pandangan Finnick. Sambil tersenyum kecut, ia berkata, “Skyboard-ku hilang kendali lagi, menyasak spacepod yang kebetulan lewat. Sayang sekali, padahal aku sedang bersiap-siap untuk WorldChamp.” Digerak-gerakkannya lengannya yang berwarna kelam. “Lengan pinjaman ini lebih cocok dipakai menjahit daripada mengendarai skyboard,” cibirnya.

“Kalau kau, kenapa?” tanyanya.

Finnick tak menjawab. Ia hanya balas tersenyum, lalu kembali memejamkan mata. Ia belum siap beramah-tamah dengan manusia lain. Interaksi seminim apapun membuat jantungnya berdenyut nyeri.

“Tuan Mercer? Silakan masuk,” panggil seorang perawat yang muncul dari balik sebuah pintu. Sekilas ia membaca data pasien di gawai yang menempel di telapak tangannya, lalu bertanya, “ReGener8 Anda sudah siap.”

Pemuda yang dipanggil Tuan Mercer itu bangkit, menghela napas berat, sebelum menjawab, “Baguslah. Aku sudah tak sabar bermain skyboard lagi.”

Ia menoleh ke arah Finnick, dan berkata, “Semoga sukses.”

Finnick menghela napas. Pemerintahan baru membuat distrik-distrik makin makmur. Seperti pemuda tadi, banyak orang-orang kaya baru yang cukup gila untuk melakukan kegiatan-kegiatan berbahaya berisiko tinggi, meniru The Hunger Games. Pemilik rumah sakit ini cukup pintar membaca peluang bisnis dan tidak pernah gagal melayani pasien dengan kebutuhan khusus yang berani membayar mahal. Program ReGener8 mereka selalu berhasil menumbuhkan kembali jaringan tubuh pasien yang, entah karena nasib buruk maupun sengaja, kehilangan anggota tubuh mereka.

Finnick tersenyum pahit. Kalau bukan karena Peeta Mellark, ia takkan berada di sini.

“Aku. Ingin. Mati,” geramnya pada Peeta, ketika terakhir kali mereka bertemu. “Kau tak bisa memaksaku tetap hidup, Peeta.”

Sahabatnya itu mengangkat kepala sejenak dari lukisan yang tengah dibuatnya. Lukisan padang rumput saat matahari terbenam. Begitu indah. Begitu damai. Hanya saja Finnick tahu, itu bukan padang rumput biasa. itu kuburan massal keluarga Peeta di Distrik 12.

“Matilah bila saatnya mati, Finnick. Jangan sekarang. Jangan ketika putramu masih membutuhkanmu.”

“Annie sudah mati,” desah Finnick.

“Ya, tapi anakmu masih hidup. Annie ingin kau menjaganya,” tandas Peeta. “Ia menyayangi anakmu. Jangan kecewakan dia.” Tangannya dengan terampil memulaskan warna-warna kuning, jingga, biru, dan merah di atas kanvas. Ia tak berkata apa-apa lagi, pertanda ia menyudahi pembicaraan itu.

Finnick tak menyahut. Ia tahu Peeta benar.

Finnick mendesah, lalu mengernyit. Rasa tak nyaman di dadanya kembali lagi. Rasa nyeri yang timbul sejak The Hunger Games keenampuluh lima yang dimenanginya, dan memburuk ketika Annie meninggal. Tampaknya ia terluka lebih dalam daripada yang diduga semua orang.

Tak apa, ia menghibur diri, sebentar lagi nyerinya hilang.

“Tuan Finnick Odair? ReGener8 Anda sudah siap,” panggil seorang perawat membuyarkan lamunannya. “Mari masuk.”

Dokter Han belum hadir di ruangan ketika Finnick masuk. Finnick tak keberatan menunggu. Sesudah beberapa kali menjadi pasien Dokter Han, ia mulai terbiasa dengan ruangan itu. Ruangan Dokter Han terasa nyaman baginya. Padahal ruangan itu sama saja dengan bagian manapun dari rumah sakit itu. Putih. Dingin. Serba otomatis dan ultramodern, seperti seharusnya sebuah rumah sakit.

Entahlah. Mungkin pemilik ruangan itulah yang membuat ruangan ini terasa lebih ramah bagi Finnick. Ia mengenal Dokter Han sejak masa-masa The Hunger Games. Lelaki itu teman, bukan sekedar dokter bagi Finnick.

Tanpa berkata-kata, perawat mempersilakan Finnick menuju ruang ganti. Setelah mengganti pakaiannya dengan seragam pasien, ia merebahkan diri di ranjang di tengah ruangan, lalu menunggu dengan sabar.

“Sudah siap, Finnick?” suara bariton Dokter Han membuyarkan lamunannya. Seorang perawat membuntut di belakangnya, membawa sebuah kotak yang mengepulkan asap dingin.

Finnick tersenyum sekilas. “Sudah, Dokter.”

Dokter Han tersenyum sambil mengangsurkan kotak itu ke hadapan Finnick, memamerkan isinya. “Jantungmu yang baru sudah siap.”

Finnick memandangi segumpal daging seukuran telapak tangannya itu dengan kagum. Begitu segar. Begitu baru.

Dokter Han mengangkat alis, bertanya tanpa kata. Finnick mengangguk puas.

“Kalau begitu, ayo kita mulai,” kata Dokter Han sambil memasang masker.

Perawat menyuntikkan obat bius ke dalam pembuluh darahnya.

Kegelapan total memeluk Finnick Odair.




Bersama F dalam ingatan. Inspirasiku. Selalu.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar