Catatan:
ini fanfict-ku yang pertama,
berdasarkan serial The Hunger Games karya
Suzanne Collins. Dalam serial tersebut, Finnick Odair tewas dalam pemberontakan
kedua. Fanfict ini kubuat karena aku
tidak ingin Finnick mati.
Finnick
Odair membuka mata dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan serba
putih itu. Menunggu membuatnya resah, karena selalu saja ada orang yang
mengajaknya bercakap-cakap. Sudah beberapa minggu ia tak berminat mengobrol. Ia
sudah berhati-hati dengan memilih waktu di pagi hari untuk datang ke rumah
sakit itu. Finnick tak ingin bertemu pasien lain.
Sayang
ia bukan satu-satunya pasien hari itu. Pemuda di sampingnya mengetuk-ngetukkan
kaki mengikuti irama lagu yang hanya bisa didengarnya sendiri. Tak ada yang
menyolok darinya, kecuali lengan kiri dan kanannya yang berbeda warna. Lengan kirinya
lebih coklat daripada kulit tubuhnya yang lain.
Finnick
mengerutkan kening.
Si
pemuda menangkap pandangan Finnick. Sambil tersenyum kecut, ia berkata, “Skyboard-ku hilang kendali lagi,
menyasak spacepod yang kebetulan
lewat. Sayang sekali, padahal aku sedang bersiap-siap untuk WorldChamp.” Digerak-gerakkannya
lengannya yang berwarna kelam. “Lengan pinjaman ini lebih cocok dipakai
menjahit daripada mengendarai skyboard,”
cibirnya.
“Kalau
kau, kenapa?” tanyanya.
Finnick
tak menjawab. Ia hanya balas tersenyum, lalu kembali memejamkan mata. Ia belum
siap beramah-tamah dengan manusia lain. Interaksi seminim apapun membuat
jantungnya berdenyut nyeri.
“Tuan
Mercer? Silakan masuk,” panggil seorang perawat yang muncul dari balik sebuah
pintu. Sekilas ia membaca data pasien di gawai yang menempel di telapak
tangannya, lalu bertanya, “ReGener8
Anda sudah siap.”
Pemuda
yang dipanggil Tuan Mercer itu bangkit, menghela napas berat, sebelum menjawab,
“Baguslah. Aku sudah tak sabar bermain skyboard
lagi.”
Ia
menoleh ke arah Finnick, dan berkata, “Semoga sukses.”
Finnick
menghela napas. Pemerintahan baru membuat distrik-distrik makin makmur. Seperti
pemuda tadi, banyak orang-orang kaya baru yang cukup gila untuk melakukan
kegiatan-kegiatan berbahaya berisiko tinggi, meniru The Hunger Games. Pemilik rumah sakit ini cukup pintar membaca
peluang bisnis dan tidak pernah gagal
melayani pasien dengan kebutuhan khusus yang berani membayar mahal. Program ReGener8 mereka selalu berhasil
menumbuhkan kembali jaringan tubuh pasien yang, entah karena nasib buruk maupun
sengaja, kehilangan anggota tubuh mereka.
Finnick
tersenyum pahit. Kalau bukan karena Peeta Mellark, ia takkan berada di sini.
“Aku.
Ingin. Mati,” geramnya pada Peeta, ketika terakhir kali mereka bertemu. “Kau
tak bisa memaksaku tetap hidup, Peeta.”
Sahabatnya
itu mengangkat kepala sejenak dari lukisan yang tengah dibuatnya. Lukisan
padang rumput saat matahari terbenam. Begitu indah. Begitu damai. Hanya saja
Finnick tahu, itu bukan padang rumput biasa. itu kuburan massal keluarga Peeta
di Distrik 12.
“Matilah
bila saatnya mati, Finnick. Jangan sekarang. Jangan ketika putramu masih
membutuhkanmu.”
“Annie
sudah mati,” desah Finnick.
“Ya,
tapi anakmu masih hidup. Annie ingin kau menjaganya,” tandas Peeta. “Ia
menyayangi anakmu. Jangan kecewakan dia.” Tangannya dengan terampil memulaskan
warna-warna kuning, jingga, biru, dan merah di atas kanvas. Ia tak berkata
apa-apa lagi, pertanda ia menyudahi pembicaraan itu.
Finnick
tak menyahut. Ia tahu Peeta benar.
Finnick
mendesah, lalu mengernyit. Rasa tak nyaman di dadanya kembali lagi. Rasa nyeri
yang timbul sejak The Hunger Games keenampuluh
lima yang dimenanginya, dan memburuk ketika Annie meninggal. Tampaknya ia
terluka lebih dalam daripada yang diduga semua orang.
Tak
apa, ia menghibur diri, sebentar lagi nyerinya hilang.
“Tuan
Finnick Odair? ReGener8 Anda sudah
siap,” panggil seorang perawat membuyarkan lamunannya. “Mari masuk.”
Dokter
Han belum hadir di ruangan ketika Finnick masuk. Finnick tak keberatan
menunggu. Sesudah beberapa kali menjadi pasien Dokter Han, ia mulai terbiasa
dengan ruangan itu. Ruangan Dokter Han terasa nyaman baginya. Padahal ruangan
itu sama saja dengan bagian manapun dari rumah sakit itu. Putih. Dingin. Serba
otomatis dan ultramodern, seperti seharusnya sebuah rumah sakit.
Entahlah.
Mungkin pemilik ruangan itulah yang membuat ruangan ini terasa lebih ramah bagi
Finnick. Ia mengenal Dokter Han sejak masa-masa The Hunger Games. Lelaki itu teman, bukan sekedar dokter bagi
Finnick.
Tanpa
berkata-kata, perawat mempersilakan Finnick menuju ruang ganti. Setelah
mengganti pakaiannya dengan seragam pasien, ia merebahkan diri di ranjang di
tengah ruangan, lalu menunggu dengan sabar.
“Sudah
siap, Finnick?” suara bariton Dokter Han membuyarkan lamunannya. Seorang perawat
membuntut di belakangnya, membawa sebuah kotak yang mengepulkan asap dingin.
Finnick
tersenyum sekilas. “Sudah, Dokter.”
Dokter
Han tersenyum sambil mengangsurkan kotak itu ke hadapan Finnick, memamerkan isinya. “Jantungmu
yang baru sudah siap.”
Finnick
memandangi segumpal daging seukuran telapak tangannya itu dengan kagum. Begitu segar. Begitu baru.
Dokter
Han mengangkat alis, bertanya tanpa kata. Finnick mengangguk puas.
“Kalau
begitu, ayo kita mulai,” kata Dokter Han sambil memasang masker.
Perawat
menyuntikkan obat bius ke dalam pembuluh darahnya.
Kegelapan
total memeluk Finnick Odair.
Bersama F dalam ingatan. Inspirasiku.
Selalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar