Aku belum bertemu lagi dengan Cahyo
sejak pengakuannya tempo hari. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Belum
apa-apa aku jadi salah tingkah. Membayangkan bertemu dengannya saja membuat
wajahku hangat seperti diuapi. Ia membuatku merona seperti remaja yang dilanda
cinta.
Aku tenggelam dalam lamunan sehingga
baru kusadari bahwa Atikah menanyakan sesuatu padaku sambil menggamit lenganku.
Sepulang dari kantor tadi ia menyusulku di kampus. Langit sudah gelap ketika kami sedang berjalan menuju
tempat parkir mobil. Kampus sudah sepi.
Kuhempaskan tubuhku di kursi. Untung
ruangan dosen sedang sepi, sehingga bisa kujulurkan kakiku sejauh-jauhnya,
tanpa kuatir merintangi jalan sesama dosen yang lalu-lalang. Kelasku berikutnya
baru dimulai setelah Asar, sehingga aku bisa mengistirahatkan pita suaraku.
Sudah beberapa hari ini tenggorokanku gatal sekali.
“Sam, ini daftar undangan dari keluarga
kami,” Pak Ruslan, ayah Atikah, menyodorkan beberapa lembar kertas berisi nama
dan alamat. Setelah mengajar tadi aku mampir ke rumah Atikah untuk makan siang.
“Kapan undangannya jadi? Undangan itu harus terkirim lebih dulu lho, supaya keluarga
yang rumahnya jauh bisa datang.”
Laki-laki
berpenampilan halus itu duduk dengan canggung. Mas Agung namanya, pemilik wedding organizer yang direkomendasikan
orang tua Atikah untuk menangani resepsi
pernikahan kami. Nama yang maskulin, walaupun aku tak bisa menangkap maskulinitas
itu dalam penampilannya yang serba merah muda, suaranya yang lembut, dan
kukunya yang termanikur rapi.
“Apa-apaan
maumu ini, papamu disuruh menemani mamamu di pelaminan? Kalau kamu khawatir
mamamu tidak ada yang mendampingi, kamu kan bisa bilang pada Tante, supaya
nanti Om Ario yang mendampingi mamamu,” Tante Wulan memandangku dengan kening
berkerut. Tante Wulan adik Mama satu-satunya, sehingga aku tak heran mendapati
ia marah-marah padaku.