SAMUDRA
Laki-laki
berpenampilan halus itu duduk dengan canggung. Mas Agung namanya, pemilik wedding organizer yang direkomendasikan
orang tua Atikah untuk menangani resepsi
pernikahan kami. Nama yang maskulin, walaupun aku tak bisa menangkap maskulinitas
itu dalam penampilannya yang serba merah muda, suaranya yang lembut, dan
kukunya yang termanikur rapi.
Hari
ini aku mengajak Mama bertemu dengan Mas Agung. Map kulit miliknya terbuka di
hadapan kami. Isinya terserak di atas meja. Sudah beberapa saat Mas Agung
berusaha membuat Mama tertarik pada lembar-lembar konsep resepsi pernikahan dan contoh kartu
undangan yang dibawanya, tapi sejauh ini Mama hanya memandanginya tajam. Aku
merasa geli sekaligus kasihan melihatnya.
“Mungkin
ada yang kurang berkenan, Bu?” tanyanya takut-takut. “Sebenarnya kami memang
lebih suka bila orang tua pihak calon pengantin pria lebih aktif terlibat dalam
perencanaan resepsi
pernikahan, Bu. Supaya sama-sama enak, tidak ada salah paham, dan keinginan
masing-masing keluarga bisa terwujud. Kalau hanya orang tua calon pengantin
wanita saja yang aktif, seringkali di belakang hari muncul gerundelan dari
keluarga pengantin pria karena merasa tidak dilibatkan,” celoteh Mas Agung
panjang-lebar.
“Saya
keberatan bila nama ayah Samudra dicantumkan dalam kartu undangan. Cukup nama
saya saja yang tertera sebagai orang tua pengantin pria,” sahut Mama tandas.
Mas
Agung hanya bengong. “Hanya nama Ibu saja yang tertera di kartu undangan?”
tanyanya menegaskan.
“Iya.
Nama ayah tidak usah ditulis. Sekalian saya minta konsep acara yang tidak
menghadirkan orang tua mempelai. Bisa tidak?”
“Maksudnya?”
“Ya
itu tadi... acara pernikahan, tapi orang tua mempelai tidak usah muncul.”
“Ma,
tidak bisa begitu, dong! Tidak enak sama orang tua Atikah. Mereka pasti ingin
mendampingi Atikah di pelaminan. Dan kalau orang tua Atikah ada, tapi Mama
tidak ada, pasti aneh jadinya. Bisa-bisa dikira Mama tidak merestui pernikahan
kami,” bujukku sambil mendorong tumpukan kertas itu ke hadapan Mama sebelum Mas
Agung sempat bersuara. “Cobalah lihat dulu susunan acara dari Mas Agung ini.
Rasanya sudah cukup bagus, kok.”
“Oke...
kalau begitu saya minta disusunkan konsep acara pernikahan yang tidak memalukan,” ralat Mama sambil mendelik menatapku, “di
mana ayah mempelai pria tidak usah
muncul.”
Pelan-pelan
raut wajah Mas Agung berubah. Ia paham sekarang. “Oh, begitu... Bagaimana bila
konsepnya seperti ini, Bu?” Sebuah pena muncul secara ajaib di tangannya, lalu
ia segera sibuk mencoret-coret salah satu lembaran kertas berisi daftar acara.
Aku
menghela napas tak sabar. Astaga... bukan ini yang kuinginkan!
nice post mbak
BalasHapusterima kasih, mas...
Hapusdan terima kasih mampirnya...
Wah, ibunya mas samudra masih belum bisa lepas dari dendam masa lalu ya? Cerita menarik Mbak.
BalasHapusgagal muv on... hehehehehehehe...
Hapusmbak, komennya yg di bawah ini, bukan aku yg menghapus lho yaaa...
kok ada tulisannya "Komentar ini telah dihapus oleh pengarang"
atau mungkin aku yg masih awam dengan dunia per-blog-an sehingga salah pencet ???
tapi rasa2nya saya belum buka posting ini sejak tayang tadi pagi.
walau bagaimanapun, kalo saya ada salah, saya minta maap yaaa...
dan terima kasih untuk mampirnya.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMenyimak... *komen standar*
BalasHapusNglesot nok sebelahe mba Lis. Nunggu terusannya bu Dani ....
Hapusterima kasih... *respon standar tapi tulus* :D :D :D
Hapusbuat mbak nita, salam kenal...
Hapusterima kasih sudah singgah.
Jangan2 papa tiri Atikah papanya Sam yaa?
BalasHapusmbak Arteem.. Iyakah? wadoww..
papa tiri ???
Hapuskoyoke gak ono papa tiri deh mbaaaakkk... :D :D :D
tapi matur nuwun dah singgah yaaaa....
Menunggu dengan sabar sesabar sabarnya#pasang muka melas...
BalasHapuspukpuk mbak dyah rina...
Hapusterima kasih sudah mampir... :D
Hari ini mengintip k sini trnyt blm ada kelanjutannya :-)
BalasHapusSabar menunggu ....
hahahahaha...
Hapusbelum, mbak...
terima kasih atas kesabarannya menunggu... :D