Rabu, 09 Desember 2015

PERNIKAHAN SAMUDRA bagian 6

Sebelumnya di PERNIKAHAN SAMUDRA bagian 5




SAMUDRA
Huuufffttt...

Kuhempaskan tubuhku di kursi. Untung ruangan dosen sedang sepi, sehingga bisa kujulurkan kakiku sejauh-jauhnya, tanpa kuatir merintangi jalan sesama dosen yang lalu-lalang. Kelasku berikutnya baru dimulai setelah Asar, sehingga aku bisa mengistirahatkan pita suaraku. Sudah beberapa hari ini tenggorokanku gatal sekali.


Iseng-iseng kutengok ponselku. Astaga... belasan pesan singkat dan panggilan tak terjawab menunggu responku. Untung saja ponselku kuatur dalam mode senyap. Kalau tidak, alangkah riuhnya kelasku tadi dengan bunyi panggilan ponsel yang tak kunjung henti!

Nama Atikah, Mama, dan Tante Wulan silih berganti muncul di ponsel. Kukerutkan kening: ada apa ini? Seingatku, mereka tak pernah membombardir ponselku seperti ini.

Buruan telpon Mama!

Apa2an kamu ini, cepat telpon Tante!

Gawat mas, Bunda marah Papa datang

Kapan kamu ngabari papamu tentang pernikahan? Kok gak kasih tau Mama dulu?

Cepat telpon Tante! Lain kali kalo mau apa2, mikir dulu!

Kubuka deretan pesan itu. Sebentar saja aku tercekat. Kaget, senang, penuh harap, bingung, campur-aduk. Papa sudah datang? Benar Papa sudah datang? Tapi kata Papa, paling cepat Papa datang tiga hari lagi. Buru-buru kuhubungi Atikah.
           
“Papa sudah datang?” tanyaku setelah mengucap salam.

“Iya Mas, Papa muncul di hotel waktu aku dan Bunda lagi lihat-lihat ruangan.”

Papa memang sudah tahu hotel mana yang akan dipakai sebagai tempat resepsi. Aku sendiri yang memberitahu detil acaranya. “Terus gimana?”

“Ya gitu deh, Bunda tidak bilang apa-apa, langsung pergi aja.”

“Waduh...”

Atikah terdiam sejenak. “Mas nggak bilang ke Bunda ya, kalau Mas sudah mengabari Papa tentang pernikahan kita?”

Rasa bersalah merayapi hatiku. “Belum. Mau bilang tapi lupa-lupa terus,dustaku. Untung Atikah tak bisa melihat wajahku. Sejujurnya aku menunda-nunda karena tidak tahu bagaimana memberitahu Mama tanpa membuat Mama marah.

“Sekarang gimana, Mas?”

Sejujurnya aku juga tak tahu harus bagaimana. Aku memang sudah menyusun rencana bagi kedatangan Papa, tapi itu rencana untuk tiga hari yang akan datang. Bukan sekarang. Bukan hari ini.

“Sekarang Papa di mana?”

Atikah menyebutkan sebuah alamat. Aku tahu alamat itu. Rumah Mbah.

“Mas...” Aku hanya separuh mendengar Atikah memanggilku. Benakku ada di tempat lain, tempat yang harus kudatangi sekarang juga.

*****
DEWA
Pulang ke kotamu / ada setangkup haru dalam rindu...”

Lagu lama dari Kla Project itu terus terngiang di telingaku sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Malang. Kota yang pernah menjadi tempat tinggalku. Resminya, Bapak dan Ibu juga masih tinggal di sini. Namun karena keluargaku dan keluarga Witri tinggal di Jakarta, Bapak dan Ibu lebih sering menghabiskan waktu bersama kami di sana.

Bagaimanapun, aku tak bisa meninggalkan kota ini sepenuhnya karena Sam tinggal di sini. Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku melihatnya? Empat, lima tahun? Atau lebih? Sudah seperti apa wajahnya sekarang?

Aku mendesah. Bagiku, kenangan terkuat akan kota ini adalah Ratri dan perceraian kami. Sejujurnya, aku tak menyesal. Segera setelah menikah, aku tahu aku bukan laki-laki yang dibutuhkan Ratri. Aku selalu yakin, cepat atau lambat kami toh akan berpisah juga. Perkenalanku dengan Gandari mempercepat proses itu. Namun tak pernah terpikir olehku sedalam itu sakit hati Ratri. Ketika aku sadar, semua sudah terlambat. Kerusakan sudah terjadi. Karena itu aku tak berpanjang kata dalam sidang perceraian kami. Bahkan kuiyakan saja ketika Ratri minta hak asuh atas Sam.

Waktu itu kupikir sakit hati Ratri bisa berkurang bila kuturuti kemauannya. Siapa sangka sampai sekarang ia tetap tidak memaafkanku?

Sam... Sam penyesalan terbesarku. Korban tak berdosa dari semua keruwetan ini. Aku sudah melewatkan banyak hal dalam kehidupannya, namun tidak kali ini. Aku ingin menyaksikan pernikahan Sam. Karena itu tanpa pikir panjang, aku segera berangkat ke sini setelah ia meneleponku mengabarkan rencana pernikahannya.

Lamunanku terhenti ketika seseorang menekan bel pintu. Seorang laki-laki. Memandang laki-laki di ambang pintu itu seperti memandang bayanganku di cermin. Benar kata semua orang: Samudra mirip sekali denganku.

Selama beberapa saat kami hanya berdiri berpandangan, lalu entah siapa yang mulai, tiba-tiba kami sudah berpelukan erat.

“Ayo masuk,” suaraku pecah karena haru. Samudra hanya mengangguk, lalu mengikuti langkahku.

“Maaf aku tidak bisa lama-lama di sini,” katanya meminta maaf setelah menghenyakkan tubuh di sofa. “Jam setengah empat nanti aku ngajar lagi. Papa kapan datang?”

“Tadi pagi. Maunya sih aku bikin kejutan, ketemuan di hotel. Kukira kamu tadi yang bersama Atikah melihat-lihat ruangan resepsi, tapi ternyata...”

 “Iya, rencananya memang aku menemani Atikah, tapi ternyata ada teman dosen yang tidak bisa mengajar, jadi aku gantikan. Kebetulan kantor Mama dekat situ, jadi Mama yang akhirnya menemani Atikah.” Samudra mendehem. “Kata Atikah, Papa ketemu Mama...” kata-katanya menggantung.

Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. “Iya, tapi mamamu langsung pergi. Sibuk mungkin, ya,” kataku berusaha maklum.

“Ehm... Mama sebetulnya belum tahu bahwa Papa akan datang...”

Aku menatap Samudra yang duduk salah tingkah di sampingku. Ia tampak seperti bocah yang ketahuan memecahkan kaca jendela rumah tetangga. Hilang sudah penampilannya yang penuh percaya diri tadi.

“Oh begitu... Jadi bagaimana sekarang?”

“Jangan bikin kejutan lagi ya Pa, kalau mau ketemuan, kita janjian saja dulu.”

Pikiran yang timbul ketika bertemu Ratri tadi muncul lagi: datang ke sini mungkin bukan keputusan yang tepat.



7 komentar:

  1. Mbak... Kok nggak dari kemarin2 sih bikin blog pribadi? Tulisannya bagus gini...
    Lanjut wis...

    BalasHapus
    Balasan
    1. butuh nyali besar buat bikin blog pribadi, mbak...
      buatku, bikin blog pribadi berarti isinya juga harus bisa dipertanggungjawabkan.

      etapi ngeliat lis makin bahagia dengan blog-nya aku juga jadi tergoda bikin...

      dan inilah diaaa... blogkuuuu...

      terima kasih sudah mengikuti blog-ku, mbak.
      aku masih harus banyak belajar, kok.

      Hapus
  2. Haish! Kejutan... kejutan... dengkule apek iku... >_<

    BalasHapus
    Balasan
    1. wakakakakaka...
      jangan benci2 banget ma dewa, jeng...
      ntar malah jadi cinta lhooo... :D :D :D

      matur nuwun mampirnyaaaa... #peyuuuuukkk...

      Hapus
  3. Weeh .... Telat ngisi absensi lg aku mba :-)
    Gara2 kemarin pd libur jd sibuk mengurusi 3 giant baby yg msh "semego"
    Siap menunggu part brktnya .... :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. gpp, mbak...
      namanya juga masih dalam masa pertumbuhan... :D :D :D

      sing penting sek iso mampir tooo...

      matur nuwun...

      Hapus
  4. terima kasih, mas...

    terima kasih juga mampirnya...

    BalasHapus