SAMUDRA
Huuufffttt...
Kuhempaskan tubuhku di kursi. Untung
ruangan dosen sedang sepi, sehingga bisa kujulurkan kakiku sejauh-jauhnya,
tanpa kuatir merintangi jalan sesama dosen yang lalu-lalang. Kelasku berikutnya
baru dimulai setelah Asar, sehingga aku bisa mengistirahatkan pita suaraku.
Sudah beberapa hari ini tenggorokanku gatal sekali.
Iseng-iseng kutengok ponselku. Astaga...
belasan pesan singkat dan panggilan tak terjawab menunggu responku. Untung saja
ponselku kuatur dalam mode senyap. Kalau tidak, alangkah riuhnya kelasku tadi dengan
bunyi panggilan ponsel yang tak kunjung henti!
Nama Atikah, Mama, dan Tante Wulan silih
berganti muncul di ponsel. Kukerutkan kening: ada apa ini? Seingatku, mereka
tak pernah membombardir ponselku seperti ini.
Buruan telpon Mama!
Apa2an kamu ini, cepat telpon Tante!
Gawat mas, Bunda marah Papa datang
Kapan kamu ngabari papamu tentang pernikahan? Kok gak
kasih tau Mama dulu?
Cepat telpon Tante! Lain kali kalo mau
apa2, mikir dulu!
Kubuka deretan pesan itu. Sebentar saja
aku tercekat. Kaget, senang, penuh harap, bingung, campur-aduk. Papa sudah
datang? Benar Papa sudah datang? Tapi kata Papa, paling cepat Papa datang tiga
hari lagi. Buru-buru kuhubungi Atikah.
“Papa sudah datang?” tanyaku setelah
mengucap salam.
“Iya Mas, Papa muncul di hotel waktu aku
dan Bunda lagi lihat-lihat ruangan.”
Papa memang sudah tahu hotel mana yang
akan dipakai sebagai tempat resepsi. Aku sendiri yang memberitahu detil
acaranya. “Terus gimana?”
“Ya gitu deh, Bunda tidak bilang
apa-apa, langsung pergi aja.”
“Waduh...”
Atikah terdiam sejenak. “Mas nggak
bilang ke Bunda ya, kalau Mas sudah mengabari Papa tentang pernikahan kita?”
Rasa bersalah merayapi hatiku. “Belum.
Mau bilang tapi lupa-lupa terus,”
dustaku. Untung Atikah tak bisa
melihat wajahku. Sejujurnya
aku menunda-nunda karena tidak tahu bagaimana memberitahu Mama tanpa membuat
Mama marah.
“Sekarang gimana, Mas?”
Sejujurnya aku juga tak tahu harus
bagaimana. Aku memang sudah menyusun rencana bagi kedatangan Papa, tapi itu
rencana untuk tiga hari yang akan datang. Bukan sekarang. Bukan hari ini.
“Sekarang Papa di mana?”
Atikah menyebutkan sebuah alamat. Aku
tahu alamat itu. Rumah Mbah.
“Mas...” Aku hanya separuh mendengar
Atikah memanggilku. Benakku ada di tempat lain, tempat yang harus kudatangi
sekarang juga.
*****
DEWA
“Pulang
ke kotamu / ada setangkup haru dalam rindu...”
Lagu lama dari Kla Project itu terus
terngiang di telingaku sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Malang. Kota yang
pernah menjadi tempat tinggalku. Resminya, Bapak dan Ibu juga masih tinggal di
sini. Namun karena keluargaku dan keluarga Witri tinggal di Jakarta, Bapak dan
Ibu lebih sering menghabiskan waktu bersama kami di sana.
Bagaimanapun, aku tak bisa meninggalkan
kota ini sepenuhnya karena Sam tinggal di sini. Sudah berapa lama sejak
terakhir kali aku melihatnya? Empat, lima tahun? Atau lebih? Sudah seperti apa
wajahnya sekarang?
Aku mendesah. Bagiku, kenangan terkuat
akan kota ini adalah Ratri dan perceraian kami. Sejujurnya, aku tak menyesal. Segera
setelah menikah, aku tahu aku bukan laki-laki yang dibutuhkan Ratri. Aku selalu
yakin, cepat atau lambat kami toh akan berpisah juga. Perkenalanku dengan
Gandari mempercepat proses itu. Namun tak pernah terpikir olehku sedalam itu
sakit hati Ratri. Ketika aku sadar, semua sudah terlambat. Kerusakan sudah
terjadi. Karena itu aku tak berpanjang kata dalam sidang perceraian kami.
Bahkan kuiyakan saja ketika Ratri minta hak asuh atas Sam.
Waktu itu kupikir sakit hati Ratri bisa
berkurang bila kuturuti kemauannya. Siapa sangka sampai sekarang ia tetap tidak
memaafkanku?
Sam... Sam penyesalan terbesarku. Korban
tak berdosa dari semua keruwetan ini. Aku sudah melewatkan banyak hal dalam
kehidupannya, namun tidak kali ini. Aku ingin menyaksikan pernikahan Sam. Karena
itu tanpa pikir panjang, aku segera berangkat ke sini setelah ia meneleponku
mengabarkan rencana pernikahannya.
Lamunanku terhenti ketika seseorang
menekan bel pintu. Seorang laki-laki. Memandang laki-laki di ambang pintu itu
seperti memandang bayanganku di cermin. Benar kata semua orang: Samudra mirip
sekali denganku.
Selama beberapa saat kami hanya berdiri
berpandangan, lalu entah siapa yang mulai, tiba-tiba kami sudah berpelukan
erat.
“Ayo masuk,” suaraku pecah karena haru.
Samudra hanya mengangguk, lalu mengikuti langkahku.
“Maaf aku tidak bisa lama-lama di sini,”
katanya meminta maaf setelah menghenyakkan tubuh di sofa. “Jam setengah empat
nanti aku ngajar lagi. Papa kapan datang?”
“Tadi pagi. Maunya sih aku bikin
kejutan, ketemuan di hotel. Kukira kamu tadi yang bersama Atikah melihat-lihat
ruangan resepsi, tapi ternyata...”
“Iya, rencananya memang aku menemani Atikah,
tapi ternyata ada teman dosen yang tidak bisa mengajar, jadi aku gantikan.
Kebetulan kantor Mama dekat situ, jadi Mama yang akhirnya menemani Atikah.”
Samudra mendehem. “Kata Atikah, Papa ketemu Mama...” kata-katanya menggantung.
Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa.
“Iya, tapi mamamu langsung pergi. Sibuk mungkin, ya,” kataku berusaha maklum.
“Ehm... Mama sebetulnya belum tahu bahwa
Papa akan datang...”
Aku menatap Samudra yang duduk salah
tingkah di sampingku. Ia tampak seperti bocah
yang ketahuan memecahkan kaca jendela
rumah tetangga. Hilang sudah penampilannya yang penuh
percaya diri tadi.
“Oh begitu... Jadi bagaimana sekarang?”
“Jangan bikin kejutan lagi ya Pa, kalau
mau ketemuan, kita janjian saja dulu.”
Pikiran yang
timbul ketika bertemu Ratri tadi muncul lagi: datang ke sini
mungkin bukan keputusan yang tepat.
Mbak... Kok nggak dari kemarin2 sih bikin blog pribadi? Tulisannya bagus gini...
BalasHapusLanjut wis...
butuh nyali besar buat bikin blog pribadi, mbak...
Hapusbuatku, bikin blog pribadi berarti isinya juga harus bisa dipertanggungjawabkan.
etapi ngeliat lis makin bahagia dengan blog-nya aku juga jadi tergoda bikin...
dan inilah diaaa... blogkuuuu...
terima kasih sudah mengikuti blog-ku, mbak.
aku masih harus banyak belajar, kok.
Haish! Kejutan... kejutan... dengkule apek iku... >_<
BalasHapuswakakakakaka...
Hapusjangan benci2 banget ma dewa, jeng...
ntar malah jadi cinta lhooo... :D :D :D
matur nuwun mampirnyaaaa... #peyuuuuukkk...
Weeh .... Telat ngisi absensi lg aku mba :-)
BalasHapusGara2 kemarin pd libur jd sibuk mengurusi 3 giant baby yg msh "semego"
Siap menunggu part brktnya .... :-)
gpp, mbak...
Hapusnamanya juga masih dalam masa pertumbuhan... :D :D :D
sing penting sek iso mampir tooo...
matur nuwun...
terima kasih, mas...
BalasHapusterima kasih juga mampirnya...