RATRI
Wulan mengintip lewat jendela ketika
terdengar pintu pagar dibuka orang. “Samudra datang,” katanya memberitahu.
“Kamu sudah enakan?”
Sore tadi kepalaku pening sekali
sehingga aku meminta Wulan mampir untuk mengurutku.
Aku mengangguk. Peningku sudah berkurang
berkat pijatan Wulan, tapi tetap saja badanku masih terasa tak keruan.
“Ini sih bukan penyakit betulan... ini karena kebanyakan pikiran,”
cetus Wulan setelah mengamati wajahku. “Yakin sudah bisa ditinggal, nih?”
“Iya, terima kasih. Sudah, kamu pulang aja. Aku sudah tidak apa-apa,”
jawabku meyakinkannya.
Wulan mendengus. “Anakmu itu ya... sudah
sebesar itu masih saja bertindak tanpa dipikir dulu. Badannya aja yang gede,
pikirannya masih seperti anak-anak.”
Aku tak menjawab. Aku masih belum
sepenuhnya percaya bahwa kedatangan Dewa ternyata didalangi Samudra sendiri.
Siapa sangka Samudra setega itu padaku? Kenapa dia tidak memberitahuku bahwa
Dewa akan datang, supaya setidaknya aku bisa mempersiapkan hatiku? Selama ini
aku selalu yakin Sam akan selalu jujur padaku, tidak ada yang ditutup-tutupi di
antara kami, namun ternyata...
Wulan memberiku pelukan singkat, lalu
beranjak keluar kamar. Setelah Wulan keluar, buru-buru kukunci pintu kamarku.
Lamat-lamat kudengar Wulan menyapa Sam
sambil berpesan, “Mamamu pusing. Sekarang lagi tidur. Jangan diganggu.”
Dalam keremangan kamar tidur aku
mendengar Samudra mondar-mandir di luar. Pasti ia baru saja mandi, lalu ke
dapur untuk mengambil makan malam. Seharusnya aku menemaninya makan malam,
seperti biasanya, namun aku belum sanggup bertemu dengannya.
Suara langkah kaki berhenti di depan
pintu kamar, disusul ketukan lembut dan suara Samudra, “Ma, Mama sudah makan?
Bangun dulu yok, makan bareng aku...”
Panggilannya berhenti setelah beberapa
menit lewat tanpa kujawab. Langkah kakinya menjauh. Tampaknya dia akhirnya menyerah dan
makan malam sendirian.
Suara dentang jam dinding mengagetkanku.
Sepertinya aku tertidur sejenak. Lamat-lamat kudengar suara keran di dapur. Sam
pasti sedang mencuci piring bekas makan malamnya, lalu kembali menekuni
buku-bukunya, menyusun materi kuliah untuk esok hari.
Langkahnya berhenti di depan pintu
kamarku lagi. “Ma... Ma...,” panggilnya lembut sambil mengetuk pintu.
Ditunggunya beberapa saat. Karena aku tetap diam, akhirnya ia menyerah. “Ma,
maaf aku nggak memberitahu Mama kalau Papa datang,” katanya pelan di depan
pintu yang tertutup, lalu langkahnya terdengar menjauh.
Tangisku pecah seketika. Mukaku kusurukkan
dalam bantal supaya suara isakku teredam.
Perasaanku campur-aduk. Marah karena dikerjai Sam. Marah karena semua masalah
ini tak perlu terjadi, bila dulu Dewa tidak mengkhianati aku. Dewa yang bodoh
dan egois. Samudra yang seenaknya sendiri. Dewa tak pantas datang. Dewa tak pantas
disebut ayah. Samudra yang malang karena punya ayah seperti itu. Samudra yang
bodoh karena menyayangi
ayah yang tak pantas disayangi.
Kepalaku
berdentam-dentam nyeri, namun hatiku lebih sakit lagi.
*****
DEWA
“Pulang sajalah, Mas. Tidak ada gunanya
kamu di situ. Malah bikin ruwet saja,”
kata Witri, adikku, lewat sambungan ponsel. “Memangnya kamu mau apa di sana?”
“Samudra
bagian dari keluarga kita,
Wit. Cucu pertama Bapak. Sudah sepantasnya kita terlibat dalam pernikahannya,
tidak dicuekin seperti ini!” tanpa sadar suaraku meninggi.
“Kamu tahu persis kenapa jadinya seperti
ini,” sahut Witri tandas.
Aku merasa mendengar nada menuduh dalam suaranya.
“Sudah lewat bertahun-tahun, Wit. Sudah
tidak ada gunanya membahas kenapa aku bercerai dari Ratri.”
“Ya Mas, tapi itu persisnya alasan kenapa Mbak Ratri tidak
ingin satupun dari keluarga kita yang hadir dalam pernikahan Samudra, apalagi
terlibat di dalamnya.”
Aku mendengus. “Aku
baru akan pulang setelah pernikahan Samudra rampung.”
Aku tak mau
disisihkan begitu saja dalam pernikahan Samudra. Niat itu begitu saja muncul
ketika aku diantar Samudra bertandang ke rumah Pak Ruslan untuk berkenalan
dengan calon besanku itu.
“Saya
menyampaikan salam dan keinginan
keluarga besar kami untuk ikut gotong-royong dalam pernikahan Sam,” kataku.
Pak dan Bu Ruslan berpandangan.
“Gotong-royong bagaimana, Pak Dewa?”
tanya Pak Ruslan.
“Samudra ini kan cucu pertama dalam
keluarga kami, jadi keluarga besar kami ingin juga terlibat dalam
pernikahannya. Terserah saja kami akan dilibatkan dalam hal apa, pokoknya kami
ingin membantu.”
Samudra terdiam.
Pak Ruslan menjawab, “Pada prinsipnya
kami tidak keberatan Pak, karena kami senang sekali menambah saudara. Sementara
ini kami merasa semua urusan resepsi
yang kami tangani sudah beres. Untuk urusan yang ditangani Samudra dan
keluarganya, silakan dibicarakan sendiri. Siapa tahu masih ada yang belum
rampung sehingga bisa dibantu Pak Dewa dan keluarga...”
Papa menoleh padaku. “Bagaimana, Sam?”
Samudra menggeleng
lemah. “Coba nanti aku tanya Mama…”
*****
RATRI
Wulan menatapku tanpa berkedip. “Lalu
bagaimana sekarang?” tanyanya.
Kami sedang makan siang berdua ketika Bu
Ruslan meneleponku, mengabarkan bahwa Dewa baru saja berkunjung ke rumah mereka
untuk menawarkan bantuan bagi acara pernikahan Samudra dan Atikah. Aku balik
menatap Wulan. “Apanya yang bagaimana? Kan sudah jelas, kalau Dewa ikut campur,
aku mundur saja. Biar saja mereka mengurusi semua.”
Wulan terdiam lama. “Jangan emosi.
Pikirkan dulu baik-baik, biar tidak menyesal nanti,” sahutnya. Heran juga aku,
tumben dia tidak gerah mendengar nama Dewa disebut-sebut. “Terutama pikirkan
Samudra.”
Pikirkan Samudra. Ucapan
Wulan itu terus terngiang di telingaku, bahkan hingga aku menunggu Sam pulang
dari kampus malam harinya. Begitu melihatku menunggunya, Sam jadi salah tingkah.
“Ma...” ia membuka mulut.
“Mandilah dulu, lalu kita makan,”
potongku.
Kami makan malam dalam diam. Sam
mencengkeram sendok dan garpunya kuat-kuat. Kentara sekali ia gelisah.
“Ma...” ucapnya, lalu terdiam.
“Kalau ini tentang papamu, Mama sudah
tahu, Sam. Bu Ruslan
tadi menelepon Mama,” sahutku.
“Terus gimana, Ma? Aku gak bisa mencegah
Papa ikut mengurusi pernikahanku.”
Aku menatapnya lama sebelum menjawab.
“Kalau papamu ikut campur, lebih baik Mama mundur saja, Sam.”
“Mundur gimana maksud Mama?”
“Mundur ya mundur. Tidak mengurusi
pernikahanmu lagi, tidak datang ke acara pernikahanmu. Ada nama papamu dalam
kartu undangan saja Mama nggak mau, kok sekarang kamu suruh Mama mengurus
pernikahanmu bersama dia,” jawabku. “Mama ogah.”
“Jangan begitu dong Ma...”
“Lalu kamu ingin Mama bagaimana?
Bagaimana kalau papamu nongol sama... sama istrinya itu? Kalau papamu datang
sama perempuan itu, terus kamu suruh Mama bagaimana? Mama masih punya harga
diri, Sam. Mama tidak sudi papamu pamer istrinya di depan Mama, di depan semua
orang. Daripada dipermalukan, lebih baik Mama mundur saja,” tandasku.
“Papa datang sendiri, istrinya tidak
dibawa,” bantah Sam.
“Terserahlah. Intinya Mama tidak mau
terlibat kalau papamu ikut campur.”
nice post mbak
BalasHapusterima kasih, pak...
Hapusterima kasih juga mampirnya...
wah, pertamax nih... :D :D :D
Saya keduax kayaknya...
BalasHapusAlot juga nego sama Ratri... Padahal sih nggak ada lho bekas bapak meski ada bekas suami...
Wis nggak kakehan komen nunggu bagian 8 sambil rujakan...
nah itu dia, mbak dyah...
Hapusada jenis luka yg susah sembuhnya...
matur nuwun sudah mampir...
matur nuwun juga bersedia menunggu...
rujaknya boleh tu dikirim ke malang... :D :D :D
Rumitttt.... :(
BalasHapushehehehehehe... iya, mas...
Hapusterima kasih sudah singgah...
Semua jalan dgn egonya sendiri2.
BalasHapusNyuwun ngapunten baru sempat baca lagi Mba.
gpp, mbak tiwi...
Hapusdiikuti ceritanya aja saya udah seneng banget... :D
matur nuwun...
matur nuwun rawuhipun.