Selasa, 01 Desember 2015

PERNIKAHAN SAMUDRA bagian 3




SAMUDRA
“Apa-apaan maumu ini, papamu disuruh menemani mamamu di pelaminan? Kalau kamu khawatir mamamu tidak ada yang mendampingi, kamu kan bisa bilang pada Tante, supaya nanti Om Ario yang mendampingi mamamu,” Tante Wulan memandangku dengan kening berkerut. Tante Wulan adik Mama satu-satunya, sehingga aku tak heran mendapati ia marah-marah padaku.


“Aku punya papa Tante, dan papaku masih hidup. Wajar dong kalau aku ingin didampingi Papa dan Mama nanti.”

Tante Wulan mendengus jengkel. “Sekali-sekali, cobalah menjaga perasaan mamamu.” 

Aku mengeluh dalam hati. Ironisnya, justru itulah yang kulakukan selama bertahun-tahun ini. Menjaga perasaan Mama, menjaga supaya Mama tidak menangis lagi. Aku benci melihat Mama menangis, terutama sepulang aku dari rumah Mbah, orang tua Papa. Tidak enak sekali rasanya, sehabis bersenang-senang di rumah Mbah, lalu menemukan Mama menangis di rumah. Aku tidak bodoh. Aku tahu Mama tak suka aku dekat-dekat dengan keluarga Papa.  

Apalagi setelah Papa menikah lagi dengan Tante Gandari. Pernikahan mereka membuat situasi jadi makin canggung. Mbah Kung dan Mbah Uti salah tingkah bila aku mengunjungi rumah mereka. Kakek, Nenek, dan Tante Wulan marah besar bila mereka tahu aku ke rumah kerabat Papa. Jadi aku memilih menjauh dari mereka.
 
Selama bertahun-tahun aku sudah menahan diri. Tapi tidak kali ini. Papa sudah melewatkan begitu banyak peristiwa penting dalam hidupku. Ulang tahunku yang ketujuh belas, wisudaku sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, bahkan khitananku. Aku tak akan membiarkan Papa melewatkan pernikahanku. 

”Aku menikah insyaallah cuma sekali, Tante. Masak sekali ini aja aku gak bisa melihat papa dan mamaku hadir bersama?”

Tante Wulan menatapku sambil geleng-geleng kepala. Kemarahannya sudah surut. Walaupun begitu, ia masih tidak bisa menerima gagasan mendudukkan Papa di sisi Mama.

”Dengar ya Samudra, kamu tanya mamamu baik-baik. Ingat, pernikahan ini bukan cuma menyangkut kamu. Pernikahan adalah urusan keluarga besar, jadi juga menyangkut perasaan keluarga kita, terutama perasaan mamamu. Kalau mamamu tidak mau papamu datang, tidak usah memaksa,” katanya.

“Justru aku ingin pernikahanku dirayakan karena aku ingin ada Papa dan Mama. Kalau tidak, ya sudah, tidak usah repot-repot bikin resepsi segala,” sergahku.

Tante Wulan menghembuskan napas jengkel. “Haduh anak iniiii…”
***


RATRI

“Memangnya apa sih yang sudah diperbuat Dewa, sampai kamu segitu sakit hati?” tanya Cahyo sambil menjilati sisa cappucino latte di bibirnya. “Apa dia pernah memukul kamu?”

Aku menggeleng. “Tidak, satu-satunya yang dia lakukan adalah main-main dengan perempuan lain waktu dia masih jadi suamiku.”

“Lalu kenapa sakit hatinya sampai sekarang? Dewa kan sudah bukan apa-apamu...”

Aku terdiam. Cahyo tak akan memahami aku. Aku selalu merasa ia lebih bisa memahami Sam. Orang tua Cahyo juga bercerai ketika kami duduk di bangku SMA karena ayahnya punya beberapa istri muda dan ibunya sudah tak tahan lagi. Aku menduga, perceraian merekalah yang menyebabkan sampai sekarang Cahyo tak kunjung menikah. Dulu aku selalu khawatir kedekatan Sam dengan Cahyo akan mempengaruhi pandangan Sam tentang pernikahan. Untungnya tidak. 

“Pernikahan Samudra sudah makin dekat. Maafkanlah Dewa walaupun untuk sehari saja. Yang penting Samudra senang, papanya hadir di resepsi pernikahannya.”
Ia menyeruput minumannya, lalu menambahkan, “Syukur-syukur maafmu itu berlaku untuk seterusnya, tidak untuk sehari saja.”

Aku mengernyit, memaafkan Dewa tak pernah ada dalam kamusku. “Kenapa?”

“Supaya kamu juga bisa berdamai dengan diri sendiri.”

Malamnya aku hanya tergolek dengan mata nyalang di tempat tidur. Insomnia ini menggangguku. Tubuhku lelah luar biasa, tapi benakku tak berhenti bekerja.

Pertanyaan Cahyo tak berhenti menggangguku. Apa yang membuatku membenci Dewa? Kenapa aku tak bisa memaafkannya? 

Sebabnya adalah aku tak tahu kesalahan Dewa yang mana yang sanggup kumaafkan. 

Selama sekian lama aku memilih untuk percaya padanya, untuk setia padanya. Aku setengah mati mencintainya. Aku tak pernah sedikitpun meragukan ucapannya. Aku percaya saja ketika ia bekerja di luar kota. Aku percaya saja ketika dia bilang dia sibuk sehingga tak meneleponku, apalagi menyempatkan diri untuk pulang menengok kami. Aku membatasi pergaulanku dengan laki-laki lain, terutama dengan laki-laki yang tak disukai Dewa. 

Cinta membuatku bodoh, buta, dan tuli terhadap semua dustanya. Klise memang, tapi perempuan yang jatuh cinta rupanya memang mudah dibodohi. Paling tidak, aku seperti itu.

Namun kebenaran selalu menemukan jalannya sendiri. Kejadian-kejadian kecil yang tampak sepele namun mengganggu mulai muncul. Telepon berdering, namun ketika diangkat, tak ada suara di seberang sana. Teman-teman yang tanpa sadar menyeletuk telah bertemu dengan Dewa bersama seorang perempuan di saat-saat ia mestinya sedang bekerja. Semua itu akhirnya bermuara pada satu nama yang selalu disebut oleh semua orang: Gandari. 

Lalu mendadak semua jelas seterang matahari: Gandari sudah menggantikan aku di hati Dewa.

Ayahku murka. Keluarga besarku geger. Keluarga Dewa membantah keras, menyebut aku pembohong dan pencemburu buta. Semua orang marah. Semua orang ribut. Semua orang saling menyalahkan. Tapi tak ada kemarahan sebesar kemarahanku pada diri sendiri. Tak ada kebencian sebesar aku membenci diriku sendiri. Tak ada yang menyalahkan aku sebesar aku menyalahkan diriku sendiri. 

Aku bodoh karena menikahi Dewa, ketika banyak orang sudah memperingatkan aku bahwa ia tak bisa dipercaya. Aku salah karena tetap mempercayai Dewa, ketika semua orang bilang bahwa Dewa membohongiku. Dan yang paling parah, aku bodoh karena jatuh cinta sedalam itu, sehingga ketika ternyata cinta itu meninggalkanku, tidak ada yang tersisa lagi dari diriku.

Kebodohan yang dipertegas dengan kenyataan bahwa Dewa sama sekali tidak menunjukkan keinginan untuk mempertahankan pernikahan kami di persidangan. Tak sekalipun ia menunjukkan keinginan untuk mempertahankan aku sebagai istrinya. 

Jadi aku tidak hanya bodoh: aku juga tidak berharga di mata Dewa. Tidak cukup berharga sebagai perempuan, tidak cukup penting untuk dipertahankan sebagai istri. 

Aku belum lagi dua puluh delapan tahun saat itu. Ketika teman-teman seusiaku banyak yang belum menikah, aku sudah menyandang predikat janda beranak satu.

Tak seperti aku, Samudra tak pernah berhenti berharap ayahnya akan datang, minimal menelepon. Samudra tak pernah berhenti berkhayal ayahnya juga menyayanginya. Berbeda denganku, ia tak pernah berhenti menyayangi Dewa, walaupun rasa sayangnya itu selalu berbuah kecewa.

Harapan yang sia-sia. Khayalan di siang bolong. Rasa sayang yang salah alamat.

Selama bertahun-tahun, inilah yang kulakukan. Menjauhkan Samudra dari sumber kekecewaan dan kesakitan bernama Dewa, walaupun itu ayahnya sendiri. Cukup aku saja yang menderita, jangan Samudra.


Aku tak mau dia merusak pesta pernikahan Samudra. Aku punya firasat Dewa hanya akan menyakiti hati Sam di hari bahagianya, dan aku, sebagaimana semua ibu yang waras di manapun di seluruh dunia, tentu tak mau itu terjadi. Kalau perlu, tak perlu ada Dewa dalam pernikahan anakku.


Selanjutnya di PERNIKAHAN SAMUDRA bagian 4



14 komentar:

  1. Lanjutannya Mbak...nunggu sambil ngopi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya temani sambil ngeteh...

      lanjutannya disegerakan...
      matur nuwun mampirnya.

      Hapus
  2. Pernah mengalami situasi yg sama dng background peristiwa berbeda. Ada multiple choice kmdn salah memilih ....
    Menyesalnya bs seumur hidup :-(

    #malah curcol

    BalasHapus
    Balasan
    1. memilih aja sudah sulit, apalagi kalo pilihan itu menyangkut rasa.

      matur nuwun rawuhnya, mbak.
      salam kenal...

      Hapus
    2. eh, njenengan mbak pertiwinya mas al apa bukan yaaa...

      kalo bener, salam kenal.
      saya dani, sobatnya lis sejak 37 taun yg lalu... :D

      kalo salah, ya tetap salam kenal... :D

      Hapus
    3. Loh ini uploadnya tiap hr yah Tan? Asiiiiiiiiiiik!!!!!!!
      Betewe itu yg diatas emng Mama sy Tan xixixixixixixi
      Skrng jd rajin blogwalking

      Hapus
    4. hehehehehehe...
      nggak tiap hari seh, put.
      tergantung mood ajah.

      salam buat mama yaaa...
      terima kasih mampirnya... :D

      Hapus
  3. hhmmm, semakin banyak konflik......
    ditunggu cerita selanjutnya bu :)

    BalasHapus
  4. Aq juga dikasi rekomendasi mba Lis. Ternyata ga salah. Ga sabar lanjutnya bu. Dah q babat mulai part 1
    Paham perasaan mamahnya Sam sih

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih mampirnya, mbak... :D

      salam kenal juga...
      monggo diikuti terus yaaa...

      Hapus
  5. Ihiiirrr saiki sing komen antri rwek...

    BalasHapus