SAMUDRA
“Apa-apaan
maumu ini, papamu disuruh menemani mamamu di pelaminan? Kalau kamu khawatir
mamamu tidak ada yang mendampingi, kamu kan bisa bilang pada Tante, supaya
nanti Om Ario yang mendampingi mamamu,” Tante Wulan memandangku dengan kening
berkerut. Tante Wulan adik Mama satu-satunya, sehingga aku tak heran mendapati
ia marah-marah padaku.
“Aku
punya papa Tante, dan papaku masih hidup. Wajar dong kalau aku ingin didampingi
Papa dan Mama nanti.”
Tante
Wulan mendengus jengkel. “Sekali-sekali, cobalah menjaga perasaan mamamu.”
Aku
mengeluh dalam hati. Ironisnya, justru itulah yang kulakukan selama
bertahun-tahun ini. Menjaga perasaan Mama, menjaga supaya Mama tidak menangis
lagi. Aku benci melihat Mama menangis, terutama sepulang aku dari rumah Mbah,
orang tua Papa. Tidak enak sekali rasanya, sehabis bersenang-senang di rumah
Mbah, lalu menemukan Mama menangis di rumah. Aku tidak bodoh. Aku tahu Mama tak
suka aku dekat-dekat dengan keluarga Papa.
Selama
bertahun-tahun aku sudah menahan diri. Tapi tidak kali ini. Papa sudah
melewatkan begitu banyak peristiwa penting dalam hidupku. Ulang tahunku yang
ketujuh belas, wisudaku sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, bahkan khitananku. Aku tak akan membiarkan Papa melewatkan pernikahanku.
”Aku menikah insyaallah cuma sekali, Tante. Masak sekali ini aja aku gak bisa
melihat papa dan mamaku hadir bersama?”
Tante Wulan menatapku sambil geleng-geleng kepala.
Kemarahannya sudah surut. Walaupun begitu, ia masih tidak bisa menerima gagasan
mendudukkan Papa di sisi Mama.
”Dengar ya Samudra, kamu tanya
mamamu baik-baik. Ingat, pernikahan
ini bukan cuma menyangkut kamu. Pernikahan adalah urusan keluarga besar, jadi
juga menyangkut perasaan keluarga kita, terutama perasaan mamamu. Kalau mamamu
tidak mau papamu datang, tidak usah memaksa,” katanya.
“Justru aku ingin pernikahanku
dirayakan karena aku ingin ada Papa dan Mama. Kalau tidak, ya sudah, tidak usah
repot-repot bikin resepsi segala,” sergahku.
Tante Wulan menghembuskan napas jengkel. “Haduh anak
iniiii…”
***
RATRI
“Memangnya apa sih yang sudah diperbuat Dewa,
sampai kamu segitu sakit hati?” tanya Cahyo sambil menjilati sisa cappucino latte di bibirnya. “Apa dia
pernah memukul kamu?”
Aku menggeleng. “Tidak, satu-satunya
yang dia lakukan adalah main-main dengan perempuan lain waktu dia masih jadi
suamiku.”
“Lalu
kenapa sakit hatinya sampai sekarang? Dewa kan sudah bukan apa-apamu...”
Aku terdiam. Cahyo tak akan memahami aku. Aku selalu merasa ia
lebih bisa memahami Sam. Orang tua Cahyo juga bercerai ketika kami duduk di
bangku SMA karena ayahnya punya beberapa istri muda dan ibunya sudah tak tahan
lagi. Aku menduga, perceraian merekalah yang menyebabkan sampai sekarang Cahyo
tak kunjung menikah. Dulu aku selalu khawatir kedekatan Sam dengan Cahyo akan
mempengaruhi pandangan Sam tentang pernikahan. Untungnya tidak.
“Pernikahan Samudra sudah makin dekat.
Maafkanlah Dewa walaupun untuk sehari
saja. Yang penting Samudra senang, papanya hadir di resepsi pernikahannya.”
Ia menyeruput minumannya, lalu
menambahkan, “Syukur-syukur maafmu itu berlaku untuk seterusnya, tidak untuk
sehari saja.”
Aku mengernyit, memaafkan Dewa tak
pernah ada dalam kamusku. “Kenapa?”
“Supaya kamu juga bisa berdamai dengan
diri sendiri.”
Malamnya aku hanya tergolek dengan mata
nyalang di tempat tidur. Insomnia ini menggangguku. Tubuhku lelah luar biasa,
tapi benakku tak berhenti bekerja.
Pertanyaan Cahyo tak berhenti
menggangguku. Apa yang membuatku membenci Dewa? Kenapa aku tak bisa
memaafkannya?
Sebabnya adalah aku tak tahu kesalahan
Dewa yang mana yang sanggup kumaafkan.
Selama sekian lama aku memilih untuk
percaya padanya, untuk setia padanya. Aku setengah mati mencintainya. Aku
tak pernah sedikitpun meragukan ucapannya. Aku percaya saja ketika ia bekerja
di luar kota. Aku percaya saja ketika dia bilang dia sibuk sehingga tak meneleponku,
apalagi menyempatkan diri untuk pulang menengok kami. Aku membatasi pergaulanku
dengan laki-laki lain, terutama dengan laki-laki yang tak disukai Dewa.
Cinta membuatku bodoh, buta, dan tuli
terhadap semua dustanya. Klise memang, tapi perempuan yang jatuh cinta rupanya
memang mudah dibodohi. Paling tidak, aku seperti itu.
Namun kebenaran selalu menemukan
jalannya sendiri. Kejadian-kejadian kecil yang tampak sepele namun mengganggu
mulai muncul. Telepon berdering, namun ketika diangkat, tak ada suara di
seberang sana. Teman-teman yang tanpa sadar menyeletuk telah bertemu dengan
Dewa bersama seorang perempuan di saat-saat ia mestinya sedang bekerja. Semua
itu akhirnya bermuara pada satu nama yang selalu disebut oleh semua orang:
Gandari.
Lalu mendadak semua jelas seterang matahari: Gandari
sudah menggantikan aku di hati Dewa.
Ayahku murka. Keluarga besarku geger. Keluarga
Dewa membantah keras, menyebut aku pembohong dan pencemburu buta. Semua orang
marah. Semua orang ribut. Semua orang saling menyalahkan. Tapi tak ada
kemarahan sebesar kemarahanku pada diri sendiri. Tak ada kebencian sebesar aku
membenci diriku sendiri. Tak ada yang menyalahkan aku sebesar aku menyalahkan
diriku sendiri.
Aku bodoh karena menikahi Dewa, ketika
banyak orang sudah memperingatkan aku bahwa ia tak bisa dipercaya. Aku salah
karena tetap mempercayai Dewa, ketika semua orang bilang bahwa Dewa
membohongiku. Dan yang paling parah, aku bodoh karena jatuh cinta sedalam itu,
sehingga ketika ternyata cinta itu meninggalkanku, tidak ada yang tersisa lagi
dari diriku.
Kebodohan yang dipertegas dengan
kenyataan bahwa Dewa sama sekali tidak menunjukkan keinginan untuk
mempertahankan pernikahan kami di persidangan. Tak sekalipun ia menunjukkan
keinginan untuk mempertahankan aku sebagai istrinya.
Jadi aku tidak hanya bodoh: aku juga
tidak berharga di mata Dewa. Tidak cukup berharga sebagai perempuan, tidak
cukup penting untuk dipertahankan sebagai istri.
Aku belum lagi dua puluh delapan tahun saat itu. Ketika teman-teman
seusiaku banyak yang belum menikah, aku sudah menyandang predikat janda beranak
satu.
Tak seperti aku, Samudra tak pernah
berhenti berharap ayahnya akan datang, minimal menelepon. Samudra tak pernah
berhenti berkhayal ayahnya juga menyayanginya. Berbeda denganku, ia tak pernah
berhenti menyayangi Dewa, walaupun rasa sayangnya itu selalu berbuah kecewa.
Harapan yang sia-sia.
Khayalan di siang bolong. Rasa sayang yang salah alamat.
Selama bertahun-tahun, inilah yang
kulakukan. Menjauhkan Samudra dari sumber kekecewaan dan kesakitan bernama
Dewa, walaupun itu ayahnya sendiri. Cukup aku saja yang menderita, jangan
Samudra.
Aku tak mau dia merusak pesta pernikahan Samudra. Aku punya
firasat Dewa hanya akan menyakiti hati Sam di hari bahagianya, dan aku,
sebagaimana semua ibu yang waras di manapun di seluruh dunia, tentu tak mau itu
terjadi. Kalau perlu, tak perlu ada Dewa dalam pernikahan anakku.
Selanjutnya di PERNIKAHAN SAMUDRA bagian 4
Lanjutannya Mbak...nunggu sambil ngopi...
BalasHapussaya temani sambil ngeteh...
Hapuslanjutannya disegerakan...
matur nuwun mampirnya.
Pernah mengalami situasi yg sama dng background peristiwa berbeda. Ada multiple choice kmdn salah memilih ....
BalasHapusMenyesalnya bs seumur hidup :-(
#malah curcol
memilih aja sudah sulit, apalagi kalo pilihan itu menyangkut rasa.
Hapusmatur nuwun rawuhnya, mbak.
salam kenal...
eh, njenengan mbak pertiwinya mas al apa bukan yaaa...
Hapuskalo bener, salam kenal.
saya dani, sobatnya lis sejak 37 taun yg lalu... :D
kalo salah, ya tetap salam kenal... :D
Loh ini uploadnya tiap hr yah Tan? Asiiiiiiiiiiik!!!!!!!
HapusBetewe itu yg diatas emng Mama sy Tan xixixixixixixi
Skrng jd rajin blogwalking
hehehehehehe...
Hapusnggak tiap hari seh, put.
tergantung mood ajah.
salam buat mama yaaa...
terima kasih mampirnya... :D
hhmmm, semakin banyak konflik......
BalasHapusditunggu cerita selanjutnya bu :)
matur nuwun, mbak putri...
Hapusmohon masukannya...
matur nuwun, mas...
BalasHapusmohon masukannya...
Aq juga dikasi rekomendasi mba Lis. Ternyata ga salah. Ga sabar lanjutnya bu. Dah q babat mulai part 1
BalasHapusPaham perasaan mamahnya Sam sih
terima kasih mampirnya, mbak... :D
Hapussalam kenal juga...
monggo diikuti terus yaaa...
Ihiiirrr saiki sing komen antri rwek...
BalasHapusihihihihihihihihihihihihi... #bersyukur :D
Hapus