SAMUDRA
Aku tenggelam dalam lamunan sehingga
baru kusadari bahwa Atikah menanyakan sesuatu padaku sambil menggamit lenganku.
Sepulang dari kantor tadi ia menyusulku di kampus. Langit sudah gelap ketika kami sedang berjalan menuju
tempat parkir mobil. Kampus sudah sepi.
Aku menoleh padanya, bertanya tanpa
kata.
“Kamu sungguh-sungguh cinta padaku,
Mas?” Atikah mengulangi pertanyaannya.
Aku memandanginya. Tumben Atikah
bertanya seperti ini. “Iya,” jawabku.
“Kamu sungguh-sungguh berniat menikah
denganku?”
Aku menghentikan langkah. Aku ingat Pak
Ruslan menanyakan pertanyaan yang serupa padaku. Apa-apaan ini? “Iya, sungguh,”
jawabku yakin.
Atikah berdiri di hadapanku. Matanya
yang bulat menatapku dengan sedih, kedua tanganku dalam genggamannya. “Kalau
begitu, kita menikah di KUA saja. Tidak usah ada acara resepsi, tidak usah ada ramai-ramai
perayaan. Uangnya kita pakai untuk modal berumah tangga saja. Lumayan untuk
tambahan biaya hidup selama Mas kuliah lagi.”
Aku melongo, tak mampu menjawab.
Atikah menelan ludah. “Buat apa
pernikahan kita dirayakan kalau cuma membuat Bunda sedih? Buat apa memaksakan
Papa datang kalau membuat keluarga Mas Sam ribut? Aku tidak keberatan
pernikahan kita nanti sederhana saja. Aku tidak ingin pernikahan kita diawali
dengan hal-hal yang tidak enak.”
Aku terkesiap, kehilangan kata-kata. Bisa-bisanya
Atikah berpikir seperti itu! Ia tak tahu rasanya menjadi aku! Ia tak tahu betapa irinya aku padanya! Ia
tak tahu betapa inginnya aku memiliki foto-foto keluarga yang menghiasi dinding,
seperti di rumahnya. Ia tak tahu betapa inginnya aku memiliki saat-saat yang
kunikmati bersama Papa dan Mama, seperti kebersamaan yang dimilikinya bersama
Pak dan Bu Ruslan. Liburan keluarga, perayaan ulang tahun, perayaan kelulusan,
dan entah apa lagi. Atikah
tak tahu betapa beruntungnya ia, betapa banyak yang dimilikinya!
Resepsi
pernikahan ini adalah satu-satunya kesempatanku merasakan indahnya ada Papa dan
Mama di sisiku. Dan sekarang tega-teganya Atikah ingin aku melepaskan
satu-satunya kesempatanku ini!
Kata-kata pedas
berjejalan di mulutku. Namun luapan emosi yang sempat
memuncak tadi surut secepat datangnya. Tak sampai hati aku pada pemilik mata
bulat yang sedang berkaca-kaca di hadapanku ini. Karena itu kurengkuh pundaknya
dan kucium ringan pelipisnya. “Kamu kan tahu aku tidak peduli pada pestanya,
Dik. Aku cuma ingin keluargaku berkumpul semua. Menikah di KUA, di Afrika, atau
ujung dunia, sama saja bagiku. Asal semua ngumpul.”
Atikah tersenyum lemah. “Itu tadi hanya
usul,” katanya. “Usul tidak diterima juga tidak apa-apa.”
“Usul tidak diterima,” sahutku sambil
membalas senyumnya.
Percakapan kami tetap terngiang di
telingaku ketika malam itu, sehabis mengantar Atikah pulang, aku mengunjungi
orang terakhir yang kuharap bisa membantuku: Om Cahyo. Sudah lewat jam delapan
malam, tapi aku yakin laki-laki itu masih betah duduk di meja kerjanya di
kantor cabang sebuah perusahaan telekomunikasi.
Benar dugaanku. Ketika kuketuk pintu
ruangannya, ia menjawab dengan lantang, “Masuk, Sam!”
“Belum pulang, Om?” tanyaku
berbasa-basi.
“Belum. Tunggu sebentar, ya. Lagi
nanggung nih,” jawabnya. Matanya tak lepas dari layar laptop yang terbuka di atas meja. Jemarinya sibuk
berkeletak-keletuk di atas keyboard.
Sambil menunggu, kupandangi wajahnya.
Pertama kali aku bertemu dengannya, aku masih duduk di bangku kelas empat Sekolah
Dasar. Saat itu ia baru saja ditugaskan ke kota kami dari kantor pusatnya di
Jakarta. Om Cahyo mengantar kami, aku dan Mama, mengunjungi Bu Didi, seorang
‘dokter’. Belakangan aku tahu, Bu Didi bukanlah dokter, ia seorang psikolog.
Sepanjang jalan ke tempat praktek Bu
Didi, Om Cahyo mengajakku bicara dan bercanda. Walaupun candaannya garing, ia
bisa membuatku melupakan sejenak dadaku yang sesak sejak aku tahu bahwa Papa
sudah menikah lagi dan aku punya seorang adik laki-laki yang tak pernah
kukenal. Yang kuingat, sebelum aku turun dari mobilnya dan masuk ke tempat
praktek Bu Didi, Om Cahyo mengelus kepalaku sambil tersenyum. Senyum yang
hangat dan menenangkan. Saat itu pertama kalinya aku merasa aku akan baik-baik
saja.
Sejak itu kami jadi akrab. Belakangan
aku tahu bahwa ia dan Mama sudah berteman sejak kecil karena dulu pernah
bertetangga, sebelum orang tua Om Cahyo bercerai. Aku menyukainya karena ia selalu
ada untuk kami, tapi terlebih karena ia bisa menghormati Papa. Dengan begitu,
ia menghormatiku juga. Tak pernah sekalipun ia mengolok-olok Papa, tak pernah
mengatakan hal-hal buruk tentang Papa. Walaupun tidak bangga terhadap Papa,
paling tidak Om Cahyo membuat aku tidak malu menjadi anak Papa.
Om Cahyo terbatuk. Aku tersadar dari
lamunanku. “Lagi batuk, Om?” tanyaku.
“Iya nih, sedikit masuk angin.
Belakangan kerjaan tambah banyak,” jawabnya sambil tetap bekerja.
Kupandangi wajahnya yang tampak lelah.
Om Cahyo tak setampan Papa. Bila Papa
seorang Arjuna yang memikat, maka Om Cahyo adalah Bima yang teguh namun apa
adanya. Mungkin itu sebabnya selama bertahun-tahun
Mama tak tertarik padanya. Helai-helai keperakan di rambutnya yang sedikit
berantakan sudah bermunculan. Bayang-bayang hitam menghiasi kantong matanya. Tak
seperti Papa yang selalu trendi, Om Cahyo tak selalu rapi. Kemeja yang menutupi
bahunya yang bidang tampak agak kusut. Walaupun janggutnya tercukur rapi,
penampilannya saat itu seperti
orang yang sudah beberapa hari tidak pulang ke rumah.
“Oke, sudah,” katanya sambil menutup laptopnya. “Ada apa nih?”
Dengan singkat kuceritakan perkembangan
terakhir rencana
pernikahanku. Om Cahyo mendengarkan dengan seksama. Tak pernah sekalipun ia
menyelaku. Sesekali ia mengangguk-angguk.
“Aku gak ngerti maunya Mama,” keluhku.
“Setiap kali Papa disebut-sebut, Mama pasti langsung alergi.”
“Kamu tahu apa yang terjadi antara Papa
dan Mama?” tanya Om Cahyo. Pandangannya menyelidik.
“Tahu, Om.”
“Jadi kamu pasti tahu dong, perasaan
mamamu.”
Aku mengangguk. “Tapi aku tetap pengen
merasakan jadi anak Mama dan Papa, Om. Aku pengen mereka hadir dalam resepsi pernikahanku. Sekali ini
saja. Mereka orang tuaku. Tapi sejak Papa muncul, Mama malah jadi mundur ke
masa lalu. Jadi emosional lagi. Jadi sering nangis gak jelas lagi. Jadi sering
marah-marah lagi.”
Om Cahyo memandangiku.
“Aku tahu Mama sakit hati pada Papa dan
Tante Gandari. Tapi belakangan aku berpikir, jangan-jangan Mama sebenarnya
sedih karena sampai sekarang Mama belum menikah lagi sementara Papa sudah.”
“Kenapa kamu berpikir begitu?”
“Karena Mama pernah nanya, Mama harus
bagaimana kalau Papa muncul bersama Tante Gandari di acara pernikahanku.”
“Terus?”
Aku menelan ludah. “Terus ya... aku
berharap Om Cahyo mau jadi pendamping Mama...”
Om Cahyo mengerutkan keningnya. “Maksudmu?”
“Yaaa... jadi pendamping Mama...” Aku
kehilangan kata-kata.
“Om sudah menawarkan diri mendampingi
mamamu dalam pernikahanmu nanti, tapi dia tidak mau. Dia bilang, kamu mau
papamu saja,” sahutnya. Tapi kening Om Cahyo tetap berkerut. “Atau... maksudmu
bukan itu?”
Aku tak sanggup menatap mata Om Cahyo.
“Terus terang aku bertanya-tanya kenapa Om nggak pernah menyatakan perasaan Om pada Mama...”
Om Cahyo terpana, lalu tertawa pendek.
“Wow... sejelas itu ya, perasaan Om pada mamamu?” tanyanya.
Aku mengangguk, salah tingkah.
Om Cahyo menghela napas. “Om tidak
berterus terang pada mamamu karena apa yang terjadi antara Papa dan Mamamu dulu
membuat Mamamu membenci diri sendiri.
Sampai dia bebas dari perasaan itu, Om tidak bisa berbuat apa-apa. Dia
harus bisa menyayangi dan mencintai diri sendiri, baru dia bisa menyayangi dan
mencintai orang lain. Yang
bisa Om lakukan ya seperti ini. Menemaninya, mendampinginya sebatas yang dia ijinkan,
sambil berusaha menunjukkan padanya bahwa dia bukan ‘perempuan tak berharga’, seperti yang
selama ini dia percayai.”
“Sampai kapan? Memangnya Om tidak
bosan?”
Om Cahyo tertawa. “Bisa dekat dengan
mamamu saja Om sudah senang, walaupun kalau bisa lebih dari ini, Om akan sangat
bersyukur,” jawabnya. Lalu wajahnya kembali serius. “Buat Om, intinya bukan di
Om sendiri, Sam. Intinya ada di mamamu. Dia harus bisa bangkit dulu, baru Om
bisa masuk ke dalam hatinya.”
Aku menghela napas. “Aku tidak keberatan
Om Cahyo menikahi Mama, menjadi
papaku...”
Om Cahyo tersenyum. “Om juga senang
sekali kalau kamu mau jadi anak Om. Tapi kalau kamu minta Om menikahi mamamu
hanya demi resepsi pernikahanmu,
Om tidak mau. Maaf, permintaanmu ini egois sekali, Sam.”
Aku langsung lemas. Om Cahyo mengulurkan
tangan dan menepuk lenganku dengan lembut. “Jangan sedih begitu. Om akan tetap mencoba
bicara pada mamamu supaya dia mau berkompromi denganmu.”
Aku menatap matanya. “Tapi Om tetap
harus bilang pada Mama bahwa Om mencintai Mama. Walaupun tidak untuk resepsi pernikahanku, aku masih
ingin Om jadi papaku suatu saat nanti.”
“Iya, iya. Om akan bilang.”
“Janji?”
Om Cahyo tersenyum. “Janji.”
Ketika aku beranjak dari ruangannya, Om Cahyo
memanggilku, “Sam...”
Aku menoleh.
Om Cahyo menatapku dalam-dalam dan
berkata, “Terima kasih sudah mau menjadi anakku.”
Aku tersenyum.
Adem ya om Cahyo nya. Aku suka baca cerbung ini. Tapi kadang suka susah mau komen. Karena pernah merasakan Sam. Tapi juga paham rasa mama si Sam. Salaman mbak Arek. Nunggu lanjutan yaaa...
BalasHapusdilema keluarga yg gak utuh lagi...
Hapusterima kasih, mbak...
terima kasih juga mampirnya.
Kadang saya merasa kalo mamanya Sam egois.. Tapi namanya cermin kalo sdh pecah emang susah balik seperti semula ya.. Sepertinya ITU yg dirasakan sama Mama Ratri.. Good story Mbak.. Keep writing yaaa...
BalasHapusterima kasih, mbak...
Hapusterima kasih juga mampirnya.
Sudah to jeng Ratri sama mas Cahyo saja .... Dewa emprit itu dijegurke got bae ....
BalasHapus(Sik nulis mesti mbatin, sik komen iki kok ora beres hahahaha .... )
Monggo dilanjut, pareng ....
hahahahahaha... :D :D :D
Hapusgpp, mbak tiwi.
pancen nggregetno, yoooo... :P
matur nuwun, mbak...
matur nuwun rawuhipun.
terima kasih, pak...
BalasHapusterima kasih juga mampirnya.
Lanjut wis... Nunggu sambil mbayangin prejengane si cahyo...
BalasHapuscahyo (bayanganku seh yaaa...) tu gede dhuwur, ngomongnya apa adanya, tapi teguh dan setia...
Hapus#halah... :D :D :D
matur nuwun, mbak...
matur nuwun udah singgah juga.
Hosh.....hosh...... Rapel 3 parts aq bu !
BalasHapusTamba seru ! Om cahyo'nya bikin lope - lope ehehehehehe
ehehehehehehehehe...
Hapusbikin melting emang tu om-om... :D :D :D
terima kasih mampirnya ya mbak... :D