Rabu, 16 Desember 2015

PERNIKAHAN SAMUDRA bagian 8

Sebelumnya di PERNIKAHAN SAMUDRA bagian 7





SAMUDRA

Aku tenggelam dalam lamunan sehingga baru kusadari bahwa Atikah menanyakan sesuatu padaku sambil menggamit lenganku. Sepulang dari kantor tadi ia menyusulku di kampus. Langit sudah gelap ketika kami sedang berjalan menuju tempat parkir mobil. Kampus sudah sepi.


Aku menoleh padanya, bertanya tanpa kata.

“Kamu sungguh-sungguh cinta padaku, Mas?” Atikah mengulangi pertanyaannya.

Aku memandanginya. Tumben Atikah bertanya seperti ini. “Iya,” jawabku.

“Kamu sungguh-sungguh berniat menikah denganku?”

Aku menghentikan langkah. Aku ingat Pak Ruslan menanyakan pertanyaan yang serupa padaku. Apa-apaan ini? “Iya, sungguh,” jawabku yakin.

Atikah berdiri di hadapanku. Matanya yang bulat menatapku dengan sedih, kedua tanganku dalam genggamannya. “Kalau begitu, kita menikah di KUA saja. Tidak usah ada acara resepsi, tidak usah ada ramai-ramai perayaan. Uangnya kita pakai untuk modal berumah tangga saja. Lumayan untuk tambahan biaya hidup selama Mas kuliah lagi.”

Aku melongo, tak mampu menjawab.

Atikah menelan ludah. “Buat apa pernikahan kita dirayakan kalau cuma membuat Bunda sedih? Buat apa memaksakan Papa datang kalau membuat keluarga Mas Sam ribut? Aku tidak keberatan pernikahan kita nanti sederhana saja. Aku tidak ingin pernikahan kita diawali dengan hal-hal yang tidak enak.”

Aku terkesiap, kehilangan kata-kata. Bisa-bisanya Atikah berpikir seperti itu! Ia tak tahu rasanya menjadi aku! Ia tak tahu betapa irinya aku padanya! Ia tak tahu betapa inginnya aku memiliki foto-foto keluarga yang menghiasi dinding, seperti di rumahnya. Ia tak tahu betapa inginnya aku memiliki saat-saat yang kunikmati bersama Papa dan Mama, seperti kebersamaan yang dimilikinya bersama Pak dan Bu Ruslan. Liburan keluarga, perayaan ulang tahun, perayaan kelulusan, dan entah apa lagi. Atikah tak tahu betapa beruntungnya ia, betapa banyak yang dimilikinya!

Resepsi pernikahan ini adalah satu-satunya kesempatanku merasakan indahnya ada Papa dan Mama di sisiku. Dan sekarang tega-teganya Atikah ingin aku melepaskan satu-satunya kesempatanku ini!

Kata-kata pedas berjejalan di mulutku. Namun luapan emosi yang sempat memuncak tadi surut secepat datangnya. Tak sampai hati aku pada pemilik mata bulat yang sedang berkaca-kaca di hadapanku ini. Karena itu kurengkuh pundaknya dan kucium ringan pelipisnya. “Kamu kan tahu aku tidak peduli pada pestanya, Dik. Aku cuma ingin keluargaku berkumpul semua. Menikah di KUA, di Afrika, atau ujung dunia, sama saja bagiku. Asal semua ngumpul.”

Atikah tersenyum lemah. “Itu tadi hanya usul,” katanya. “Usul tidak diterima juga tidak apa-apa.”

“Usul tidak diterima,” sahutku sambil membalas senyumnya.

Percakapan kami tetap terngiang di telingaku ketika malam itu, sehabis mengantar Atikah pulang, aku mengunjungi orang terakhir yang kuharap bisa membantuku: Om Cahyo. Sudah lewat jam delapan malam, tapi aku yakin laki-laki itu masih betah duduk di meja kerjanya di kantor cabang sebuah perusahaan telekomunikasi.

Benar dugaanku. Ketika kuketuk pintu ruangannya, ia menjawab dengan lantang, “Masuk, Sam!”

“Belum pulang, Om?” tanyaku berbasa-basi.
“Belum. Tunggu sebentar, ya. Lagi nanggung nih,” jawabnya. Matanya tak lepas dari layar laptop yang terbuka di atas meja. Jemarinya sibuk berkeletak-keletuk di atas keyboard.

Sambil menunggu, kupandangi wajahnya. Pertama kali aku bertemu dengannya, aku masih duduk di bangku kelas empat Sekolah Dasar. Saat itu ia baru saja ditugaskan ke kota kami dari kantor pusatnya di Jakarta. Om Cahyo mengantar kami, aku dan Mama, mengunjungi Bu Didi, seorang ‘dokter’. Belakangan aku tahu, Bu Didi bukanlah dokter, ia seorang psikolog.

Sepanjang jalan ke tempat praktek Bu Didi, Om Cahyo mengajakku bicara dan bercanda. Walaupun candaannya garing, ia bisa membuatku melupakan sejenak dadaku yang sesak sejak aku tahu bahwa Papa sudah menikah lagi dan aku punya seorang adik laki-laki yang tak pernah kukenal. Yang kuingat, sebelum aku turun dari mobilnya dan masuk ke tempat praktek Bu Didi, Om Cahyo mengelus kepalaku sambil tersenyum. Senyum yang hangat dan menenangkan. Saat itu pertama kalinya aku merasa aku akan baik-baik saja.

Sejak itu kami jadi akrab. Belakangan aku tahu bahwa ia dan Mama sudah berteman sejak kecil karena dulu pernah bertetangga, sebelum orang tua Om Cahyo bercerai. Aku menyukainya karena ia selalu ada untuk kami, tapi terlebih karena ia bisa menghormati Papa. Dengan begitu, ia menghormatiku juga. Tak pernah sekalipun ia mengolok-olok Papa, tak pernah mengatakan hal-hal buruk tentang Papa. Walaupun tidak bangga terhadap Papa, paling tidak Om Cahyo membuat aku tidak malu menjadi anak Papa.

Om Cahyo terbatuk. Aku tersadar dari lamunanku. “Lagi batuk, Om?” tanyaku.

“Iya nih, sedikit masuk angin. Belakangan kerjaan tambah banyak,” jawabnya sambil tetap bekerja.

Kupandangi wajahnya yang tampak lelah. Om Cahyo tak setampan Papa. Bila Papa seorang Arjuna yang memikat, maka Om Cahyo adalah Bima yang teguh namun apa adanya. Mungkin itu sebabnya selama bertahun-tahun Mama tak tertarik padanya. Helai-helai keperakan di rambutnya yang sedikit berantakan sudah bermunculan. Bayang-bayang hitam menghiasi kantong matanya. Tak seperti Papa yang selalu trendi, Om Cahyo tak selalu rapi. Kemeja yang menutupi bahunya yang bidang tampak agak kusut. Walaupun janggutnya tercukur rapi, penampilannya saat itu seperti orang yang sudah beberapa hari tidak pulang ke rumah.

“Oke, sudah,” katanya sambil menutup laptopnya. “Ada apa nih?”

Dengan singkat kuceritakan perkembangan terakhir rencana pernikahanku. Om Cahyo mendengarkan dengan seksama. Tak pernah sekalipun ia menyelaku. Sesekali ia mengangguk-angguk.

“Aku gak ngerti maunya Mama,” keluhku. “Setiap kali Papa disebut-sebut, Mama pasti langsung alergi.”

“Kamu tahu apa yang terjadi antara Papa dan Mama?” tanya Om Cahyo. Pandangannya menyelidik.

“Tahu, Om.”

“Jadi kamu pasti tahu dong, perasaan mamamu.”

Aku mengangguk. “Tapi aku tetap pengen merasakan jadi anak Mama dan Papa, Om. Aku pengen mereka hadir dalam resepsi pernikahanku. Sekali ini saja. Mereka orang tuaku. Tapi sejak Papa muncul, Mama malah jadi mundur ke masa lalu. Jadi emosional lagi. Jadi sering nangis gak jelas lagi. Jadi sering marah-marah lagi.”

Om Cahyo memandangiku.

“Aku tahu Mama sakit hati pada Papa dan Tante Gandari. Tapi belakangan aku berpikir, jangan-jangan Mama sebenarnya sedih karena sampai sekarang Mama belum menikah lagi sementara Papa sudah.”

“Kenapa kamu berpikir begitu?”

“Karena Mama pernah nanya, Mama harus bagaimana kalau Papa muncul bersama Tante Gandari di acara pernikahanku.”

“Terus?”

Aku menelan ludah. “Terus ya... aku berharap Om Cahyo mau jadi pendamping Mama...”

Om Cahyo mengerutkan keningnya. “Maksudmu?”

“Yaaa... jadi pendamping Mama...” Aku kehilangan kata-kata.

“Om sudah menawarkan diri mendampingi mamamu dalam pernikahanmu nanti, tapi dia tidak mau. Dia bilang, kamu mau papamu saja,” sahutnya. Tapi kening Om Cahyo tetap berkerut. “Atau... maksudmu bukan itu?”

Aku tak sanggup menatap mata Om Cahyo. “Terus terang aku bertanya-tanya kenapa Om nggak pernah menyatakan perasaan Om pada Mama...”

Om Cahyo terpana, lalu tertawa pendek. “Wow... sejelas itu ya, perasaan Om pada mamamu?” tanyanya.

Aku mengangguk, salah tingkah.

Om Cahyo menghela napas. “Om tidak berterus terang pada mamamu karena apa yang terjadi antara Papa dan Mamamu dulu membuat Mamamu membenci diri sendiri.  Sampai dia bebas dari perasaan itu, Om tidak bisa berbuat apa-apa. Dia harus bisa menyayangi dan mencintai diri sendiri, baru dia bisa menyayangi dan mencintai orang lain. Yang bisa Om lakukan ya seperti ini. Menemaninya, mendampinginya sebatas yang dia ijinkan, sambil berusaha menunjukkan padanya bahwa dia bukan ‘perempuan tak berharga’, seperti yang selama ini dia percayai.”

“Sampai kapan? Memangnya Om tidak bosan?”

Om Cahyo tertawa. “Bisa dekat dengan mamamu saja Om sudah senang, walaupun kalau bisa lebih dari ini, Om akan sangat bersyukur,” jawabnya. Lalu wajahnya kembali serius. “Buat Om, intinya bukan di Om sendiri, Sam. Intinya ada di mamamu. Dia harus bisa bangkit dulu, baru Om bisa masuk ke dalam hatinya.”

Aku menghela napas. “Aku tidak keberatan Om Cahyo menikahi Mama, menjadi papaku...”

Om Cahyo tersenyum. “Om juga senang sekali kalau kamu mau jadi anak Om. Tapi kalau kamu minta Om menikahi mamamu hanya demi resepsi pernikahanmu, Om tidak mau. Maaf, permintaanmu ini egois sekali, Sam.”

Aku langsung lemas. Om Cahyo mengulurkan tangan dan menepuk lenganku dengan lembut. “Jangan sedih begitu. Om akan tetap mencoba bicara pada mamamu supaya dia mau berkompromi denganmu.”

Aku menatap matanya. “Tapi Om tetap harus bilang pada Mama bahwa Om mencintai Mama. Walaupun tidak untuk resepsi pernikahanku, aku masih ingin Om jadi papaku suatu saat nanti.”

“Iya, iya. Om akan bilang.”

“Janji?”

Om Cahyo tersenyum. “Janji.”

Ketika aku beranjak dari ruangannya, Om Cahyo memanggilku, “Sam...”

Aku menoleh.

Om Cahyo menatapku dalam-dalam dan berkata, “Terima kasih sudah mau menjadi anakku.”

Aku tersenyum.





11 komentar:

  1. Adem ya om Cahyo nya. Aku suka baca cerbung ini. Tapi kadang suka susah mau komen. Karena pernah merasakan Sam. Tapi juga paham rasa mama si Sam. Salaman mbak Arek. Nunggu lanjutan yaaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. dilema keluarga yg gak utuh lagi...

      terima kasih, mbak...
      terima kasih juga mampirnya.

      Hapus
  2. Kadang saya merasa kalo mamanya Sam egois.. Tapi namanya cermin kalo sdh pecah emang susah balik seperti semula ya.. Sepertinya ITU yg dirasakan sama Mama Ratri.. Good story Mbak.. Keep writing yaaa...

    BalasHapus
  3. Sudah to jeng Ratri sama mas Cahyo saja .... Dewa emprit itu dijegurke got bae ....
    (Sik nulis mesti mbatin, sik komen iki kok ora beres hahahaha .... )
    Monggo dilanjut, pareng ....

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahahahaha... :D :D :D
      gpp, mbak tiwi.

      pancen nggregetno, yoooo... :P

      matur nuwun, mbak...
      matur nuwun rawuhipun.

      Hapus
  4. terima kasih, pak...
    terima kasih juga mampirnya.

    BalasHapus
  5. Lanjut wis... Nunggu sambil mbayangin prejengane si cahyo...

    BalasHapus
    Balasan
    1. cahyo (bayanganku seh yaaa...) tu gede dhuwur, ngomongnya apa adanya, tapi teguh dan setia...

      #halah... :D :D :D

      matur nuwun, mbak...
      matur nuwun udah singgah juga.

      Hapus
  6. Hosh.....hosh...... Rapel 3 parts aq bu !
    Tamba seru ! Om cahyo'nya bikin lope - lope ehehehehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. ehehehehehehehehe...
      bikin melting emang tu om-om... :D :D :D

      terima kasih mampirnya ya mbak... :D

      Hapus