Minggu, 06 Desember 2015

PERNIKAHAN SAMUDRA bagian 5

Sebelumnya di PERNIKAHAN SAMUDRA bagian 4






SAMUDRA
“Sam, ini daftar undangan dari keluarga kami,” Pak Ruslan, ayah Atikah, menyodorkan beberapa lembar kertas berisi nama dan alamat. Setelah mengajar tadi aku mampir ke rumah Atikah untuk makan siang. “Kapan undangannya jadi? Undangan itu harus terkirim lebih dulu lho, supaya keluarga yang rumahnya jauh bisa datang.”


Aku menelan ludah. “Baik Yah, setelah ini saya cek ke Mas Agung.”

Bu Ruslan memandangiku dengan seksama dari balik kaca matanya. “Jujur saja deh Sam, undangan itu sudah dicetak atau belum?”

Aku menunduk. Mukaku panas. Kurang dari tiga bulan, namun undangan pernikahan kami bahkan masih belum masuk percetakan. “Mama masih belum setuju nama Papa tercantum di situ, Bun.”

Pak Ruslan menghela napas. “Kok jadi ruwet begini ya Sam?” tanyanya lebih pada diri sendiri.

Aku kehilangan kata-kata. Diam-diam aku merasa mereka mulai menyesal mengijinkan Mama terlibat dalam persiapan pernikahan kami.

“Ayah dan Bunda tidak ingin ikut campur urusan keluargamu Sam, tapi Ayah sungguh berharap segera ada jalan keluarnya.” Ia terdiam sejenak. “Kamu masih berniat menikahi Atikah, kan?”

Aku tergeragap. “Tentu saja, Yah.”

Ditepuknya bahuku ketika ia beranjak dari meja makan. Rasanya aku ingin bumi menelanku bulat-bulat.
*****
RATRI
“Jadi di sini nanti acara resepsinya, Bun,” kata Atikah sambil menggamit lenganku. Siang itu aku setuju menemani Atikah menemui Agung untuk meninjau De Wilhelmina, hotel tempat pernikahan mereka akan dilangsungkan. Aku mengikuti pandangan matanya, menatap penjuru hall. Sebagaimana hotelnya, hall itu menguarkan nuansa art deco dengan warna-warni dan garis-garis tegas. Rangkaian bunga yang cantik di sana-sini melembutkan nuansa geometris yang kental terasa. De Wilhelmina selalu membuatku merasa memasuki mesin waktu menuju era ’30-an yang glamor.

“Cantik,” jawabku. “Seperti di film ‘The Great Gatsby’, ya...”

Atikah tersenyum. Ia tahu aku menyukai hotel kuno berarsitektur klasik ini.

“Nah, nanti pelaminan di sebelah sini, lalu deretan ini untuk kursi-kursi tamu, sisanya untuk meja-meja hidangan. Jalur pengantin di sebelah sini, nanti kami buatkan gapura hias di depan jalur. Nanti terserah Mbak Tikah dan Mas Sam, mau didahului cucuk lampah, atau pemain biola,” tambah Agung sambil mendahului kami. Tangannya sibuk menunjuk sana-sini, berusaha menggambarkan pengaturan ruangan pada kami. Segera ia terlibat dalam diskusi seru dengan Atikah, sementara aku setengah mendengarkan pembicaraan mereka sambil mengagumi keindahan hall itu.

Saat itulah aku melihatnya. Tadinya kusangka aku salah lihat. Namun sosok yang melewati double door itu tak salah lagi: Dewa.

Ulu hatiku terasa seperti dihantam palu. Apa yang dia lakukan di sini?

“Oh, papanya Mas Sam sudah datang,” celetuk Atikah. Rupanya ia juga melihat kedatangan Dewa.

Aku menoleh tak percaya padanya. “Kamu tahu papanya Samudra akan  datang?”

Ia mengangguk polos. “Iya, Mas Sam sendiri yang memberitahu papanya bahwa kami akan menikah.”

Cukup sudah. Aku pergi dari sini. 


Selanjutnya di PERNIKAHAN SAMUDRA bagian 6

12 komentar:

  1. Wooh.. Nyonya blm tau kl sdh ada tayangan br :)
    Sy bookmark dl mba
    (C)

    BalasHapus
    Balasan
    1. matur nuwun, mas al...

      iya kemaren katanya mbak tiwi nitip tanya ke lis, kapan lanjutannya nungul.

      lha ini... khusus buat mbak tiwi... :D

      Hapus
    2. Ngapunten mba .... Aku telat absen. Ternyata kemarin sibuk sampai nda sempat jln2 baca blog. Aku menikmati ceritanya mba .... Sangat menikmati & sllu menunggu part berikutnya ;-)

      Hapus
    3. mboten dados menopo, mbak tiwi...

      dipun waos mawon pun remen sanget kok...
      menopo malih menawi diarep-arep...
      ngantos mongkog ati kulo...

      Hapus
  2. Balasan
    1. monggo mas ando...

      terima kasih sudah mampir.
      jangan lupa bagian-bagian sebelumnya diintip juga... :D

      Hapus
    2. Ga boleh ngintip Bang Ando...nanti.bintitan. Lagian baca kok ngintip hihi..

      Lanjut mbak'e...telat seharian nih bacanya...lanjutannyaojo suwi2 lho...#meksa

      Hapus
    3. mbak dyah...

      ndak merasa dipaksa kok mbaaaaakkkk... :D
      matur nuwun sudah sabar menunggu diriku...

      Hapus
  3. Aduh Sam ! Napa ga ngomong dulu ke mamahnya sih klu papahnya mw dateng ? Kesian mamahnya kan ?? :'(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak usah ngomel-ngomel, Nit... *sodori tahu bakso goreng plus lombok*

      Hapus
    2. iya nih si sam... gimana seh... :D :D :D

      hehehehe...
      terima kasih sudah setia mengikuti kelakuan samudra dan mamanya, mbak nita...

      eh, ini mbak nita-nya mas hazel kan ???

      Hapus