SAMUDRA
“Sam, ini daftar undangan dari keluarga
kami,” Pak Ruslan, ayah Atikah, menyodorkan beberapa lembar kertas berisi nama
dan alamat. Setelah mengajar tadi aku mampir ke rumah Atikah untuk makan siang.
“Kapan undangannya jadi? Undangan itu harus terkirim lebih dulu lho, supaya keluarga
yang rumahnya jauh bisa datang.”
Aku menelan ludah. “Baik Yah, setelah
ini saya cek ke Mas Agung.”
Bu Ruslan memandangiku dengan seksama
dari balik kaca matanya. “Jujur saja deh Sam, undangan itu sudah dicetak atau
belum?”
Aku menunduk. Mukaku panas. Kurang dari tiga bulan, namun undangan pernikahan
kami bahkan masih belum masuk percetakan. “Mama masih belum setuju nama Papa
tercantum di situ, Bun.”
Pak Ruslan menghela napas. “Kok jadi
ruwet begini ya Sam?” tanyanya lebih pada diri sendiri.
Aku kehilangan kata-kata. Diam-diam aku
merasa mereka mulai menyesal mengijinkan Mama terlibat dalam persiapan
pernikahan kami.
“Ayah dan Bunda tidak ingin ikut campur
urusan keluargamu Sam, tapi Ayah sungguh berharap segera ada jalan keluarnya.”
Ia terdiam sejenak. “Kamu masih berniat menikahi Atikah, kan?”
Aku tergeragap. “Tentu saja, Yah.”
Ditepuknya bahuku ketika ia beranjak
dari meja makan. Rasanya aku ingin bumi menelanku bulat-bulat.
*****
RATRI
“Jadi di sini nanti acara resepsinya,
Bun,” kata Atikah sambil menggamit lenganku. Siang itu aku setuju menemani Atikah
menemui Agung untuk meninjau De Wilhelmina,
hotel tempat pernikahan mereka akan dilangsungkan. Aku mengikuti pandangan
matanya, menatap penjuru hall. Sebagaimana
hotelnya, hall itu menguarkan nuansa art deco dengan warna-warni dan
garis-garis tegas. Rangkaian bunga yang cantik di sana-sini melembutkan nuansa
geometris yang kental terasa. De Wilhelmina
selalu membuatku merasa memasuki mesin waktu menuju era ’30-an yang glamor.
“Cantik,” jawabku. “Seperti di film ‘The Great Gatsby’, ya...”
Atikah tersenyum. Ia tahu aku menyukai
hotel kuno berarsitektur klasik ini.
“Nah, nanti pelaminan di sebelah sini,
lalu deretan ini untuk kursi-kursi tamu, sisanya untuk meja-meja hidangan.
Jalur pengantin di sebelah sini, nanti kami buatkan gapura hias di depan jalur.
Nanti terserah Mbak Tikah dan Mas Sam, mau didahului cucuk lampah, atau pemain biola,” tambah Agung sambil mendahului
kami. Tangannya sibuk menunjuk sana-sini, berusaha menggambarkan pengaturan
ruangan pada kami. Segera ia terlibat dalam diskusi seru dengan Atikah,
sementara aku setengah mendengarkan pembicaraan mereka sambil mengagumi keindahan
hall itu.
Saat itulah aku melihatnya. Tadinya
kusangka aku salah lihat. Namun sosok yang melewati double door itu tak salah lagi: Dewa.
Ulu hatiku terasa seperti dihantam palu.
Apa yang dia lakukan di sini?
“Oh, papanya Mas Sam sudah datang,”
celetuk Atikah. Rupanya ia juga melihat kedatangan Dewa.
Aku menoleh tak percaya padanya. “Kamu tahu papanya Samudra akan datang?”
Ia mengangguk polos. “Iya, Mas Sam sendiri
yang memberitahu papanya bahwa kami akan menikah.”
Wooh.. Nyonya blm tau kl sdh ada tayangan br :)
BalasHapusSy bookmark dl mba
(C)
matur nuwun, mas al...
Hapusiya kemaren katanya mbak tiwi nitip tanya ke lis, kapan lanjutannya nungul.
lha ini... khusus buat mbak tiwi... :D
Ngapunten mba .... Aku telat absen. Ternyata kemarin sibuk sampai nda sempat jln2 baca blog. Aku menikmati ceritanya mba .... Sangat menikmati & sllu menunggu part berikutnya ;-)
Hapusmboten dados menopo, mbak tiwi...
Hapusdipun waos mawon pun remen sanget kok...
menopo malih menawi diarep-arep...
ngantos mongkog ati kulo...
ngintip^^
BalasHapusmonggo mas ando...
Hapusterima kasih sudah mampir.
jangan lupa bagian-bagian sebelumnya diintip juga... :D
Ga boleh ngintip Bang Ando...nanti.bintitan. Lagian baca kok ngintip hihi..
HapusLanjut mbak'e...telat seharian nih bacanya...lanjutannyaojo suwi2 lho...#meksa
mbak dyah...
Hapusndak merasa dipaksa kok mbaaaaakkkk... :D
matur nuwun sudah sabar menunggu diriku...
Aduh Sam ! Napa ga ngomong dulu ke mamahnya sih klu papahnya mw dateng ? Kesian mamahnya kan ?? :'(
BalasHapusNggak usah ngomel-ngomel, Nit... *sodori tahu bakso goreng plus lombok*
Hapusiya nih si sam... gimana seh... :D :D :D
Hapushehehehe...
terima kasih sudah setia mengikuti kelakuan samudra dan mamanya, mbak nita...
eh, ini mbak nita-nya mas hazel kan ???
nice post mbak
BalasHapus