RATRI
Aku belum bertemu lagi dengan Cahyo
sejak pengakuannya tempo hari. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Belum
apa-apa aku jadi salah tingkah. Membayangkan bertemu dengannya saja membuat
wajahku hangat seperti diuapi. Ia membuatku merona seperti remaja yang dilanda
cinta.
Aku jadi kaget sendiri. Cinta? Apa ini
cinta? Aku sendiri tak tahu jawabannya. Sekian lama Cahyo hadir dalam kehidupan
kami tanpa perlu embel-embel. Begitu saja ia menjadi bagian dari kami. Tak
pernah terlintas dalam benakku untuk bertanya kenapa.
Karena ia merasa aku layak diperjuangkan
dan dicintai... benarkah?
Pengakuannya membuatku gamang. Terasa
berat, sekaligus membebaskan. Seolah-olah ada beban yang terangkat dari hati
dan pikiranku. Seolah-olah paru-paruku menghirup udara segar setelah lama
terkungkung dalam lemari. Mengejutkan, karena apa yang dikatakannya tak pernah
terlintas dalam pikiranku. Menakutkan, karena semua ini baru bagiku.
Untuk pertama kalinya aku melihat diriku
dengan cara yang berbeda. Bahwa aku ternyata tak sepenuhnya gagal sebagai
perempuan. Bahwa di tengah semua kesalahan yang pernah kubuat, masih ada
hal-hal yang kulakukan dengan benar. Paling tidak, ada satu orang yang
beranggapan begitu.
Tiba-tiba Dewa dan semua hal tentangnya
tidak lagi terasa melumpuhkan otakku. Tidak lagi terasa seperti jerat yang
terpasang di sekeliling leherku. Tiba-tiba masa lalu tak lagi sepenting dulu.
Aku... perempuan hebat... layak diperjuangkan
dan dicintai.
Aku tersenyum dalam
hati.
Sore di coffeeshop
itu terkenang lagi. Ah Cahyo, terima kasih…
*****
DEWA
“Persiapan pernikahanmu sudah sampai
mana, Sam?” tanyaku ketika Sam dan aku
duduk berdua di bale-bale di teras rumah Bapak.
Sam mengangkat
bahu.
“Kok begitu?”
“Aku nggak tahu, Pa. Mungkin malah batal
semua.”
“Lho?”
Sam terdiam.
“Mamamu tidak suka Papa ikut mengurusi resepsi pernikahanmu,” simpulku.
Sam balas
menatapku . “Jangankan ikut mengurusi,
mencantumkan nama Papa di undangan saja Mama tidak mau.”
Aku terkesiap.
“Separah itu?”
Sam mengangguk.
“Iya, separah itu.”
Aku terdiam.
“Jadi Papa ngerti kan kalau kubilang,
aku tidak mau Papa repot-repot bantu-bantu dalam acaraku nanti? Aku tetap ingin
Papa datang, tapi sebagai papaku saja. Tidak usah ikut mengurusi acaranya,
supaya Mama tidak semakin marah.”
Kata-kata Sam masih terngiang di
telingaku walaupun sudah lewat dua hari. “Jangankan ikut mengurusi,
mencantumkan nama Papa di undangan saja Mama tidak mau.”
Apa-apaan ini!
Tidak mencantumkan namaku dalam undangan sama saja dengan tidak mengakuiku
sebagai ayah Sam. Memangnya Sam bisa muncul begitu saja dalam rahim Ratri?
Memangnya bibit Sam datang dari mana? Sam anakku. Titik. Apa hak Ratri untuk
tidak mengakuiku sebagai ayah Sam?
Namun aku juga mulai memahami kenapa
Witri tidak suka aku datang ke sini. Aku mulai memahami kesulitan Sam. Aku
memahami keinginannya untuk menghadirkan aku dan Ratri dalam acara
pernikahannya nanti, walaupun harus menghadapi Ratri yang keras kepala.
Yah, Sam juga keras kepala.
Benar kata Witri. Aku tidak perlu
terlibat dalam semua keruwetan ini.
Aku sedang menimbang-nimbang untuk mulai
berkemas pulang ketika ponselku bergetar. Sebuah panggilan dari nomor yang tak
kukenal.
“Dewa?” Si penelepon bahkan tak repot-repot sekedar
mengucap salam atau sekedar “halo”.
“Ya?”
“Kita perlu bicara. Kapan kita bisa
ketemu?”
*****
RATRI
Aku sudah bisa mengenalinya sejak aku
memasuki pintu coffeeshop. Dewa duduk di meja sudut, meja tempatku biasa melewatkan waktu bersama Cahyo. Penampilannya masih
bisa membuat jantungku berdebar bila melihatnya, walaupun sengatan nyeri di
hatiku setelahnya sanggup membuatku mengernyit. Dewa memang mempesona, sehingga
mau tak mau aku memaklumi kebodohanku sendiri karena pernah mencintainya. Sejak
ia datang lagi ke kota ini, baru kali ini aku bisa mengamatinya dari dekat.
Tahun-tahun yang lewat tak banyak
mengubahnya. Rambut ikal tebalnya sedikit acak-acakan. Pandangannya yang
lekat-lekat ke arah lawan bicaranya masih mampu menggetarkan hati perempuan
manapun. Senyum tersunggingnya yang malu-malu masih membikin gemas. Matanya
yang bulat. Hidung mancungnya. Pakaian yang rapi dan wangi parfum
menyempurnakan penampilannya.
Namun sedikit terkejut aku menyadari, sementara
aku mendekati meja Dewa, bahwa setelah debar-debar di dadaku habis, ya habislah
sudah. Ia memang membuat perempuan terbuai oleh angan-angan romantis tentang
pria pujaan. Namun setelah pesona itu lewat, tidak ada lagi yang tersisa.
Rasanya seperti mengagumi kecantikan cangkang kerang. Indah, namun kosong. Cahyo
tidak menjanjikan keindahan rupa, tapi ia kokoh dan mantap bagaikan karang,
tempatku menambatkan hidup kami selama bertahun-tahun ini.
Astaga... kenapa aku mulai
membanding-bandingkan Cahyo dengan Dewa?
Tanpa berkata apa-apa aku duduk di hadapannya. Kini setelah Dewa menjawab
permintaanku untuk bertemu dengannya di coffeeshop
sore ini, aku malah kehilangan kata-kata. Dewa juga diam, hanya menaikkan sebelah alisnya, menungguku
bicara.
“Terima kasih kamu mau datang,” kataku
membuka percakapan.
Dewa hanya mengangkat bahu.
“Tentang acara pernikahan Samudra...”
Aku tercekat. Lidahku kelu.
“Ya...?” tanyanya beberapa saat kemudian
karena aku tak kunjung menemukan kata-kata.
Aku menelan ludah. “Datanglah,” aku
hanya sanggup berbisik.
“Sori?” tanyanya memperjelas.
“Datanglah,” ulangku sedikit lebih
keras.
Dewa mengernyitkan dahi. “Sungguh?” tanyanya tak yakin.
Aku mengangguk. “Ya.”
Dewa memandangiku.
Aku berdehem, berusaha melonggarkan
himpitan di dadaku. “Keluargamu juga diundang,” tambahku sambil menyodorkan
tumpukan undangan ke hadapannya, berharap ia menyadari bahwa aku masih berat
hati mengundang Gandari.
“Nanti kusampaikan pada mereka. Waktunya
mepet, semoga mereka bisa datang semua,” sahut Dewa sambil membaca nama-nama
yang tercetak di atas undangan.
Ia memandangku tak percaya ketika
dilihatnya namanya bersanding dengan namaku sebagai orang tua Samudra. “Kamu
masukkan namaku di sini?” tanyanya.
Aku tak bisa menahan senyum. “Samudra
anakmu juga,” jawabku.
Sesaat Dewa kehilangan kata-kata. Ia
hanya menatapku dengan mata berkaca-kaca.
Sebelum ia bisa bicara lagi, aku
buru-buru memotong, “Tapi ada beberapa hal
yang perlu kita bicarakan.”
Selanjutnya di PERNIKAHAN SAMUDRA bagian 11
good post mbak
BalasHapusterima kasih, pak...
Hapusterima kasih juga sudah mampir.
Se wow itu kah Dewa...?
BalasHapusse wow itu lah...
Hapuskalo enggak, mana mungkin ratri begitu sakit hati ??
terima kasih sudah mampir... :D :D :D
Weleh motongnya adegan bikin yg baca jd super penasaran mba Dani >_<
BalasHapushehehehehehehe...
Hapuskan emang biar penasaran, mbak tiwi... #nyengirsetan
terima kasih mampirnya...
salam buat mas al...
semoga segera pulih.
Whuiiik... moro-moro wes bablasss bagian 10...
BalasHapusiki mau tak cek maneh jeng...
Hapustiwas aku wedi salah ngekeki nomer...
ternyata emang bener dah bagian 10. :D :D :D
matur nuwun mampirnyaaa... peyuuuuukkkk... :D :D :D
waduuuh.... nggarai penasaran iki mbak Dani... motonge nggemesno...
BalasHapusyo wis lah...pasrah nunggu lanjutan...
ihihihihihihihihihi...
Hapussekali-sekali, mbaaaakkk...:D :D :D
matur nuwun...
matur nuwun juga mampirnyaaa...