Kamis, 24 Desember 2015

PERNIKAHAN SAMUDRA bagian 10

Sebelumnya di PERNIKAHAN SAMUDRA bagian 9




RATRI
Aku belum bertemu lagi dengan Cahyo sejak pengakuannya tempo hari. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Belum apa-apa aku jadi salah tingkah. Membayangkan bertemu dengannya saja membuat wajahku hangat seperti diuapi. Ia membuatku merona seperti remaja yang dilanda cinta.


Aku jadi kaget sendiri. Cinta? Apa ini cinta? Aku sendiri tak tahu jawabannya. Sekian lama Cahyo hadir dalam kehidupan kami tanpa perlu embel-embel. Begitu saja ia menjadi bagian dari kami. Tak pernah terlintas dalam benakku untuk bertanya kenapa.

Karena ia merasa aku layak diperjuangkan dan dicintai... benarkah?

Pengakuannya membuatku gamang. Terasa berat, sekaligus membebaskan. Seolah-olah ada beban yang terangkat dari hati dan pikiranku. Seolah-olah paru-paruku menghirup udara segar setelah lama terkungkung dalam lemari. Mengejutkan, karena apa yang dikatakannya tak pernah terlintas dalam pikiranku. Menakutkan, karena semua ini baru bagiku.

Untuk pertama kalinya aku melihat diriku dengan cara yang berbeda. Bahwa aku ternyata tak sepenuhnya gagal sebagai perempuan. Bahwa di tengah semua kesalahan yang pernah kubuat, masih ada hal-hal yang kulakukan dengan benar. Paling tidak, ada satu orang yang beranggapan begitu.

Tiba-tiba Dewa dan semua hal tentangnya tidak lagi terasa melumpuhkan otakku. Tidak lagi terasa seperti jerat yang terpasang di sekeliling leherku. Tiba-tiba masa lalu tak lagi sepenting dulu.

Aku... perempuan hebat... layak diperjuangkan dan dicintai.

Aku tersenyum dalam hati. Sore di coffeeshop itu terkenang lagi. Ah Cahyo, terima kasih…

*****
DEWA

“Persiapan pernikahanmu sudah sampai mana, Sam?” tanyaku ketika Sam dan aku duduk berdua di bale-bale di teras rumah Bapak.

Sam mengangkat bahu.

“Kok begitu?”

“Aku nggak tahu, Pa. Mungkin malah batal semua.”

“Lho?”

Sam terdiam.

“Mamamu tidak suka Papa ikut mengurusi resepsi pernikahanmu,” simpulku.

Sam balas menatapku . “Jangankan ikut mengurusi, mencantumkan nama Papa di undangan saja Mama tidak mau.”

Aku terkesiap. “Separah itu?”

Sam mengangguk. “Iya, separah itu.”

Aku terdiam.

“Jadi Papa ngerti kan kalau kubilang, aku tidak mau Papa repot-repot bantu-bantu dalam acaraku nanti? Aku tetap ingin Papa datang, tapi sebagai papaku saja. Tidak usah ikut mengurusi acaranya, supaya Mama tidak semakin marah.”

Kata-kata Sam masih terngiang di telingaku walaupun sudah lewat dua hari. “Jangankan ikut mengurusi, mencantumkan nama Papa di undangan saja Mama tidak mau.”

Apa-apaan ini! Tidak mencantumkan namaku dalam undangan sama saja dengan tidak mengakuiku sebagai ayah Sam. Memangnya Sam bisa muncul begitu saja dalam rahim Ratri? Memangnya bibit Sam datang dari mana? Sam anakku. Titik. Apa hak Ratri untuk tidak mengakuiku sebagai ayah Sam?

Namun aku juga mulai memahami kenapa Witri tidak suka aku datang ke sini. Aku mulai memahami kesulitan Sam. Aku memahami keinginannya untuk menghadirkan aku dan Ratri dalam acara pernikahannya nanti, walaupun harus menghadapi Ratri yang keras kepala.

Yah, Sam juga keras kepala.

Benar kata Witri. Aku tidak perlu terlibat dalam semua keruwetan ini.

Aku sedang menimbang-nimbang untuk mulai berkemas pulang ketika ponselku bergetar. Sebuah panggilan dari nomor yang tak kukenal.

“Dewa?” Si penelepon bahkan tak repot-repot sekedar mengucap salam atau sekedar “halo”.

“Ya?”

“Kita perlu bicara. Kapan kita bisa ketemu?”
*****
RATRI

Aku sudah bisa mengenalinya sejak aku memasuki pintu coffeeshop. Dewa duduk di meja sudut, meja tempatku biasa melewatkan waktu bersama Cahyo. Penampilannya masih bisa membuat jantungku berdebar bila melihatnya, walaupun sengatan nyeri di hatiku setelahnya sanggup membuatku mengernyit. Dewa memang mempesona, sehingga mau tak mau aku memaklumi kebodohanku sendiri karena pernah mencintainya. Sejak ia datang lagi ke kota ini, baru kali ini aku bisa mengamatinya dari dekat.

Tahun-tahun yang lewat tak banyak mengubahnya. Rambut ikal tebalnya sedikit acak-acakan. Pandangannya yang lekat-lekat ke arah lawan bicaranya masih mampu menggetarkan hati perempuan manapun. Senyum tersunggingnya yang malu-malu masih membikin gemas. Matanya yang bulat. Hidung mancungnya. Pakaian yang rapi dan wangi parfum menyempurnakan penampilannya.

Namun sedikit terkejut aku menyadari, sementara aku mendekati meja Dewa, bahwa setelah debar-debar di dadaku habis, ya habislah sudah. Ia memang membuat perempuan terbuai oleh angan-angan romantis tentang pria pujaan. Namun setelah pesona itu lewat, tidak ada lagi yang tersisa. Rasanya seperti mengagumi kecantikan cangkang kerang. Indah, namun kosong. Cahyo tidak menjanjikan keindahan rupa, tapi ia kokoh dan mantap bagaikan karang, tempatku menambatkan hidup kami selama bertahun-tahun ini.

Astaga... kenapa aku mulai membanding-bandingkan Cahyo dengan Dewa?

Tanpa berkata apa-apa aku duduk di hadapannya. Kini setelah Dewa menjawab permintaanku untuk bertemu dengannya di coffeeshop sore ini, aku malah kehilangan kata-kata. Dewa juga diam, hanya menaikkan sebelah alisnya, menungguku bicara.

“Terima kasih kamu mau datang,” kataku membuka percakapan.

Dewa hanya mengangkat bahu.

“Tentang acara pernikahan Samudra...” Aku tercekat. Lidahku kelu.

“Ya...?” tanyanya beberapa saat kemudian karena aku tak kunjung menemukan kata-kata.

Aku menelan ludah. “Datanglah,” aku hanya sanggup berbisik.

“Sori?” tanyanya memperjelas.

“Datanglah,” ulangku sedikit lebih keras.

Dewa mengernyitkan dahi. “Sungguh?” tanyanya tak yakin.

Aku mengangguk. “Ya.”

Dewa memandangiku.

Aku berdehem, berusaha melonggarkan himpitan di dadaku. “Keluargamu juga diundang,” tambahku sambil menyodorkan tumpukan undangan ke hadapannya, berharap ia menyadari bahwa aku masih berat hati mengundang Gandari.

“Nanti kusampaikan pada mereka. Waktunya mepet, semoga mereka bisa datang semua,” sahut Dewa sambil membaca nama-nama yang tercetak di atas undangan.

Ia memandangku tak percaya ketika dilihatnya namanya bersanding dengan namaku sebagai orang tua Samudra. “Kamu masukkan namaku di sini?” tanyanya.

Aku tak bisa menahan senyum. “Samudra anakmu juga,” jawabku.

Sesaat Dewa kehilangan kata-kata. Ia hanya menatapku dengan mata berkaca-kaca.

Sebelum ia bisa bicara lagi, aku buru-buru memotong, “Tapi ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan.”



Selanjutnya di PERNIKAHAN SAMUDRA bagian 11












10 komentar:

  1. Balasan
    1. se wow itu lah...
      kalo enggak, mana mungkin ratri begitu sakit hati ??

      terima kasih sudah mampir... :D :D :D

      Hapus
  2. Weleh motongnya adegan bikin yg baca jd super penasaran mba Dani >_<

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehehehehehe...
      kan emang biar penasaran, mbak tiwi... #nyengirsetan

      terima kasih mampirnya...
      salam buat mas al...
      semoga segera pulih.

      Hapus
  3. Whuiiik... moro-moro wes bablasss bagian 10...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iki mau tak cek maneh jeng...
      tiwas aku wedi salah ngekeki nomer...
      ternyata emang bener dah bagian 10. :D :D :D

      matur nuwun mampirnyaaa... peyuuuuukkkk... :D :D :D

      Hapus
  4. waduuuh.... nggarai penasaran iki mbak Dani... motonge nggemesno...

    yo wis lah...pasrah nunggu lanjutan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ihihihihihihihihihi...
      sekali-sekali, mbaaaakkk...:D :D :D

      matur nuwun...
      matur nuwun juga mampirnyaaa...

      Hapus