Minggu, 24 Februari 2019

RUMAH DI SUDUT JALAN


           

            Say something, I’m giving up on you…*)
            Sobekan kertas dalam genggamannya nyaris lumat sepenuhnya. Alamat yang tertulis di dalamnya, tintanya memburam karena keringat.

            Dipandangnya bangunan di hadapannya. Masjid Annur… aneh, betapa akrab bangunan ini terasa baginya, walaupun baru saat ini ia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Entah sudah berapa ratus kali ia memandangi gambar masjid itu dalam aplikasi Goggle Map. Ia hapal bentuk bangunan itu sejak masih pembangunannya, sebelum menjadi semegah ini.
            Lelaki yang dicarinya itu pernah berfoto di depan masjid ini, ketika dinding masjid belum lagi dicat rapi. Tertawa lepas. Selembar sajadah di tangannya. Mungkin saat itu ia baru saja shalat. Shalat ‘Id? Mungkin.
            Berkat foto itu, ia tahu ke mana harus mencari. Masjid Annur… berapa banyak masjid bernama Annur di seluruh Indonesia, di seluruh Jawa, di seluruh Jawa Timur, di seluruh… Jombang?
            Ia tersenyum sendiri. Betapa ia sudah begitu bergantung pada teknologi. Sebagai penawar rasa penasaran, ketika keyakinan yang dimilikinya hanyalah bahwa lelaki itu mestinya tinggal tak jauh dari Masjid Annur. Masih di Indonesia, masih di Pulau Jawa, masih di Jawa Timur. Karenanya masih hidup, masih bisa dicari keberadaannya.
Sebagai penunjuk jalan, ketika yang dia tahu hanyalah masjid ini sebagai acuan.

Say something, I’m giving up on you
I’m sorry that I couldn’t get to you*)
            Ia mendongak, menatap langit. Hari yang sempurna. Lewat tengah hari di Jombang, ketika harusnya matahari sedang garang-garangnya. Namun hujan yang turun beberapa saat lalu menyejukkan, melembutkan cahaya mentari, melegakan dadanya yang debarnya tak teratur sejak ia memutuskan untuk mengikuti petunjuk terakhir yang dimilikinya: alamat yang kini tergenggam erat di tangannya.
            Ia nyaris tertawa sendiri. Banyak orang bilang, ia sudah gila. Mungkin mereka benar. Mungkin ia MEMANG sudah gila. Ia sudah berhenti mencoba menyangkal. Kesadaran itu datang begitu saja di tengah pencariannya: hanya orang gila yang terobsesi seperti ini.
            Hanya orang gila yang bisa memahami rasa sakit ini.
            Ia sudah tak muda lagi. Sudah berkali-kali jatuh cinta. Harusnya dia sudah kebal. Sudah hapal betul akibatnya.
            Ia sudah tak muda lagi. Kata-kata itu diulanginya dengan pahit. Itukah sebabnya ia seperti ini? Menghabiskan waktu berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, melacak lelaki yang tak ingin ditemukan?
            Karena ini kesempatan terakhirnya untuk menemukan cinta?
            Seorang lelaki paruh baya melintas, memandangnya sekilas. Ia orang asing di situ, ia tahu, karenanya penduduk pasti ingin tahu siapa dia, apa urusannya di situ.
            Tidak, ia tidak tersinggung.
            Ia tersenyum pada bapak itu, dan bertanya, “Perumahan Pondok Indah sebelah mana ya, Pak?”
            Yang dijawab, “Pondok Indah atau Metro Pondok Indah, Mbak?”
            Dibukanya sebentar gumpalan kertas dalam genggamannya, walaupun ia sudah hapal luar kepala, “Pondok Indah.”
            “Pondok Indah di sebelah kiri, Metro Pondok Indah di sebelah kanan.” Bapak itu tersenyum ramah.
            Benar kan, hari ini hari yang sempurna bagi pencariannya. Bahkan bapak ini pun ramah padanya, orang asing di situ.
            Ia sudah menempuh ratusan kilometer untuk sampai di situ. Pencariannya, harusnya, sudah hampir berakhir. Ia sudah melalui bagian tersulit, sudah melakukan hal yang nyaris mustahil: mencari keberadaan lelaki yang tidak ingin ditemukan.
            Harusnya sekarang mudah saja. Etape terakhir dalam perjalanannya.
            Iya, kan?
            Dipandanginya jalan berpaving di hadapannya, memanjang lurus. Rumah-rumah di kiri-kanannya berdiri muram. Beberapa rumah seperti ditinggalkan tanpa penghuni, tampak menyedihkan, mengecilkan hatinya.
            Tak tampak orang lalu-lalang, kecuali, dalam sebuah gang, dilihatnya beberapa wanita duduk-duduk di sebuah gazebo. Mereka menoleh ketika ia melintas di mulut gang, lalu berpaling tak peduli.
            Salahnya, datang ke situ pada saat lazimnya orang belum pulang bekerja, hiburnya dalam hati. Atau mungkin memang sebaiknya sepi begini, ketika lelaki yang dicarinya itu belum pulang bekerja, sehingga ia bisa leluasa mencari rumahnya.
            Dipandangnya sekeliling. Harus mulai dari mana?
            Di tikungan depan beberapa lelaki duduk-duduk di teras sebuah rumah. Sepeda motor mereka begitu saja memenuhi halaman yang sempit.
            “Maaf,” tanyanya, “blok AG sebelah mana, ya?”
            Para lelaki itu berhenti bercakap, menatapnya tajam.
            “Blok AG sebelah mana, ya?” ulangnya.
            Seorang lelaki berbadan tambun bangkit dan mendekat. “Tidak ada blok AG di sini,” jawabnya.
            Jantungnya terasa berhenti sejenak. Tidak ada blok AG di sini? Masa alamat yang diperoleh dengan susah-payah ini ternyata alamat palsu?
            Lelaki itu menatapnya. “Mbak mau mencari siapa?” tanyanya, mungkin iba.
            Ia menelan ludah. Sudah begitu lama ia tak menyebut nama lelaki itu. “Ferdi. Saya mencari rumah Pak Ferdi.”
            Lelaki di hadapannya terdiam lama, seperti menimbang-nimbang sesuatu. “Di sini tidak ada yang namanya Pak Ferdi.”
            Ia tahu, setahu-tahunya, bahwa lelaki itu berbohong.
            Lelaki itu masih menatapnya. Lalu, tanpa disangka-sangka, berkata, “Maaf…”
            Ia mendongak, menatap langsung mata lelaki di hadapannya itu. Dalam bola matanya ia melihat iba dan sesal. Kenapa iba? Kenapa sesal? Apakah karena ia telah berkata dusta?
            Ia memaksakan sebuah senyum, kemudian berlalu. Tak ada yang bisa dilakukannya. Lelaki tadi sudah bulat-bulat berkata tak ada blok AG. Tidak ada Ferdi.
           
            And I’m feeling so small
            It was over my head
            I know nothing at all*)
             
            Keraguan yang sedari tadi dipendamnya timbul tanpa bisa dicegah.
            Sesungguhnya ia pun tak tahu apa yang dilakukannya di situ. Ia hanya tahu bahwa ia harus ke situ. Kini, suara yang selama ini diabaikannya, berbisik lagi di telinganya, menanyakan pertanyaan yang coba dienyahkannya.
Setelah ketemu alamat itu, lalu apa?
            Kali ini senyumnya pahit. Orang waras pasti sudah balik badan, lalu pergi. Apa yang dicarinya di sini? Tak ada. Bahkan bisa dipastikan, tak ada sambutan ramah yang menunggunya.
            Pertengkaran mereka yang terakhir, yang berujung pada kepergian lelaki itu, harusnya sudah cukup jelas baginya. Lelaki itu tak tertarik padanya. Tidak sebagai teman, apalagi sebagai seorang kekasih. Apalagi lelaki itu sudah menegaskan maksudnya dengan memblokir nomornya di ponsel beserta akunnya di media sosial. Ia tak bisa lagi menghubungi lelaki itu, bahkan sekedar mengintip isi akun media sosialnya.
            Harusnya ia marah. Harusnya ia mengamuk. Harusnya ia mengutuk. Seperti yang dilakukannya pada semua lelaki yang meninggalkannya.
Tapi kali ini, lelaki ini, berbeda. Lelaki ini menelanjangi hatinya bulat-bulat. Lelaki ini, tanpa tedeng aling-aling, tanpa basa-basi membuka rahasianya yang terbesar: bahwa ia tak layak dicintai.
            Begitu telaknya hingga ia tak bisa lagi marah, atau mengamuk, atau mengutuk. Yang tersisa hanya kesadaran yang menyakitkan. Bahwa ia tak layak dicintai. Karena itu mereka semua pergi meninggalkannya. Karena entah bagaimana, entah mengapa, keperempuanannya tidak bisa mencegah para lelaki meninggalkannya.
Dihelanya napas panjang. Ia sudah menempuh perjalanan panjang untuk sampai di tempat itu, namun kini ia tak lagi yakin.
Sudah begitu lama… sudah begitu jauh waktu berjalan…
Dibukanya genggaman tangannya. Gumpalan kertas berisi alamat itu masih di tempatnya, makin lembab karena keringat. Tinggal satu gang yang belum dimasukinya.
Gang tempat perempuan-perempuan tadi berkumpul.
Dalam hati ia berdoa, please, please, semoga kali ini benar…
Gang itu kini sepi. Perempuan-perempuan yang tadi sekilas dilihatnya duduk-duduk di gazebo sudah membubarkan diri. 
And I swallow my pride
You’re the one that I love
And I’m saying goodbye*)
Perasaan hangat yang tadi dirasakannya saat mencari kompleks perumahan ini sudah hilang entah sejak kapan. Ia orang asing di situ. Mungkin hanya perasaannya saja, tapi tatapan orang-orang yang ditemuinya di gang itu tidaklah ramah. Seakan-akan mereka tahu isi hatinya. Tahu rahasianya. Bahwa ia datang ke tempat itu untuk mencari rumah lelaki yang bahkan tak sudi menemuinya lagi.
Gang itu bercabang, dan ia berbelok. Di pagar sebuah rumah ia membaca: AG… blok AG… Dadanya berdegup kencang, menghapus semua keraguannya. Mungkinkah… mungkinkah? Ditatapnya nomor-nomor rumah di sisi kanan-kiri jalan. 10… 9… 7… 8… mana rumah nomor 12?
Makin ke ujung nomornya makin kecil, lalu gang itu berakhir begitu saja di ujung gang lain. Ia berbalik. Ia pasti salah hitung. Jangan-jangan…
Ia kembali menyusuri gang itu, ke arah datangnya tadi. Hingga rumah itu. Rumah di sudut jalan. Bertingkat dua, terletak di sudut antara gang dengan jalan berbatu yang disangkanya jalan buntu. Tidak ada nomor tertera di dinding, di pagar, atau di manapun yang bisa dilihatnya. Tapi ia yakin, seyakin-yakinnya, rumah inilah yang dicarinya. Blok AG nomor 12.
Tapi mana penanda itu, penanda khas yang menunjukkan itu rumah lelaki yang dicarinya?
Ia berbelok, keluar dari gang, menuju jalan berbatu, mencari dinding rumah yang tak nampak dari gang. Dan di sanalah penanda itu berada: relief dinding yang khas, menggambarkan sosok-sosok bersorban nan berwibawa, dengan matahari kuning di atas mereka.
Tak salah lagi. Ini rumahnya. Ini rumah lelaki itu. Ia pernah melihat foto lelaki itu dalam pose santai di depan relief ini.
Lehernya tercekat. Dadanya membuncah, namun tak seinci pun tubuhnya mampu bergerak. Hanya tiga langkah, kurang-lebih, dan ia bisa menjangkau pagar rumah itu. Membunyikan bel, lalu bertanya tentang Ferdi.
Hanya tiga langkah, namun tubuhnya membeku. Waktu membeku. Dunia membeku.
Say something, I’m giving up on you
I’m sorry that I couldn’t get to you
And anywhere, I could’ve followed you
Say something, I’m giving up on you*)
Ia pernah menimbang-nimbang untuk meninggalkan semua. Pekerjaannya. Karirnya. Keluarganya. Andai lelaki itu meminta.
Tapi lelaki itu tak pernah meminta. Jangankan meminta, mengenalnya saja bagaikan aib bagi lelaki itu.
Di situlah ia sekarang. Rumah lelaki itu. Potongan terakhir dalam puzzle misteri. Ia bisa membunyikan bel dan menghadapi apapun yang akan terjadi.
Atau tidak.
Harusnya ia merasakan sesuatu. Tapi tidak ada perasaan yang muncul. Tidak rasa lega. Tidak rasa marah. Tidak juga rindu, yang tadinya ia bayangkan akan muncul.
Ia hanya merasa… kosong.
Tidak ada rasa puas karena menemukan rumah itu. Tidak ada rasa kalah karena tidak memencet bel.
Hanya… kosong.
Bukan ini yang diharapkannya, namun ini juga bukan antiklimaks, karena ia tak pernah bisa membayangkan akhir macam apa yang akan dialaminya.
Hanya… kosong.
Semua perasaan yang menggayuti hatinya, mengaburkan otaknya, pergi begitu saja, meninggalkan ruang kosong yang begitu besar dalam dirinya.
Ia mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa berat. Lelaki itu masih hidup. Di Jombang, di Jawa Timur, di Indonesia. Dan ini rumahnya.
Alhamdulillah… begitu saja hatinya berbisik. Setengah terkejut, ia sadar. Ya, Alhamdulillah. Saat ini, entah di mana, lelaki itu berada. Mungkin sedang bekerja. Jantungnya masih berdenyut, walaupun denyut itu bukan untuknya. Mungkin ia sedang tersenyum, teringat perempuan lain yang bukan dirinya. Matanya yang indah mungkin juga sedang mengagumi matahari yang pelan-pelan turun di ufuk barat. Rambutnya yang ikal indah mungkin sedang dihembus angin sore.
Semua itu patut disyukuri. Lelaki itu masih hidup, walaupun hidup itu tak dijalani bersamanya.
Mungkin ia akan bertemu lelaki itu lagi. Kelak. Mungkin juga tidak.
Dan rasa kosong ini… yah, ia akan bertahan, seperti yang sudah-sudah. Entah seperti apa nantinya, entah seperti apa jadinya, yang pasti ia akan bertahan.
Karena hanya itu yang ia tahu, hanya itu yang ia bisa.
Bertahan.
Say something, I’m giving up on you
Say something…*)


*) Kutipan lirik dari lagu “Say Something” – A Great Big World dan Christina Aguilera.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar