Sabtu, 06 Juli 2019

ULANG TAHUN TOM


Sudah cukup.

Pulanglah.


Diliriknya jam di pergelangan tangannya. Sudah lebih dari satu jam ia berada di situ.
Tom menghela napas panjang. Hari ini hari ulang tahunnya yang kedua puluh delapan, dan harusnya ia bahagia. Harusnya merayakan hari istimewa ini di tempat lain. Bukannya malah berlama-lama di kompleks pemakaman ini.

Walaupun Ibu dimakamkan di sini.

Andai masih hidup, Ibu pun pasti akan mengomelinya karena bermuram-durja, lalu menyuruhnya bersenang-senang.

Yah, bagaimana lagi… Ibu tak pernah melewatkan sekalipun hari ulang tahunnya. Mereka biasa merayakannya bertiga, bersama Ayah. Sekarang pun ia tak berniat merayakan hari ini tanpa Ibu.

Tom menghela napas lagi.

Happy birthday to me, happy birthday to me, dendangnya diam-diam. I miss you, Ibu…

Ibu pasti akan menyahut tak sabar, “Iya, Ibu juga kangen. Sudah sana, rayakan bersama Ayah.”

Iya, Bu, tapi nanti. Aku masih ingin di sini.

Ditatanya rangkaian bunga sedap malam di atas pusara Ibu, agar tidak tumpang-tindih dengan kuntum-kuntum mawar yang diletakkan Ayah sebelumnya. Lelaki itu sudah beranjak sedari tadi. Kuntum-kuntum bunga yang sudah layu dan mengering dikumpulkan Tom di sudut, supaya bisa dibersihkan Pak Mo, penjaga makam, sepulangnya nanti.

Ia tersenyum. Seperti dirinya, Ayah tak pernah alpa datang ke sini. Mendoakan. Membersihkan. Membawakan bunga.

Supaya apik dan resik, seperti yang selalu disukai Ibu.

Dan membuat petak makam di samping makam Ibu jadi tampak makin mengenaskan. Entah siapa yang dimakamkan di situ. Makam menyedihkan yang ditumbuhi rumput liar, kotor oleh serakan daun kering dan sampah yang ditinggalkan para peziarah. Makam yang sudah seperti itu keadaannya sejauh bisa diingat Tom.

Dicobanya mengeja huruf yang tertera di batu nisan, tapi batu itu sudah sedemikian kotor sehingga tak terbaca.

“Selamat sore, Mas.”

Tom menoleh. Pak Mo bertelekan pada gagang sapu ijuk, tersenyum lebar, menampakkan gigi-geliginya yang menghitam karena rokok. Tom balas tersenyum.

“Sore, Pak Mo.”

“Sudah lama, Mas?”

“Lumayan. Eh Pak Mo, makam yang di sebelah Ibu ini lho, kok sedari dulu seperti ini. Apa tidak ada keluarganya yang memelihara?”

“Siapa yang mau merawat Mas, wong kabarnya dia orang jahat. Keluarganya  sudah tidak peduli. Mungkin malu. Sebenarnya makam itu sudah mau ditumpuki jenazah lain, tapi tidak ada yang berani. Kabarnya almarhum dulu penggede.”

Tom mengernyitkan dahi. “Jahat bagaimana, Mas?”

“Kabarnya dia membunuh istrinya, lalu dia sendiri bunuh diri.”

“Punya anak?”

“Untungnya tidak.”

Tom terdiam. Ingat Ibu. Ingat Ayah. Ingat betapa Ayah mencintai Ibu. Ingat betapa lelaki itu begitu patah hati sepeninggal Ibu.

Hanya ada Ibu di mata Ayah. Selalu begitu sedari dulu. Tom sudah biasa menjadi nomor kesekian dalam daftar prioritas Ayah. Tapi tak apa. Tak masalah baginya, asal Ibu bahagia.

Karena itu ia tak habis pikir. Lelaki macam apa yang tega membunuh istrinya?

“Kalau Mas Tom penasaran, makam istrinya di sebelah sana, yang pakai pagar besi,” Pak Mo menunjuk sudut kompleks pemakaman, lalu kembali menyapu.

Maka ke sanalah Tom menuju. Di batu nisan terbaca nama IRINA, bertanggal hampir dua puluh tahun yang lalu. Makam berpagar putih itu bersih, namun tak ada sisa bunga yang tertinggal, seakan-akan tak pernah ada yang datang.

Terawat, namun tak urung tetap terasa sedih dan sepi. Tidak ditelantarkan, tapi tidak cukup penting untuk dikunjungi secara teratur.

Begitu saja Tom bangkit, menuju penjual bunga, membeli beberapa tangkai bunga sedap malam, lalu meletakkannya dengan hati-hati di atas makam itu.

Ia tersenyum. Nah, sudah tidak begitu menyedihkan lagi, kan?

Sejak sore itu, setiap kali Tom mengunjungi makam Ibu, ia menyempatkan mampir di makam Irina dan meletakkan beberapa tangkai bunga sedap malam.

*****
Dengan hati-hati Tom meletakkan tangkai-tangkai bunga sedap malam di atas makam Irina, lalu memanjatkan doa. Diusapnya batu nisan, lalu ia beranjak pergi.

Hari ini ulang tahunnya yang kedua puluh sembilan. Ia sudah mengunjungi makam Ibu. Malam ini ia akan makan malam dengan Ayah di restoran kesukaan mereka.

“Mas ini siapa? Kenapa selalu menaruh bunga sedap malam di sini?”

Nyaris copot jantung Tom. Sekejap tadi ia hampir percaya Irina bangkit dari kuburnya.

Seorang perempuan berdiri di hadapannya. Tampaknya beberapa tahun lebih muda dari Tom. Dahinya berkerut , tangannya disilangkan di dada, menunggu jawaban Tom.

“Kok diam saja? Sudah lama saya mencari orang yang menaruh bunga di sini. Baru sekarang ketemu. Mas ini siapa dan maunya apa?” Perempuan itu mengulangi pertanyaannya.

Maka berceritalah Tom, walaupun dalam hati ia sendiri menyadari betapa janggal kisahnya. Bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan pada perempuan ini, mengapa ia, seorang lelaki waras, selalu meletakkan bunga di makam seseorang yang bukan teman, bukan sanak keluarga, bahkan tak dikenalnya?

“Terserah, Mbak mau percaya atau tidak. Saya tahu, cerita saya tidak masuk akal,” pungkas Tom.

Namun perempuan di hadapannya menjawab, “Saya percaya, kok. Ngomong-ngomong, ini makam bibi saya. Terima kasih karena Mas selalu menaruh bunga di sini.”

Ia mengulurkan tangan sambil tersenyum, “Nama saya Erika.”

Tom balas tersenyum, menyambut uluran tangan itu, “Saya Tom.”

*****
Langit biru semburat jingga. Angin yang berhembus sedikit mengusir gerah musim kemarau.

Tiga orang menuntaskan doa di makam Ibu, lalu beranjak ke makam Irina untuk meletakkan rangkaian bunga sedap malam di sana.

Tom. Dan Ayah. Dan Erika.

Hari ini hari ulang tahun Tom yang ketiga puluh.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar