Rabu, 26 Oktober 2022

ALUMNI SAMBANG COR JESU

 

Kampus Cor Jesu 1920 (foto koleksi Tropenmuseum)

 

Sampeyan kan alumni kene… ngerti gak, sejarahe bangunan iki?”

 

Siang itu hari Minggu, tanggal 23 Oktober 2022. Pertanyaan Pak Irawan dari Komunitas Malang Old Photo itu bikin aku cengar-cengir salah tingkah.Pak Irawannya ketawa-ketawa saja.

Waduh, di-skak aku, rek.

Malulah aku, ngakunya alumni Cor Jesu kok tidak paham sejarahnya.

Jadi demikianlah, tulisan ini adalah edisi belajar sejarah Cor Jesu versi alumni.

Terus terang saja…

Aku baru tahu bahwa

 

Bangsal olah raga (foto koleksi pribadi)

Bangunan SMP Cor Jesu dulunya adalah Kweekschool Santo Agustinus alias Sekolah Guru, yang dibangun pada periode 1930. Kweekschool Santo Agustinus berubah menjadi SMP sekitar periode tahun 1950an.

Wow… Sekolah guru?

Satu-satunya sekolah guru yang aku kenal adalah SPG Mardi Wiyata (sekarang sudah jadi SMA), karena waktu aku di SD, para siswanya dulu praktek mengajar di kelasku yang kebetulan bernaung di bawah Yayasan yang sama.

Adakah hubungannya dengan sekolah guru yang pernah ada di Cor Jesu?

Aku baru tahu bahwa…

 

Tegel di pintu masuk SMP (foto koleksi pribadi)

Maastricht punya (foto koleksi pribadi)

Tegel yang ada di halaman kompleks Cor Jesu, asli buatan Belanda, persisnya dari Maastricht, dibawa dengan kapal ke Indonesia. Tegel serupa juga dipasang di stasiun-stasiun kereta di Jawa dan Sumatera. Mengingat jaman itu belum dikenal pengiriman paket model J*E atau Sh*ppe yang tetap bisa dikirim walaupun partai kecil, pengiriman barang saat itu hanya bisa dilakukan dalam partai besar. Termasuk tegel. Jadi, tegel dikirim lewat kapal laut sekalian dalam jumlah besar dari Belanda untuk kemudian dibagi-bagi sesuai alamat penerima.

Sebuah ubin beratnya hampir sekilo. Kalikan saja berapa ribu tegel dalam sekali pengiriman. Berapa ton beratnya?

Alhamdulillah kapalnya tidak tenggelam. Walaupun aku bayangkan kapalnya terseok-seok melintasi samudra seperti truk yang kebanyakan muatan.

Mungkinkah di buritan kapal juga ada tulisan “AWAS JAGA JARAK” supaya kapal-kapal kecil tidak mepet-mepet seperti mikrolet?

Aku baru tahu bahwa…

 

Dokumentasi gedung SMA Cor Jesu setelah terbakar (foto koleksi pribadi, repro koleksi galeri SMA Cor Jesu)

Bangunan SMA Cor Jesu aslinya berlantai dua. Lantai dua terbuat dari kayu, namun dibakar habis dalam peristiwa Malang Bumi Hangus bulan Juli tahun 1947. Dalam peristiwa itu banyak bangunan dibakar agar tidak digunakan oleh pasukan NICA yang hendak masuk lagi ke Indonesia, kecuali tempat ibadah. Ketika bangunan diperbaiki pada tahun 1950, lantai dua tidak dibangun kembali.

Bangunan Kweekschool juga dibakar, namun lantai duanya tetap berdiri tegak karena terbuat dari bata. Kokoh sampai sekarang.

Yang tersisa dari peristiwa Malang Bumi Hangus adalah kapel dan biara.

Aku bayangkan saat itu pasti langit malam berwarna merah. Udara pengap oleh asap. Suara api yang dihembus angin menderu-deru. Aku tak bisa membayangkan betapa deg-degannya hati para suster dan penghuni sekolah yang berlindung dalam biara, berharap angin tidak mengarahkan api pada mereka, berdoa supaya biara tidak ikut terbakar.

Aku baru tahu bahwa…

 

 
Suster Lucia mendampingi kami di galeri (foto koleksi pribadi)

Kini ada galeri pamer di SMA Cor Jesu, berisi memorabilia para suster semasa tinggal di Kampus Cor Jesu. Pengunjung bisa masuk ke dalam galeri selama jam sekolah.

Salah satu memorabilia yang dipamerkan adalah beberapa milik pribadi Suster Inigo Prawirotaroena. Beliau adalah suster pertama yang berdarah Jawa. Menurut Suster Lucia yang mendampingi kami selama blusukan, sebelum masuk biara, almarhum Suster Inigo juga berkebaya dan berjarit dengan rambut disanggul rapi.

 
Suster Inigo (foto koleksi pribadi, repro koleksi galeri SMA Cor Jesu)

Aku jadi ingat Bu Srini, guru SMP kami dulu, yang sehari-hari juga berkebaya, berjarit dan bersanggul rapi. Rumah beliau dulu di Celaket gang I, di belakang gedung SMK Cor Jesu.

Memorabilia lain yang dipamerkan adalah sketsa yang menggambarkan kehidupan para suster dalam kamp interniran jaman pendudukan Jepang. Karena dokumentasi dalam bentuk apapun dilarang keras oleh Jepang, maka para suster membuat catatan dan sketsa secara diam-diam. Dengan alasan ke toilet pada malam hari, para suster membawa lilin serta menyelundupkan secarik kertas dan pensil dalam jubah, lalu membuat catatan peristiwa yang terjadi pada hari itu. 



 

Kumpulan catatan selundupan itu kini menjadi sumber informasi beratnya kehidupan para suster dalam kamp interniran. Banyak suster yang sakit dan wafat dalam kamp karena kelaparan dan kondisi kamp yang buruk.

Perang tu jahat banget, memang.

Aku baru tahu bahwa…

Di selasar SMA ada sebuah lonceng penanda waktu doa yang tali penariknya selalu ditata tinggi di luar jangkauan tangan. Tali penarik lonceng penanda waktu doa itu tidak diturunkan untuk mencegah orang lewat yang iseng membunyikan lonceng.

Lonceng yang cantik (foto koleksi pribadi)

 

Eman e rek, aku yo pengen njajal

Aku baru tahu bahwa…

Kapel yang sudah dibangun pada tahun 1924 dan diresmikan tahun 1925 masih tetap terawat baik dan indah hingga kini. Sayang salah satu ubin lantainya pecah dan ditambal semen. Tambalannya tidak besar, sehingga butuh kejelian untuk mengenali ada ubin yang cacat. Usut punya usut, ternyata bandul lonceng besar penanda waktu jatuh sekitar tahun 2018 dan menghunjam ubin dengan keras dari ketinggian 3 lantai, sehingga ubin pecah. Untung tidak ada orang di bawahnya saat itu. 

 
Tambalannya sebelah mana hayo... (foto koleksi pribadi)

 

Itu sebabnya sejak tahun 2018 tidak ada bunyi lonceng penanda waktu doa.

Bandul lonceng yang jatuh belum ditemukan penggantinya.

Sayang sekali.

Seingatku, jaman aku di SMP dulu, kalau sudah terdengar suara dentang lonceng, kami diam, membuka buku siswa yang berisi doa, lalu membaca doa bersama.

Aku senang sekali kalau lonceng sudah berdentang. Tandanya, sebentar lagi giliran bel sekolah berbunyi, waktunya pulang sekolah…

Horeee…

Aku baru tahu bahwa…

Makam para suster di belakang kapel sudah direnovasi. Kini, makam-makam lama dihimpun jadi satu, dengan batu nisan tunggal berisi nama-nama suster yang dimakamkan di dalamnya.

Batu nisan tunggal berisi nama-nama suster yang disemayamkan di situ (foto koleksi pribadi)

 

Aku menemukan nama Suster Inigo di nisan itu.

Sebagai gantinya, untuk makam-makam baru, dibuatkan “loker-loker” yang bisa diisi peti-peti mati para suster yang wafat.

"Loker" makam (foto koleksi pribadi)

 

Diperkirakan, “loker-loker” ini baru terisi penuh 200 tahun lagi.

Aku baru tahu bahwa…

Di sekitar kompleks Cor Jesu banyak spot yang menarik.

Ada sumber air yang (sepertinya) cukup besar dan (sepertinya) asyik untuk didatangi. Ada menara airnya juga lho…

Ada peninggalan kuno yang disebut “Mbah Tugu” di tengah perkampungan. Entah apa bentuknya. Mengingat pada awal dibangunnya kompleks Cor Jesu, wilayah Celaket masih berupa hutan belantara, bisa jadi “Mbah Tugu” ini adalah sisa-sisa pemukiman di sekitar tepian sungai Brantas jaman kerajaan dulu.

Entah kerajaan apa.

Last but not least…

Aku baru tahu bahwa…

Konon di bawah kamar-kamar mandi asrama putri terdapat lorong yang memanjang sampai kompleks Mardi Wiyata, dengan semacam “rest area” di tengah-tengahnya.

Katanya sih ada di bawah situ... (foto koleksi pribadi)

 

Nah, yang ini perlu dicek dan ricek, nih.

Jadi…

Mata kuliah sejarah Cor Jesu senilai 4 SKS jatah satu semester yang dipadatkan dalam 1 hari oleh Pak Irawan.

Tapi paling tidak, sekarang kalau ditanya tentang almamaterku yang satu ini, aku sudah (agak) ngeh. Walaupun kalau ditanya detil tanggal dan tahun, aku tetap angkat tangan angkat kaki.

Ngerti ngunu melok blusukan 2 dino sisan ae yooo… biar tambah paham!

 

 

 

3 komentar:

  1. Kerennnnnn...top suka dengan tulisan ini

    BalasHapus
  2. dimanakah tulisan tulisan asli tersebut? tentunya sangat menarik jika kita gali.....penggalian tentang sejarah tidak akan pernah habis....mantap mbak....

    BalasHapus