Minggu, 02 April 2017

[IT'S MY LIFE] NGERI-NGERI SEDAP DI LEDOK AMPRONG



“Ayo… masa berani rafting nggak berani river tubing?”


Memang dasar si Odren, temanku sekantor ini. Dia tahu betul aku paling tidak suka ditantang. Bukan karena takut, tapi karena aku paling susah menolak tantangan yang kuanggap menarik. Sejak aku pulang dari acara rafting di Noars, Probolinggo, bulan Pebruari kemarin, dia sudah memanas-manasiku dengan ceritanya mengikuti river tubing yang menurutnya, “lebih sensasional.” Dia sendiri sudah mencicipi olahraga ekstrem yang satu ini bersama teman-temannya di Sedaer, walaupun tidak sampai garis finish karena air sungai meluap dan pengelola tidak berani ambil resiko meneruskan perjalanan.

Wow. Just… wow.

Okay.

Jangan bayangkan aku ini semacam Ninja Hattori yang rela “mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra, bersama teman bertualang.” Seumur hidup aku ini anak rumahan yang pendiam dan pemalu. Pergi beramai-ramai ke suatu tempat bisa bikin aku mati kutu dan mati gaya.

Lalu, kenapa sekarang mau?

Ya gara-gara rafting itulah. Aku sudah lama menyadari bahwa aku suka sekali main air, dan aku sudah rindu main air lagi dengan sentuhan ngeri-ngeri sedap. Kerinduan ini mengalahkan keenggananku untuk bepergian bersama banyak orang.

Rafting jauh, river tubing dekat, ya sudah river tubing sajalah.

Akhirnya rencana disusun. River tubing direncanakan bulan Maret waktu weekend. Odren menghubungi teman-temannya yang berminat. Aku mengontak Juno, menyesuaikan jadwal dengan anak lanangku itu, agar dia bisa menemani ibunya ini main air.

Rencana nyaris batal karena Maret ternyata bulan padat-merayap. Bahkan akhir minggu pun kami sibuk. Tanggal 24 Maret aku dan Odren memastikan bahwa river tubing harus jadi dilaksanakan pada tanggal 28 supaya tidak omdo (omong doang) dan sekedar jadi wacana tanpa realisasi. Bagiku, agak belepotan juga mengaturnya karena sampai tanggal 26 Maret, Juno masih di luar kota, dan aku agak segan berangkat tanpa dia mengingat naga-naganya, hanya aku peserta perempuan.

Alhamdulillah, pas hari H, Juno bisa berangkat. Maka berangkatlah kami berdua dari rumah menuju titik pertemuan di daerah Tumpang. Benar dugaanku begitu bertemu anggota rombongan yang lain. Aku satu-satunya peserta perempuan. Para lelaki itu adalah teman-teman kuliah Odren di Universitas Wisnuwardhana.

Dari Tumpang, kami menuju Desa Gubuk Klakah. Perjalanan dari Malang sekitar 25 kilometer terasa nyaman karena jalanan relatif lancar. Apalagi makin mendekati Desa Gubuk Klakah, pemandangan menjadi makin indah. Pegunungan biru berbaris di kejauhan, sementara di kiri-kanan jalan berseling-seling pemandangan sawah ladang dan pepohonan menyejukkan mata. Angin segar bertiup lewat jendela mobil yang terbuka. Sejuknya membuat betah.

Memasuki Desa Wringinanom, kami belok kanan melewati gapura bertuliskan “Dusun Besuki”. Di samping gapura terdapat arah penunjuk menuju Ledok Amprong, namun tak terlalu jelas sehingga mudah terlewat.



Gapura Dusun Besuki

Kami mengikuti jalan yang ada, hingga jalan aspal habis berganti jalan tanah yang hanya cukup dilalui satu kendaraan roda empat. Bisa runyam kalau berpapasan, karena sebelah kiri dibatasi selokan dalam, sedangkan sebelah kanan, tanah menurun tajam.
Hingga di satu titik menjelang turunan tajam, aku memutuskan untuk menghentikan mobil karena tidak mungkin meneruskan perjalanan. Medan jalan tidak cocok untuk city car seperti milikku, namun motor maupun jeep atau kendaraan gerak 4 roda masih bisa lewat.

Akhirnya setelah menitipkan kendaraan di pekarangan rumah penduduk, aku melanjutkan perjalanan berjalan kaki bersama Juno, Odren, dan seorang anggota tim yang lain. Jalanan tanah dan berbatu. Untung semalam tidak turun hujan sehingga tidak licin. Perjalanan hampir 2 kilometer tidak terlalu terasa karena jalan menurun dan pemandangan hutan pinus yang kami lewati membuat rasa lelah hilang.

Hutan pinus menuju basecamp

 Ayo, ke sana bareng-bareng!



Belum jam 9 pagi ketika kami tiba di basecamp. Base camp river tubing berupa sebuah hamparan terbuka tepi sungai, dibatasi oleh tebing dan sungai Amprong. Di sini ada gazebo, lahan parkir, warung, kamar mandi dan tempat perlengkapan river tubing. Suasana cukup sepi, mungkin karena hari masih pagi. Tampaknya rombongan kami adalah rombongan pertama yang datang.

 Basecamp

Setelah mengenakan rompi dan helm, kami dikumpulkan oleh pemandu untuk diberi pengarahan. Aturan main river tubing ada 5: (i) tubuh diletakkan tepat di tengah tube/ban, (ii) tubuh tidak dalam posisi tidur, tetapi duduk, (iii) tangan ada di atas tube/ban agar terhindar dari batu, (iv) bila jatuh, berusaha berdiri di dasar sungai, tidak perlu mengejar ban, (v) usahakan duduk jangan membelakangi arus.

Pemandu sempat memintaku melepas kacamata karena khawatir hilang bila aku terjatuh di air. Namun pengalaman rafting mengajarkanku untuk mengikat kacamata dengan karet sehingga tidak terlepas dari kepala. Jadilah aku tetap berkacamata selama mengarungi Sungai Amprong.

Setelah briefing, kami membawa sendiri tube/ban  yang akan kami gunakan menuju titik start. Kalau tidak salah, ada 3 pilihan rute. Rute panjang, rute menengah, rute pendek. Rombongan kami memilih rute menengah, dengan jarak 1.500 meter dan estimasi perjalanan 60 menit. Perjalanan mendaki menuju titik start cukup membuat ngos-ngosan karena tube/ban lumayan berat.

Walaupun tidak seberat menanggung rinduku padamu sih… (abaikan, please abaikan…).

 Menuju titik start harus lewat jembatan itu dulu

Sungai Amprong

Benar kata pemandu. Kedalaman air sungai hanya sepaha orang dewasa, sekitar 50-100 cm. Dinginnya air sungai bikin aku sulit menahan diri untuk tidak kalap. Arus relatif deras, namun tidak menakutkan. Asek, asek, aseeeeekkkk…

Aku adalah peserta terakhir yang diberangkatkan oleh pemandu. Entah kenapa. Tapi tak masalah bagiku karena aku jadi bisa lebih lama main air di tepian sungai. Huaaaa… asek, asek, aseeeeekkk…

Dengan penuh semangat aku duduk di atas ban, lalu mulai bergerak mengikuti arus sungai. Kurang dari sepuluh meter di depan ada jeram kecil. Aku melewati jeram itu. Tiba-tiba langit biru terbuka di hadapanku, lalu sekejap dunia berwarna coklat sepenuhnya dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga.

Yap. Banku terbalik. Aku tenggelam. Dan ini baru sepuluh meter pertama.

Aku berusaha berdiri seperti arahan waktu briefing tadi. Tapi berdiri bukanlah perkara mudah. Dasar sungai yang licin dan arus deras membuat keseimbanganku goyah. Seorang pemandu yang tadi membantuku berangkat buru-buru mengulurkan tangannya padaku. Susah-payah aku berdiri.

Deg-degan? Iya.

Tapi adrenalin menyembur kuat sehingga aku nyengir saja ketika si pemandu bertanya apakah aku baik-baik saja.

Wow. Sungai Amprong mengucapkan selamat datang padaku.

Air sungai menggelegak di sekitarku. Arus air tidak melulu lurus, seringkali berpusar, sehingga tidak jarang posisi dudukku membelakangi arus. Ini posisi rawan karena kita tidak bisa memprediksi ada hambatan apa di depan.

Benar saja, dua ratus meter dari posisi terbalikku yang pertama, banku terbalik lagi. Kali ini aku sudah lebih siap, dan segera mencari pijakan kaki untuk berdiri. Tetap saja tidak mudah karena derasnya arus sungai.

Sepanjang perjalanan, rombongan kami tidak terlepas dari dampingan pemandu. Bahkan di jeram-jeram yang dianggap berbahaya, beberapa pemandu sudah siap sedia untuk “menangkap” dan mengarahkan kami ke wilayah yang aman.

Namun tetap saja keberadaan pemandu tidak menghalangiku untuk terbalik yang ketiga kalinya. Kali ini banku terbalik di tempat yang tergolong berbahaya karena tinggi jeram sekitar satu meter dengan batu-batu besar di sana-sini. Aku berusaha berdiri, tapi kakiku tidak menemukan pijakan. Aku terpeleset beberapa kali dan sempat terbawa arus. Seorang pemandu mati-matian berusaha menarikku ke tepian sambil berteriak-teriak, “Jangan panik, Mbak! Jangan panik!”

“Aku nggak panik, Mas! Sumprit aku nggak panik!” balasku.

Ini sebenarnya siapa sih yang panik? batinku. Enggak jelas…



It's fun! Fun! Fun!

Rasanya hanya aku anggota rombongan kami yang mengalami ban terbalik sampai 3 kali. Kalau dipikir-pikir sekarang, mungkin seharusnya waktu itu aku panik. Tapi aku tidak merasakan apa-apa selain kesenangan dan kegairahan yang luar biasa. Jantung berdebar kencang, tapi bukan karena ketakutan, namun karena antisipasi. Setiap jeram, setiap kelokan, setiap pusaran, menawarkan kegembiraan yang bikin kecanduan.

Aku tidak pernah naik roller-coaster dan wahana permainan sejenis (jujur, aku juga tidak ingin naik), namun aku berani bertaruh, main air seperti ini LEBIH menyenangkan. 

Karena itu, ketika tiba di titik finish, aku menyesal juga. Yaaa… kok udahan?



Finish!

Setelah mandi di kamar mandi umum yang tersedia (airnya segaaarrr…), pihak pengelola sudah menyediakan gorengan dan teh hangat. Makan siang sederhana dihidangkan dalam kotak Styrofoam, terdiri dari nasi, sepotong paha ayam goreng, mi goreng, dan oseng-oseng tempe.

Kesenangan mengarungi sungai membuat kami yang baru saling kenal menjadi lebih cair. Mulai ada obrolan ringan dan candaan yang dilontarkan sambil makan siang. Mulai ada pembicaraan untuk menjajal nyali lagi di kemudian hari.

Namun kami harus berpisah jalan. Odren dan rekan-rekannya hendak meneruskan langkah ke Gunungsari Sunset, sementara aku dan Juno langsung pulang. Mereka sempat mengajakku bergabung, namun bagiku, sudah cukup seharian itu aku “extroverting”. Saatnya recharge di rumah sebelum kembali ke peradaban manusia lagi esoknya.

Ketika kami beranjak, waktu belum lagi menunjukkan pukul 12 siang. Sebuah rombongan berisi bapak-bapak berperawakan kekar baru saja turun dari kendaraan. Tampaknya mereka juga akan menyusuri sungai, river tubing seperti kami.

Selamat berbasah-basah ya, Bapak-Bapak. Kalau terbalik, jangan panik!








9 komentar:

  1. .. kok sempat-sempatnya sih ngukur jarak tkp pertama terbalik dan tkp terbalik selanjutnya
    .
    .
    next trip ..
    .
    tubing again .. in Dampit City

    BalasHapus
    Balasan
    1. yo sempatlah...
      karena setiap momen terbalik itu feel-nya beda.

      maen aer lagi?
      hayooooookkkkk...

      Hapus
  2. Waahhh klo mendengar tulisanmu mb sus......sepertinya ini tantangan 😜😜

    BalasHapus
  3. Waahhh klo mendengar tulisanmu mb sus......sepertinya ini tantangan 😜😜

    BalasHapus
  4. informasi dan cerita, membuat pingin kesana he he

    BalasHapus
    Balasan
    1. monggo, Pak...
      cocok buat refreshing.

      matur nuwun sudah mampir...

      Hapus
  5. Baru nyobain river tubing yg d Sumber Maron. Seraaam. Mungkin lain kali klo udh ilang trauma nya, bisa kesini.

    Nice story Mbak ^_^

    BalasHapus