Minggu, 21 Mei 2017

[FILM] AKU, ANAKKU, DAN CRITICAL ELEVEN



"Aku pengen nonton Critical Eleven, Bu. Nggak apa-apa kalau Ibu pengen nonton yang lain. Kita nonton beda studio saja."


Beneran, nih? Anakku, fans berat sutradara Quentin Tarantino dan Chris Nolan, mendadak ingin nonton Critical Eleven?
Maaf, bukan berarti aku merendahkan film hasil karya anak bangsa. Tak bisa dipungkiri, makin banyak film produksi Indonesia yang berkualitas. Namun mengingat film Indonesia terakhir yang lekat di hati anakku adalah Tabula Rasa, maka aku berasumsi anakku hanya menggemari film Indonesia dengan genre sejenis.
Maka, tak heran bila permintaannya kali ini cukup membikin aku kaget.
"Kan penulisnya Ika Natassa, Bu," jawabnya ketika kutanya.
Oke... aku mulai paham. Ika Natassa adalah salah satu dari sedikit penulis Indonesia yang bukunya dibaca anakku.
Maka jadilah sore ini aku duduk manis di samping anakku dalam kegelapan gedung bioskop, menonton film yang dibintangi Reza Rahardian dan Adinia Wirasti ini, dan melepaskan kesempatan menonton Alien Covenant dan King Arthur yang sebenarnya lebih ingin kutonton. Aku penasaran, apa yang bikin anakku, remaja pria yang cowok banget, ingin menonton film drama ini?
Nyaris sepanjang film, ia duduk menempel padaku, membisikkan berbagai komentar. Seperti dulu ketika kami menonton Tabula Rasa.
Komentar pertamanya muncul pada scene akad nikah Ale dan Tanya.
"Bu," bisiknya, "nanti aku ingin akad nikah seperti itu."
"Garden party seperti itu?" tanyaku agak jengah. Aku hanya pernah mendengar celetukan seperti itu keluar dari mulut anak perempuan, bukan dari anak lelaki. Sepengetahuanku, hanya anak perempuan yang ambil pusing tentang acara pernikahan.
Anakku menggeleng. "Bukan pestanya. Aku pengen yang datang nanti orang-orang yang dekat sama aku aja, nggak usah banyak orang."
Oh, oke...
Aku jadi tersentuh. Pengalaman hidupnya membuat tak banyak orang yang dekat dengan anakku. Maka tak urung aku jadi bertanya-tanya, siapa orang-orang yang dianggap dekat olehnya? Teman sekolah? Kerabat? Apakah papanya termasuk dalam kategori itu?
Cukup lama kami berbisik-bisik mengomentari adegan akad nikah itu, hingga tanpa terasa adegan beralih ke kehidupan Ale dan Tanya di New York.
"Tapi, Mas," bisikku, "Ibu masih pengen jalan-jalan sama kamu di New York. Jangan menikah dulu."
"Tokyo dulu Bu, kita ke Tokyo dulu sebelum ke New York."
Ah, rupanya anakku masih ingat janji kami untuk jalan-jalan berdua ke Tokyo, kalau ada rezeki. Aku jadi terharu. Rupanya di tengah segala kesibukannya, ketika aku merasa dia sudah tak terlalu membutuhkanku, bepergian bersama ibunya masih jadi prioritas buat anakku, ke mana pun itu.
"Bu, lihat tuh," bisiknya sambil menunjuk layar, "ada Harris Risjad."
Harris Risjad adalah tokoh favorit anakku dalam novel Ika Natassa yang berjudul "Antologi Rasa." Lelaki tampan, playboy kelas berat, yang bertekuk lutut di hadapan Keara, perempuan yang mencintai lelaki lain. Perjuangan Harris untuk "kembali ke jalan yang benar" rupanya membuat anakku terkesan, hingga "Antologi Rasa" menjadi salah satu dari sedikit buku yang dibacanya lebih dari sekali.
"Ale ini kakaknya Harris," tambahnya.
Ketika adegan Tanya bimbang karena diajak kembali ke Indonesia oleh Ale, dan karenanya harus melepaskan pekerjaan yang baru dirintisnya di New York, ganti aku yang berbisik, "Ini dilema perempuan bekerja, Mas. Memilih antara ikut suami atau karir. Suatu ketika nanti, kalau Ibu menikah lagi, pilihan seperti ini pasti muncul."
Ia mengangguk.
Aku tak ingin menakut-nakuti anakku. Aku hanya ingin dia memahami betapa kompleks dunia perempuan, betapa banyak pilihan yang harus diambil, supaya dia lebih bisa memahami istrinya kelak.
Setelah itu lama ia terdiam. Sesekali kulirik dia. Pandangannya terpaku ke layar, menonton konflik Ale-Tanya dengan penuh perhatian. Sebagai penggemar berat film, biasanya dia sangat cerewet terhadap hal-hal yang bersifat teknis. Musiknya tidak paslah, ceritanya terlalu bertele-telelah, pemainnya kurang naturallah, dan lain-lain, dan sebagainya.
Aku sudah bersiap-siap mendengar komentar-komentar seperti itu, namun yang keluar dari mulutnya hanyalah, "Musiknya monoton."
Lalu apa yang membuatnya terpaku seperti itu?
Lama kemudian aku baru menyadari: anakku sedang belajar.
Tentunya bukan belajar tentang dunia sinematografi.
Anakku sedang belajar tentang bagaimana menjadi laki-laki dewasa. Sebagai lelaki yang hanya dibesarkan oleh ibu, anakku itu sulit menemukan lelaki dewasa yang bisa menjadi acuan baginya. Ada jurang perbedaan usia yang terlalu jauh antara anakku dengan kakeknya (yang tinggal serumah dengannya), sehingga kakeknya tidak dapat mengikuti perkembangan jaman. Anakku itu juga tidak dekat dengan pamannya, suami adikku, laki-laki dewasa lain yang tinggal dekat dengannya. Padahal semakin bertambah usianya, tampaknya ia makin ingin tahu. Jadilah ia belajar lewat sumber apapun yang bisa dijangkaunya. Dengan berat hati, aku bisa mengerti.
Walaupun tidak dapat digunakan sebagai sumber belajar yang sahih, Critical Eleven menunjukkan bahwa lelaki sangat boleh rapuh. Lelaki sangat boleh menangis. Lelaki sangat bisa sedih. Lelaki tidak harus selalu kuat. Lelaki harus sayang istri.
Sosok Ale dalam Critical Eleven sangat dekat dengan impian anakku: lelaki urban yang sukses, berpendidikan tinggi, berkarir cemerlang, hidup di kota-kota besar di seluruh dunia. Ia ingin seperti Ale kelak. Ale menunjukkan pada anakku bahwa lelaki, sesempurna apapun hidupnya, tetaplah manusia biasa, bukan mahluk super. Tetap boleh sedih, tetap boleh menangis, tetap bisa terluka.
Hal-hal itu sesungguhnya bukan hal asing bagi anakku. Akupun sudah sering "menguliahi" anakku tentang menjadi dewasa. Harus begini, harus begitu. Jangan begini, jangan begitu. Namun melihat sendiri sisi emosional lelaki, sisi yang "tidak macho", ini bisa diterima dalam media populer tentu menghasilkan efek yang lebih mendalam.
Kami meninggalkan bioskop dalam diam, larut dalam pikiran masing-masing. Mau tak mau aku harus mengakui, Critical Eleven adalah selingan menarik dalam daftar wajib tonton kami yang biasanya tidak jauh-jauh dari genre action.
"Bu," celetuk anakku tiba-tiba, "sebenarnya tadi adegan pas mereka barusan pindah ke New York tuh terlalu panjang...
Oh, oke... ayo sekarang ganti topik...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar