"Aku
pengen nonton Critical Eleven, Bu.
Nggak apa-apa kalau Ibu pengen nonton yang lain. Kita nonton beda studio saja."
Beneran,
nih? Anakku, fans berat sutradara Quentin Tarantino dan Chris Nolan, mendadak
ingin nonton Critical Eleven?
Maaf,
bukan berarti aku merendahkan film hasil karya anak bangsa. Tak bisa
dipungkiri, makin banyak film produksi Indonesia yang berkualitas. Namun mengingat
film Indonesia terakhir yang lekat di hati anakku adalah Tabula Rasa, maka aku berasumsi anakku hanya menggemari film
Indonesia dengan genre sejenis.
Maka,
tak heran bila permintaannya kali ini cukup membikin aku kaget.
"Kan
penulisnya Ika Natassa, Bu," jawabnya ketika kutanya.
Oke...
aku mulai paham. Ika Natassa adalah salah satu dari sedikit penulis Indonesia
yang bukunya dibaca anakku.
Maka
jadilah sore ini aku duduk manis di samping anakku dalam kegelapan gedung
bioskop, menonton film yang dibintangi Reza Rahardian dan Adinia Wirasti ini,
dan melepaskan kesempatan menonton Alien
Covenant dan King Arthur yang
sebenarnya lebih ingin kutonton. Aku penasaran, apa yang bikin anakku, remaja
pria yang cowok banget, ingin menonton film drama ini?
Nyaris
sepanjang film, ia duduk menempel padaku, membisikkan berbagai komentar.
Seperti dulu ketika kami menonton Tabula Rasa.
Komentar
pertamanya muncul pada scene akad
nikah Ale dan Tanya.
"Bu,"
bisiknya, "nanti aku ingin akad nikah seperti itu."
"Garden party seperti itu?" tanyaku
agak jengah. Aku hanya pernah mendengar celetukan seperti itu keluar dari mulut
anak perempuan, bukan dari anak lelaki. Sepengetahuanku, hanya anak perempuan
yang ambil pusing tentang acara pernikahan.
Anakku
menggeleng. "Bukan pestanya. Aku pengen yang datang nanti orang-orang yang
dekat sama aku aja, nggak usah banyak orang."
Oh,
oke...
Aku
jadi tersentuh. Pengalaman hidupnya membuat tak banyak orang yang dekat dengan
anakku. Maka tak urung aku jadi bertanya-tanya, siapa orang-orang yang dianggap
dekat olehnya? Teman sekolah? Kerabat? Apakah papanya termasuk dalam kategori
itu?
Cukup
lama kami berbisik-bisik mengomentari adegan akad nikah itu, hingga tanpa
terasa adegan beralih ke kehidupan Ale dan Tanya di New York.
"Tapi,
Mas," bisikku, "Ibu masih pengen jalan-jalan sama kamu di New York.
Jangan menikah dulu."
"Tokyo
dulu Bu, kita ke Tokyo dulu sebelum ke New York."
Ah,
rupanya anakku masih ingat janji kami untuk jalan-jalan berdua ke Tokyo, kalau
ada rezeki. Aku jadi terharu. Rupanya di tengah segala kesibukannya, ketika aku
merasa dia sudah tak terlalu membutuhkanku, bepergian bersama ibunya masih jadi
prioritas buat anakku, ke mana pun itu.
"Bu,
lihat tuh," bisiknya sambil menunjuk layar, "ada Harris Risjad."
Harris
Risjad adalah tokoh favorit anakku dalam novel Ika Natassa yang berjudul "Antologi
Rasa." Lelaki tampan, playboy
kelas berat, yang bertekuk lutut di hadapan Keara, perempuan yang mencintai
lelaki lain. Perjuangan Harris untuk "kembali ke jalan yang benar"
rupanya membuat anakku terkesan, hingga "Antologi Rasa" menjadi salah
satu dari sedikit buku yang dibacanya lebih dari sekali.
"Ale
ini kakaknya Harris," tambahnya.
Ketika
adegan Tanya bimbang karena diajak kembali ke Indonesia oleh Ale, dan karenanya
harus melepaskan pekerjaan yang baru dirintisnya di New York, ganti aku yang
berbisik, "Ini dilema perempuan bekerja, Mas. Memilih antara ikut suami
atau karir. Suatu ketika nanti, kalau Ibu menikah lagi, pilihan seperti ini
pasti muncul."
Ia
mengangguk.
Aku
tak ingin menakut-nakuti anakku. Aku hanya ingin dia memahami betapa kompleks
dunia perempuan, betapa banyak pilihan yang harus diambil, supaya dia lebih
bisa memahami istrinya kelak.
Setelah
itu lama ia terdiam. Sesekali kulirik dia. Pandangannya terpaku ke layar,
menonton konflik Ale-Tanya dengan penuh perhatian. Sebagai penggemar berat
film, biasanya dia sangat cerewet terhadap hal-hal yang bersifat teknis.
Musiknya tidak paslah, ceritanya terlalu bertele-telelah, pemainnya kurang
naturallah, dan lain-lain, dan sebagainya.
Aku
sudah bersiap-siap mendengar komentar-komentar seperti itu, namun yang keluar
dari mulutnya hanyalah, "Musiknya monoton."
Lalu
apa yang membuatnya terpaku seperti itu?
Lama
kemudian aku baru menyadari: anakku sedang belajar.
Tentunya
bukan belajar tentang dunia sinematografi.
Anakku
sedang belajar tentang bagaimana menjadi laki-laki dewasa. Sebagai lelaki yang
hanya dibesarkan oleh ibu, anakku itu sulit menemukan lelaki dewasa yang bisa
menjadi acuan baginya. Ada jurang perbedaan usia yang terlalu jauh antara
anakku dengan kakeknya (yang tinggal serumah dengannya), sehingga kakeknya
tidak dapat mengikuti perkembangan jaman. Anakku itu juga tidak dekat dengan
pamannya, suami adikku, laki-laki dewasa lain yang tinggal dekat dengannya. Padahal
semakin bertambah usianya, tampaknya ia makin ingin tahu. Jadilah ia belajar
lewat sumber apapun yang bisa dijangkaunya. Dengan berat hati, aku bisa
mengerti.
Walaupun
tidak dapat digunakan sebagai sumber belajar yang sahih, Critical Eleven menunjukkan bahwa lelaki sangat boleh rapuh. Lelaki sangat
boleh menangis. Lelaki sangat bisa
sedih. Lelaki tidak harus selalu
kuat. Lelaki harus sayang istri.
Sosok
Ale dalam Critical Eleven sangat
dekat dengan impian anakku: lelaki urban yang sukses, berpendidikan tinggi,
berkarir cemerlang, hidup di kota-kota besar di seluruh dunia. Ia ingin seperti
Ale kelak. Ale menunjukkan pada anakku bahwa lelaki, sesempurna apapun
hidupnya, tetaplah manusia biasa, bukan mahluk super. Tetap boleh sedih, tetap
boleh menangis, tetap bisa terluka.
Hal-hal
itu sesungguhnya bukan hal asing bagi anakku. Akupun sudah sering
"menguliahi" anakku tentang menjadi dewasa. Harus begini, harus
begitu. Jangan begini, jangan begitu. Namun melihat sendiri sisi emosional
lelaki, sisi yang "tidak macho",
ini bisa diterima dalam media populer tentu menghasilkan efek yang lebih
mendalam.
Kami
meninggalkan bioskop dalam diam, larut dalam pikiran masing-masing. Mau tak mau
aku harus mengakui, Critical Eleven
adalah selingan menarik dalam daftar wajib tonton kami yang biasanya tidak
jauh-jauh dari genre action.
"Bu,"
celetuk anakku tiba-tiba, "sebenarnya tadi adegan pas mereka barusan
pindah ke New York tuh terlalu panjang...
Oh,
oke... ayo sekarang ganti topik...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar