Kamis, 06 Juli 2017

[IT'S MY LIFE] SAMPAI JILATAN TERAKHIR

Warning: ini bukan artikel pencitraan. Jadi permintaan “no proof = hoax” tidak dapat dipenuhi.


Saya tidak bisa memasak.

Well, dulunya tidak bisa memasak.

Sekarang?

Bisalah, walaupun tidak bisa dibandingkan dengan sahabat saya, Lis Suwasono, yang lebih teruji  soal masak-memasak sejak jaman masih sekolah.

Ibu saya memang bukan ibu yang mainstream. Ketika ibu-ibu lain selalu mendorong anak-anak perempuannya untuk belajar hal-hal yang sifatnya kewanitaan, ibu saya tidak. Baginya, lebih penting anak-anaknya (yang kebetulan semua perempuan) mendapat nilai bagus di sekolah daripada bisa memasak, menjahit, dan lain-lain. Prinsip ibu saya, perempuan harus mandiri. Kemandirian itu bisa dicapai bila perempuan tidak tergantung secara finansial dari laki-laki. Karena itu, sejak kecil saya dan adik selalu didorong untuk sekolah setinggi-tingginya, lalu bekerja.

Melihat anak-anaknya menjadi perempuan karir adalah cita-cita ibu saya, dan satu-satunya pilihan hidup kami, anak-anaknya.

Karena itu, sampai usia belasan tahun saya hanya bisa bikin mie instan. Paling pol, saya bikin mie instan pakai telur, dicemplungi sawi. Sudah. Itu saja.

Saya tidak pernah merasa perlu belajar memasak karena saya selalu berpikir, kalau saya sudah bekerja, saya bisa membayar asisten rumah tangga yang bisa memasak untuk saya.

Tapi hidup ternyata tidak selalu berjalan seperti yang direncanakan manusia. Saya menikah ketika masih sangat muda. Belum bekerja, sehingga bayangan untuk punya asisten rumah tangga sendiri terpaksa dibuang jauh-jauh.

Lagi-lagi saya tidak terpikir untuk belajar memasak karena (mantan) suami saya jago memasak. Dia berambisi menjadi chef, jadi segala urusan dapur dilalap habis olehnya.

Harapan tinggal harapan, karena sampai kami berpisah, dia tak pernah memasak untuk saya dan putra kami.

Kok ya ndilalah, ketika saatnya diberi makanan pengganti ASI, si anak lanang kami ini  ternyata picky eater. Pilih-pilih kalau makan, dan terutama TIDAK MAU makanan bayi yang bentuknya instan. Segala bentuk bubur ditolak. Hanya diemut, lalu diludahkan. Akibatnya, dia hanya mau minum susu.

Saya pusing. Ibu saya yang saya curhati juga pusing. Hingga suatu saat, ibu saya nyeletuk, “Coba kamu yang masak. Siapa tahu kalau kamu yang masak, dia mau makan.”

Sejak itu saya mulai belajar memasak makanan bayi, yang berarti termasuk menyaring nasi, memodifikasi sayuran supaya tidak kelihatan seperti sayur, menyaring buah untuk diambil sarinya, dan lain-lain. Semua secara manual. Kenapa tidak pakai food processor? Ya jelas tidak pakai, wong tidak punya. Uangnya dipakai untuk beli susu bayi.

Lumayan, saya mulai bisa memasak makanan berkuah, macam sayur bening, macam-macam sop, dan soto. Hanya itu, karena si anak lanang maunya juga cuma makanan yang berkuah.

Oh, dan tempe. Sejak kenal tempe waktu mulai diberi makanan padat, si anak lanang cinta mati pada makanan berbahan kedelai ini. Tapi hanya tempe goreng, bukan yang dimasak macam-macam.

Alhamdulillah, si anak lanang mulai mau makan banyak. Banyak ini maksudnya BANYAK. Bisa makan berkali-kali. Dengan catatan: saya yang memasak. Jangan bayangkan saya jago memasak seperti ibu-ibu lain, karena saya hanya bisa memasak masakan yang disukai si anak lanang saja. Itupun saya kuatir rasanya enggak jelas. Nggak ngalor nggak ngidul, kata ibu saya.

Lha kenapa si anak lanang doyan masakan ibunya ini?

Jujur saja, sampai sekarang saya tidak tahu.

Apakah karena saya marah-marah kalau masakan saya tidak dihabiskan?

Jelas tidak, karena saya ibu yang sangat cool, dan ngomel = tidak cool.

Percayalah. Tanya anak saya. Dia malah suka bingung karena saya tidak pernah ngomel seperti ibu teman-temannya yang lain.

Ketika umurnya bertambah, si anak lanang mulai kenal macam-macam nugget dan sosis. Saya jadi agak tertolong. Tapi tetap saja pilihan makanannya terbatas, dan tempe tetap tidak boleh ketinggalan.

Ketika masuk SMP, dia mulai suka makan tempe penyet. Saya nyaris sujud syukur saking senangnya. Sungguh. Bukan perkara gampang memilihkan menu untuk anak yang picky eater. Memang dia tidak rewel, dalam artian, bila dia tidak berselera pada masakan di rumah, dia cukup makan nasi lauk tempe goreng plus kecap. Tapi tetap saja, saya jadi kepikiran.

Sejak episode tempe penyet, dia mulai terbuka pada pilihan menu lain. Dan terutama, sudah tidak terlalu tergantung pada masakan ibunya ini. Alhamdulillah, karena pekerjaan saya semakin banyak menyita waktu dan tenaga, sehingga saya kuatir tidak maksimal di dapur (halah).

Sekarang saya sudah jarang sekali masuk dapur, kecuali si anak lanang minta dimasakkan sesuatu. No worries, karena permintaannya juga tidak pernah aneh-aneh. Paling-paling minta dibuatkan tempe penyet dan digorengkan telur. Atau dibikinkan mie kuah. Sudah.

Sebagai ibu yang baik, pantang bagi saya menolak permintaannya. Toh tidak setiap makan dia minta dimasakkan. Jadi walaupun capek, ngantuk, dan lain-lain, saya tetap masuk dapur.

Mengingat sudah jarang memasak, apakah kualitas masakan saya menurun menurut si anak lanang?

Tidak juga.

Ada 3 kategori reaksi anak lanang yang bisa saya gunakan sebagai patokan untuk menilai apresiasinya terhadap hasil masakan saya.

Pertama, makanan habis. Berarti masakan saya oke.

Kedua, piring bersih. Berarti masakan saya enak. Apalagi kalau sampai kuahnya juga habis.

Ketiga, dan terutama, kalau dia sampai menjilati piring atau mangkok yang dipakainya. Ini penghargaan tertinggi dari si anak lanang terhadap masakan ibunya. Berarti masakan saya juara.

Jijik?

Tidak.

Action speaks louder than words. Anak saya yang memang irit bicara itu sudah menunjukkan apresiasinya lebih lantang dari kata-kata.

Saya tidak perlu penghargaan Michelin sebagai bukti kepiawaian saya di dapur.

Saya sudah menjadi chef terbaik di dunia.









4 komentar:

  1. Ada bagian yang perlu diralat ituuu... Lis Suwasono bukan jawara masak, tapi cuma sekadar bisa-bisaan doang. Tenan lho, mu'un diper-ralat nggiiih...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah diralat.
      Semoga berkenan, karena emang dirimu lebih teruji soal masak-memasak daripada dirikuhh...

      Hapus
  2. gak perlu belajar masak sudah ada aekuk mbak.... tinggal cemplung cemplung doang.... kayak mie instan....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aekuk kan adanya baru sekarang, Andriiiii...
      Lagian, aku beli aekuk kan supaya si Juno bisa masak sendiri.

      #emakpemalas

      Hapus