Warning:
ini bukan artikel pencitraan. Jadi permintaan “no proof = hoax” tidak dapat dipenuhi.
Saya tidak bisa memasak.
Well,
dulunya tidak bisa memasak.
Sekarang?
Bisalah, walaupun tidak bisa
dibandingkan dengan sahabat saya, Lis Suwasono, yang lebih teruji soal masak-memasak sejak jaman masih sekolah.
Ibu saya memang bukan ibu
yang mainstream. Ketika ibu-ibu lain
selalu mendorong anak-anak perempuannya untuk belajar hal-hal yang sifatnya
kewanitaan, ibu saya tidak. Baginya, lebih penting anak-anaknya (yang kebetulan
semua perempuan) mendapat nilai bagus di sekolah daripada bisa memasak,
menjahit, dan lain-lain. Prinsip ibu saya, perempuan harus mandiri. Kemandirian
itu bisa dicapai bila perempuan tidak tergantung secara finansial dari
laki-laki. Karena itu, sejak kecil saya dan adik selalu didorong untuk sekolah
setinggi-tingginya, lalu bekerja.
Melihat anak-anaknya menjadi
perempuan karir adalah cita-cita ibu saya, dan satu-satunya pilihan hidup kami, anak-anaknya.
Karena itu, sampai usia
belasan tahun saya hanya bisa bikin mie instan. Paling pol, saya bikin mie
instan pakai telur, dicemplungi sawi.
Sudah. Itu saja.
Saya tidak pernah merasa
perlu belajar memasak karena saya selalu berpikir, kalau saya sudah bekerja,
saya bisa membayar asisten rumah tangga yang bisa memasak untuk saya.
Tapi hidup ternyata tidak
selalu berjalan seperti yang direncanakan manusia. Saya menikah ketika masih
sangat muda. Belum bekerja, sehingga bayangan untuk punya asisten rumah tangga
sendiri terpaksa dibuang jauh-jauh.
Lagi-lagi saya tidak
terpikir untuk belajar memasak karena (mantan) suami saya jago memasak. Dia
berambisi menjadi chef, jadi segala
urusan dapur dilalap habis olehnya.
Harapan tinggal harapan,
karena sampai kami berpisah, dia tak pernah memasak untuk saya dan putra kami.
Kok ya ndilalah, ketika saatnya diberi makanan pengganti ASI, si anak
lanang kami ini ternyata picky eater. Pilih-pilih kalau makan,
dan terutama TIDAK MAU makanan bayi yang bentuknya instan. Segala bentuk bubur
ditolak. Hanya diemut, lalu diludahkan. Akibatnya, dia hanya mau minum susu.
Saya pusing. Ibu saya yang
saya curhati juga pusing. Hingga suatu saat, ibu saya nyeletuk, “Coba kamu yang
masak. Siapa tahu kalau kamu yang masak, dia mau makan.”
Sejak itu saya mulai belajar
memasak makanan bayi, yang berarti termasuk menyaring nasi, memodifikasi
sayuran supaya tidak kelihatan seperti sayur, menyaring buah untuk diambil
sarinya, dan lain-lain. Semua secara manual. Kenapa tidak pakai food processor? Ya jelas tidak pakai, wong tidak punya. Uangnya dipakai untuk
beli susu bayi.
Lumayan, saya mulai bisa
memasak makanan berkuah, macam sayur bening, macam-macam sop, dan soto. Hanya itu,
karena si anak lanang maunya juga cuma makanan yang berkuah.
Oh, dan tempe. Sejak kenal
tempe waktu mulai diberi makanan padat, si anak lanang cinta mati pada makanan
berbahan kedelai ini. Tapi hanya tempe goreng, bukan yang dimasak macam-macam.
Alhamdulillah, si anak
lanang mulai mau makan banyak. Banyak ini maksudnya BANYAK. Bisa makan
berkali-kali. Dengan catatan: saya yang memasak. Jangan bayangkan saya jago
memasak seperti ibu-ibu lain, karena saya hanya bisa memasak masakan yang
disukai si anak lanang saja. Itupun saya kuatir rasanya enggak jelas. Nggak ngalor nggak ngidul, kata ibu
saya.
Lha kenapa si anak lanang
doyan masakan ibunya ini?
Jujur saja, sampai sekarang
saya tidak tahu.
Apakah karena saya
marah-marah kalau masakan saya tidak dihabiskan?
Jelas tidak, karena saya ibu
yang sangat cool, dan ngomel = tidak cool.
Percayalah. Tanya anak saya.
Dia malah suka bingung karena saya tidak pernah ngomel seperti ibu teman-temannya
yang lain.
Ketika umurnya bertambah, si
anak lanang mulai kenal macam-macam nugget
dan sosis. Saya jadi agak tertolong. Tapi tetap saja pilihan makanannya
terbatas, dan tempe tetap tidak boleh ketinggalan.
Ketika masuk SMP, dia mulai
suka makan tempe penyet. Saya nyaris sujud syukur saking senangnya. Sungguh. Bukan
perkara gampang memilihkan menu untuk anak yang picky eater. Memang dia tidak rewel, dalam artian, bila dia tidak
berselera pada masakan di rumah, dia cukup makan nasi lauk tempe goreng plus
kecap. Tapi tetap saja, saya jadi kepikiran.
Sejak episode tempe penyet,
dia mulai terbuka pada pilihan menu lain. Dan terutama, sudah tidak terlalu
tergantung pada masakan ibunya ini. Alhamdulillah, karena pekerjaan saya
semakin banyak menyita waktu dan tenaga, sehingga saya kuatir tidak maksimal di
dapur (halah).
Sekarang saya sudah jarang
sekali masuk dapur, kecuali si anak lanang minta dimasakkan sesuatu. No worries, karena permintaannya juga
tidak pernah aneh-aneh. Paling-paling minta dibuatkan tempe penyet dan
digorengkan telur. Atau dibikinkan mie kuah. Sudah.
Sebagai ibu yang baik,
pantang bagi saya menolak permintaannya. Toh tidak setiap makan dia minta
dimasakkan. Jadi walaupun capek, ngantuk, dan lain-lain, saya tetap masuk
dapur.
Mengingat sudah jarang
memasak, apakah kualitas masakan saya menurun menurut si anak lanang?
Tidak juga.
Ada 3 kategori reaksi anak
lanang yang bisa saya gunakan sebagai patokan untuk menilai apresiasinya
terhadap hasil masakan saya.
Pertama, makanan habis. Berarti
masakan saya oke.
Kedua, piring bersih. Berarti
masakan saya enak. Apalagi kalau sampai kuahnya juga habis.
Ketiga, dan terutama, kalau
dia sampai menjilati piring atau mangkok yang dipakainya. Ini penghargaan
tertinggi dari si anak lanang terhadap masakan ibunya. Berarti masakan saya juara.
Jijik?
Tidak.
Action
speaks louder than words. Anak saya yang memang irit bicara itu
sudah menunjukkan apresiasinya lebih lantang dari kata-kata.
Saya tidak perlu penghargaan
Michelin sebagai bukti kepiawaian
saya di dapur.
Saya sudah menjadi chef terbaik di dunia.
Ada bagian yang perlu diralat ituuu... Lis Suwasono bukan jawara masak, tapi cuma sekadar bisa-bisaan doang. Tenan lho, mu'un diper-ralat nggiiih...
BalasHapusSudah diralat.
HapusSemoga berkenan, karena emang dirimu lebih teruji soal masak-memasak daripada dirikuhh...
gak perlu belajar masak sudah ada aekuk mbak.... tinggal cemplung cemplung doang.... kayak mie instan....
BalasHapusAekuk kan adanya baru sekarang, Andriiiii...
HapusLagian, aku beli aekuk kan supaya si Juno bisa masak sendiri.
#emakpemalas