Panggilan
sayang ternyata bisa berevolusi.
Sejak
lahir aku selalu membiasakan anakku memanggil orang tuaku dengan panggilan Kung
(Eyang Kakung, atau kakek dalam bahasa Jawa) dan Uti (Eyang Putri, atau nenek
dalam bahasa Jawa). Adikku minta dipanggil Aunty.
Untuk
aku dan papanya, tentu saja Mama dan Papa.
Ketika
adikku menikah, suaminya dipanggil Om.
Semua
itu berubah seminggu setelah anak lanangku itu duduk di kelas satu SD. Tiba-tiba
saja dengan entengnya ia mengganti panggilan sayang dalam keluarga. Kung dan
Uti jadi Kakek dan Nenek. Aunty dan
Om jadi Bibi dan Paman.
Ketika
ditanya alasannya, ia menjawab, “Soalnya di sekolah diajarinya begitu.”
Walaupun
tampak sepele, ganti panggilan itu ternyata berdampak besar bagi keluarga besar
kami. Apalagi kemudian sepupu-sepupunya (anak-anak adikku) ikut-ikutan
memanggil mereka “Kakek dan Nenek”. Walaupun orang tuaku, plus adikku dan
suaminya, tak mempermasalahkan soal itu, keluarga besar kami “tidak terima.” Sebagai
keluarga besar yang bangga terhadap tradisi, panggilan “Kakek dan Nenek”
dianggap tidak sopan oleh beberapa sesepuh.
“Kalau
Eyang ya Eyang. Mana ada aturannya ganti panggilan jadi Kakek? Wong bapakmu
masih ganteng begitu kok mau-maunya dipanggil Kakek. Nanti jadi kakek-kakek beneran lho...” protes mereka padaku. “Juno
itu apa nggak pernah kamu ajari tata krama, to?”
Sebagai
ibu yang sudah paham benar keunikan anakku itu, aku cuma nyengir pasrah saja.
Jadilah
panggilan itu menjadi topik hangat selama beberapa edisi pertemuan keluarga
besar, baik sebagai bahan diskusi serius, bahan cibiran, maupun bahan candaan.
Saya?
Sekali lagi pasrah saja.
Mau
apa lagi, wong namanya anak...
Sambil
agak heran juga, kenapa panggilan untuk kami, orang tuanya, tetap Papa dan
Mama.
Sampai
detik ini panggilan sayang itu tetap bertahan. Kakek dan Nenek. Paman dan Bibi.
Kecuali
panggilan untukku.
Yup,
sejak tahun ajaran baru 2015, panggilan sayang untukku berubah. Tidak lagi “Mama”
tapi berubah menjadi “Ibu”.
Tak
cuma itu. Tiap kali anakku itu memanggilku, selalu dengan akhiran “uu” dengan lafal
sempurna sehingga kedengarannya menjadi “Ibuu...”, bukan “Ibuk” seperti kebanyakan
orang.
Benar-benar
terdengar merdu di telinga.
Kali
ini, bila ditanya alasannya, dia tak mau menjawab kenapa.
Apakah
mungkin karena ASI adalah singkatan dari Air Susu Ibu, sehingga kalau panggilan
Mama singkatannya berubah menjadi ASMA, dan kalau Simbok maka singkatannya
menjadi ASIMBOK?
Asudahlah...
Tadinya
kukira hanya anakku saja yang seperti itu. Tak dinyana keponakanku yang nomor tiga juga
berpotensi unik yang sama.
Sejak
bocah lelaki ini punya adik, dia menolak dipanggil “Mas” atau “Kakak” oleh
adiknya.
Dia
hanya mau dipanggil “Masbro”, walaupun neneknya sangat keberatan cucunya
memanggil diri sendiri “Masbro”.
Jadilah
kalau pagi terdengar panggilan ajaib itu, “Masbro Didzaaaaannn... ayo
mandiiiiii...”
Naga-naganya
kami masih akan mengalami evolusi panggilan sayang ini hingga waktu yang tidak
dapat ditentukan.
Yah,
asal aku tidak dipanggil “mBro” oleh keponakanku itu, aku sih asyik-asyik
aja...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar