Kamis, 20 Juli 2017

[IT'S MY LIFE] PANGGILAN SAYANG

Panggilan sayang ternyata bisa berevolusi.


Sejak lahir aku selalu membiasakan anakku memanggil orang tuaku dengan panggilan Kung (Eyang Kakung, atau kakek dalam bahasa Jawa) dan Uti (Eyang Putri, atau nenek dalam bahasa Jawa). Adikku minta dipanggil Aunty.

Untuk aku dan papanya, tentu saja Mama dan Papa.

Ketika adikku menikah, suaminya dipanggil Om.

Semua itu berubah seminggu setelah anak lanangku itu duduk di kelas satu SD. Tiba-tiba saja dengan entengnya ia mengganti panggilan sayang dalam keluarga. Kung dan Uti jadi Kakek dan Nenek. Aunty dan Om jadi Bibi dan Paman.

Ketika ditanya alasannya, ia menjawab, “Soalnya di sekolah diajarinya begitu.”

Walaupun tampak sepele, ganti panggilan itu ternyata berdampak besar bagi keluarga besar kami. Apalagi kemudian sepupu-sepupunya (anak-anak adikku) ikut-ikutan memanggil mereka “Kakek dan Nenek”. Walaupun orang tuaku, plus adikku dan suaminya, tak mempermasalahkan soal itu, keluarga besar kami “tidak terima.” Sebagai keluarga besar yang bangga terhadap tradisi, panggilan “Kakek dan Nenek” dianggap tidak sopan oleh beberapa sesepuh.

“Kalau Eyang ya Eyang. Mana ada aturannya ganti panggilan jadi Kakek? Wong bapakmu masih ganteng begitu kok mau-maunya dipanggil Kakek. Nanti jadi kakek-kakek beneran lho...” protes mereka padaku. “Juno itu apa nggak pernah kamu ajari tata krama, to?”

Sebagai ibu yang sudah paham benar keunikan anakku itu, aku cuma nyengir pasrah saja.

Jadilah panggilan itu menjadi topik hangat selama beberapa edisi pertemuan keluarga besar, baik sebagai bahan diskusi serius, bahan cibiran, maupun bahan candaan.

Saya? Sekali lagi pasrah saja.

Mau apa lagi, wong namanya anak...

Sambil agak heran juga, kenapa panggilan untuk kami, orang tuanya, tetap Papa dan Mama.

Sampai detik ini panggilan sayang itu tetap bertahan. Kakek dan Nenek. Paman dan Bibi.

Kecuali panggilan untukku.

Yup, sejak tahun ajaran baru 2015, panggilan sayang untukku berubah. Tidak lagi “Mama” tapi berubah menjadi “Ibu”.

Tak cuma itu. Tiap kali anakku itu memanggilku, selalu dengan akhiran “uu” dengan lafal sempurna sehingga kedengarannya menjadi “Ibuu...”, bukan “Ibuk” seperti kebanyakan orang.

Benar-benar terdengar merdu di telinga.

Kali ini, bila ditanya alasannya, dia tak mau menjawab kenapa.

Apakah mungkin karena ASI adalah singkatan dari Air Susu Ibu, sehingga kalau panggilan Mama singkatannya berubah menjadi ASMA, dan kalau Simbok maka singkatannya menjadi ASIMBOK?

Asudahlah...

Tadinya kukira hanya anakku saja yang seperti itu. Tak dinyana keponakanku yang nomor tiga juga berpotensi unik yang sama.

Sejak bocah lelaki ini punya adik, dia menolak dipanggil “Mas” atau “Kakak” oleh adiknya.

Dia hanya mau dipanggil “Masbro”, walaupun neneknya sangat keberatan cucunya memanggil diri sendiri “Masbro”.

Jadilah kalau pagi terdengar panggilan ajaib itu, “Masbro Didzaaaaannn... ayo mandiiiiii...”

Naga-naganya kami masih akan mengalami evolusi panggilan sayang ini hingga waktu yang tidak dapat ditentukan.


Yah, asal aku tidak dipanggil “mBro” oleh keponakanku itu, aku sih asyik-asyik aja...







Tidak ada komentar:

Posting Komentar