Sudah
bukan rahasia lagi bahwa aku ini takut KUCING.
Yap.
Benar. Binatang yang menurut sebagian orang lucu, imut, dan jinak itu bisa
bikin aku panik, berkeringat dingin, gemetaran, lalu kabur sejauh-jauhnya.
Sialnya,
anak lanangku adalah penggemar kucing nomor satu di dunia. Kucing mahal, kucing
kampung, kucing gering, pokoknya segala macam kucing selalu membuat anakku
jatuh cinta. Kapanpun dan di mana pun, tiap kali bertemu kucing, ia selalu menyempatkan
diri mengajak ngobrol, mengelus, menggaruk, dan lain-lain yang tak berani
kulakukan. Akun Instagramnya penuh gambar dan video kucing dalam berbagai pose yang
(menurutnya) menggemaskan.
Lebih
parah lagi, dia bertekad menyembuhkan ibunya yang takut kucing ini dengan cara
SELALU memamerkan foto dan video kucing padaku.
Benar-benar
battle of will. Aku ngotot kabur
setiap kali anakkku menunjukkan akun Instagramnya, sementara dia baru mau
melepaskan aku dari kewajiban menonton video kucing setelah aku mengucapkan
kalimat sakti, "Iya Mas, kucingnya imut."
Untung
saja sejauh ini kami belum pernah memelihara kucing walaupun anakku sudah
merayu-rayu supaya aku mengijinkan dia mengadopsi kucing. Dalam hal ini
neneknya (ibuku) sepakat denganku bahwa semua binatang sangatlah verboden di rumah, termasuk kucing.
Kenapa
aku bisa fobia kucing?
Kisahnya
berawal pada jaman dahulu kala...
Halah.
Pendeknya
begini.
Waktu
kecil, aku ini penyakitan. Bronchitis
asmatis yang kalau kambuh bikin susah bernapas. Kata dokter, salah satu
pencetusnya adalah alergi. Diduga alergi bulu. Sejak itu segala jenis bulu
terlarang di rumah, termasuk bulu/rambut boneka dan bulu binatang. Jadilah aku
tak pernah punya mainan boneka dan binatang peliharaan.
Hiburanku
hanya buku.
Tersiksakah?
Tidak.
Lebih tersiksa tidak bisa bernapas daripada tidak bisa main.
Awalnya
aku tidak takut kucing. Hanya risi, karena kucing suka menempel-nempel dan aku
tidak suka ditempel-tempel. Dan seperti hiu yang sensitif terhadap aroma darah,
kucing juga sensitif terhadap orang yang tidak suka ditempel. Semakin risi
seseorang ditempel kucing, biasanya kucingnya makin agresif menempel padanya.
Yah, dalam kasusku sih begitu. Makin sebal aku ditempel kucing, kucingnya makin
getol menempel di kakiku.
Tapi
tak apa. Aku masih bisa menolerir kucing.
Begitulah
hingga akhirnya aku bisa menyetir mobil.
Lalu
tibalah hari itu.
Aku
sebenarnya sudah tahu bahwa ada induk kucing liar yang mengkapling teras
rumahku sebagai rumah tidak resmi untuknya dan dua anaknya. Setahuku, mereka selalu
pergi seharian dan baru kembali menjelang malam.
Mana
aku tahu bahwa pada hari naas itu si induk pergi sendiri dan meninggalkan dua
anaknya berkeliaran di halaman, lalu bermain di bawah mobil?
Suara
eongan dan lengkingan anak-anak kucing yang terlindas ban mobil masih terngiang
sampai detik ini di telingaku. Mereka sakaratul maut di hadapanku tanpa aku
bisa berbuat apa-apa. Berdarah-darah dan segala kengerian yang timbul
karenanya.
Anak-anak
kucing itu, yang begitu imutnya hingga bisa muat dalam telapak tanganku, mati
di hadapanku.
Karena
aku.
Duh Gusti, nyuwun genging
samudra pangaksami...[1]
Sejak
itu aku takut kucing. Bukan karena aku pernah digigit atau dicakar kucing, tapi
karena aku tahu nasib buruk apa yang bisa dia alami karena aku. Dan demi apapun
juga, aku TIDAK MAU mengulangi peristiwa itu lagi.
Jadi,
please, jauhkan aku dari kucing supaya aku tidak ingat pada
peristiwa itu lagi.
Dan ngger anakku sayang, pahami ibumu ini, ya.
Dan ngger anakku sayang, pahami ibumu ini, ya.
Buat
Juno, yang ingin ibunya menulis tentang fobia kucing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar