Selasa, 01 Agustus 2017

[IT'S MY LIFE] AILUROPHOBIA



Sudah bukan rahasia lagi bahwa aku ini takut KUCING.


Yap. Benar. Binatang yang menurut sebagian orang lucu, imut, dan jinak itu bisa bikin aku panik, berkeringat dingin, gemetaran, lalu kabur sejauh-jauhnya.

Sialnya, anak lanangku adalah penggemar kucing nomor satu di dunia. Kucing mahal, kucing kampung, kucing gering, pokoknya segala macam kucing selalu membuat anakku jatuh cinta. Kapanpun dan di mana pun, tiap kali bertemu kucing, ia selalu menyempatkan diri mengajak ngobrol, mengelus, menggaruk, dan lain-lain yang tak berani kulakukan. Akun Instagramnya penuh gambar dan video kucing dalam berbagai pose yang (menurutnya) menggemaskan.

Lebih parah lagi, dia bertekad menyembuhkan ibunya yang takut kucing ini dengan cara SELALU memamerkan foto dan video kucing padaku.

Benar-benar battle of will. Aku ngotot kabur setiap kali anakkku menunjukkan akun Instagramnya, sementara dia baru mau melepaskan aku dari kewajiban menonton video kucing setelah aku mengucapkan kalimat sakti, "Iya Mas, kucingnya imut."

Untung saja sejauh ini kami belum pernah memelihara kucing walaupun anakku sudah merayu-rayu supaya aku mengijinkan dia mengadopsi kucing. Dalam hal ini neneknya (ibuku) sepakat denganku bahwa semua binatang sangatlah verboden di rumah, termasuk kucing.

Kenapa aku bisa fobia kucing?

Kisahnya berawal pada jaman dahulu kala...

Halah.

Pendeknya begini.

Waktu kecil, aku ini penyakitan. Bronchitis asmatis yang kalau kambuh bikin susah bernapas. Kata dokter, salah satu pencetusnya adalah alergi. Diduga alergi bulu. Sejak itu segala jenis bulu terlarang di rumah, termasuk bulu/rambut boneka dan bulu binatang. Jadilah aku tak pernah punya mainan boneka dan binatang peliharaan.

Hiburanku hanya buku.

Tersiksakah?

Tidak. Lebih tersiksa tidak bisa bernapas daripada tidak bisa main.

Awalnya aku tidak takut kucing. Hanya risi, karena kucing suka menempel-nempel dan aku tidak suka ditempel-tempel. Dan seperti hiu yang sensitif terhadap aroma darah, kucing juga sensitif terhadap orang yang tidak suka ditempel. Semakin risi seseorang ditempel kucing, biasanya kucingnya makin agresif menempel padanya. Yah, dalam kasusku sih begitu. Makin sebal aku ditempel kucing, kucingnya makin getol menempel di kakiku.

Tapi tak apa. Aku masih bisa menolerir kucing.

Begitulah hingga akhirnya aku bisa menyetir mobil.

Lalu tibalah hari  itu.

Aku sebenarnya sudah tahu bahwa ada induk kucing liar yang mengkapling teras rumahku sebagai rumah tidak resmi untuknya dan dua anaknya. Setahuku, mereka selalu pergi seharian dan baru kembali menjelang malam.

Mana aku tahu bahwa pada hari naas itu si induk pergi sendiri dan meninggalkan dua anaknya berkeliaran di halaman, lalu bermain di bawah mobil?

Suara eongan dan lengkingan anak-anak kucing yang terlindas ban mobil masih terngiang sampai detik ini di telingaku. Mereka sakaratul maut di hadapanku tanpa aku bisa berbuat apa-apa. Berdarah-darah dan segala kengerian yang timbul karenanya.

Anak-anak kucing itu, yang begitu imutnya hingga bisa muat dalam telapak tanganku, mati di hadapanku.

Karena aku.

Duh Gusti, nyuwun genging samudra pangaksami...[1]

Sejak itu aku takut kucing. Bukan karena aku pernah digigit atau dicakar kucing, tapi karena aku tahu nasib buruk apa yang bisa dia alami karena aku. Dan demi apapun juga, aku TIDAK MAU mengulangi peristiwa itu lagi.



Jadi, please, jauhkan aku dari kucing supaya aku tidak ingat pada peristiwa itu lagi.

Dan ngger anakku sayang, pahami ibumu ini, ya.











Buat Juno, yang ingin ibunya menulis tentang fobia kucing.



[1] Oh Tuhan, mohon ampun sebesar-besarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar