Senin, 28 Agustus 2017

TENTANG SEBUAH JEMBATAN

Ini kisah tentang Putri yang mencintai Pangeran yang mencintai putri lain.


Putri tinggal sendirian dalam menaranya yang tinggi. Pangeran tinggal dalam istana di samping menara Putri.

Putri mencintai Pangeran sejak ia membuka jendela di puncak menara, dan menemukan Pangeran berdiri di balkon istananya, menatap jauh ke cakrawala. Senyum lelaki itu, dan binar matanya, menawan hati Putri.

Sejak itu, hidup di menara tidak lagi tak tertanggungkan bagi Putri. Ada yang dinantinya setiap pagi saat ia membuka jendela: Pangeran yang berdiri di balkon istananya, menatap ke cakrawala. Kadang, bila ia sedang beruntung, Pangeran akan berpaling sejenak, lalu melayangkan senyum tipisnya pada Putri.

Saat memandangi langit-langit kamarnya, tinggi di atas menara, wajah Pangeran terlukis di sana. Tak ada yang lebih diinginkan Putri selain menyapa Pangeran, mendengarkan suaranya, bahkan, bila mungkin, mendengar tawanya. Banyak yang ingin diceritakannya pada Pangeran: tentang kenapa ia terkurung dalam menara itu, tentang Pangeran yang membawa kegembiraan baru dalam hidupnya, tentang ke mana ia ingin menuju bila Raja akhirnya berkenan membuka kunci gerbang menaranya.

Putri tak ingin Pangeran menyelamatkannya dari menara itu, karena ia bisa menyelamatkan diri sendiri. Ia hanya ingin, bila saatnya tiba, Pangeran berkuda di sampingnya, menjelajahi dunia bersama. Bila ia perlu bertarung dalam perjalanannya, ia ingin Pangeranlah yang menghunus pedang bersamanya.

Kesempatan mengenal Pangeran datang ketika dilihatnya Pangeran melintasi taman istananya, nun jauh di bawah sana. Segera Putri meraup rambutnya yang panjang menjuntai, menyampirkannya pada terali jendela, lalu bergayut pada rambutnya, meluncur turun ke halaman.

Dienyahkannya pikiran tentang kemarahan Raja bila ia ketahuan kabur dari menaranya. Hukuman dari Raja bisa sangat mengerikan, namun Putri tak peduli. Hatinya tak pernah mendamba sedalam ini. Wajah Pangeran mengisi setiap sudut benaknya. Ia tak bisa berpikir jernih.

Lelaki itu menatapnya menuruni dinding menara dengan takjub.

“Rambutmu bagus,” katanya. “Bagus dan kuat.”

Suaranya bagaikan musik di telinga Putri. Ia tersipu. “Aku tinggal di atas menara,” Putri menunjuk menara tempat tinggalnya, berusaha mengalihkan perhatian Pangeran dari rambut panjangnya. Ia selalu jengah bila orang menyebut-nyebut rambutnya. Rambut yang terus tumbuh selama dalam pengasingannya di menara. “Aku melihatmu berdiri di balkon setiap hari.”

Pangeran tertawa kecil. Mau tak mau Putri ikut tersenyum, tertular tawa lelaki itu. “Aku tak tahu kau memperhatikanku,” senyumnya. “Ada seorang putri yang kucintai. Ia tak tahu aku mencintainya. Ia tinggal di sana.” Pangeran menunjuk bangunan tinggi di seberang sungai, tempat pandangannya tertuju setiap hari.

Putri mengernyitkan dahi. Dadanya mendadak sesak. “Kenapa kau tidak datang saja padanya?” tanya Putri susah-payah.

“Aku tak bisa melintasi sungai. Arusnya terlalu deras dan berbahaya.”

Pangeran menatap wajah Putri lekat-lekat. “Maukah kau membantuku?” tanyanya. “Melintasi sungai, menuju jantung hatiku?”

Putri kehilangan kata-kata. “Aku tak tahu apa yang bisa kulakukan untukmu.”

Pangeran memalingkan wajah. Hilang sudah senyumnya, hilang sudah binar di matanya.

Rasa nyeri di dada Putri makin menjadi.

Setelah itu, beberapa kali Putri kabur dari menara untuk menemui Pangeran di taman istananya. Namun lelaki itu selalu meminta hal yang sama, lalu memalingkan wajah ketika Putri tak bisa menjanjikan apa-apa.

Sejak itu siang hari menjadi petaka, dan malam hari menjadi neraka bagi Putri. Lelaki yang dicintainya tidak mencintainya. Ia meminta dan memohon pada setiap dewa yang diketahuinya agar mereka berbelas kasih padanya, karena sakit yang dirasanya melebihi setiap luka yang pernah dideritanya.

Tapi tak ada yang mendengar. Tak ada yang menjawab.

Hingga suatu saat, utusan Raja datang mengabarkan Raja berkenan mengijinkan Putri keluar dari menara bila ia mau ditugaskan ke perbatasan yang berbahaya.

“Baik,” jawab Putri. “Sampaikan pada Raja, aku bersedia, asal Yang Mulia memberiku waktu seminggu untuk bersiap-siap.”

Seminggu berlalu dengan cepat. 

Pada hari kedelapan, pagi-pagi sekali, Putri berderap keluar dari menaranya di atas kuda hitamnya yang gagah. Pedang terikat di sabuknya, busur tersampir di bahunya. Baju besinya berkilau-kilau di bawah cahaya matahari.

Hanya Raja dan Putri sendiri yang tahu ke mana ia pergi.

Pangeran berdiri di balkon istananya, seperti biasa, setiap hari, menatap istana jantung hatinya. Kali ini, sehelai surat dalam genggamannya. Dari Putri. Tertulis: “Kubangun jembatan untukmu menjemput jantung hatimu.”

Diangkatnya pandangannya. Nun di bawah sana, sebuah jembatan gantung berdiri melintasi sungai berarus deras dan berbahaya.

Jembatan yang kuat, kokoh dan indah, dijalin dan dianyam dari rambut panjang sang Putri.





Merindukan F/α sepenuh hati.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar