Ini kisah tentang Putri yang mencintai
Pangeran yang mencintai putri lain.
Putri tinggal sendirian dalam menaranya yang
tinggi. Pangeran tinggal dalam istana di samping menara Putri.
Putri mencintai Pangeran sejak ia membuka
jendela di puncak menara, dan menemukan Pangeran berdiri di balkon istananya,
menatap jauh ke cakrawala. Senyum lelaki itu, dan binar matanya, menawan hati
Putri.
Sejak itu, hidup di menara tidak lagi tak
tertanggungkan bagi Putri. Ada yang dinantinya setiap pagi saat ia membuka
jendela: Pangeran yang berdiri di balkon istananya, menatap ke cakrawala. Kadang,
bila ia sedang beruntung, Pangeran akan berpaling sejenak, lalu melayangkan
senyum tipisnya pada Putri.
Saat memandangi langit-langit kamarnya,
tinggi di atas menara, wajah Pangeran terlukis di sana. Tak ada yang lebih
diinginkan Putri selain menyapa Pangeran, mendengarkan suaranya, bahkan, bila
mungkin, mendengar tawanya. Banyak yang ingin diceritakannya pada Pangeran:
tentang kenapa ia terkurung dalam menara itu, tentang Pangeran yang membawa
kegembiraan baru dalam hidupnya, tentang ke mana ia ingin menuju bila Raja
akhirnya berkenan membuka kunci gerbang menaranya.
Putri tak ingin Pangeran menyelamatkannya
dari menara itu, karena ia bisa menyelamatkan diri sendiri. Ia hanya ingin,
bila saatnya tiba, Pangeran berkuda di sampingnya, menjelajahi dunia bersama. Bila
ia perlu bertarung dalam perjalanannya, ia ingin Pangeranlah yang menghunus
pedang bersamanya.
Kesempatan mengenal Pangeran datang ketika
dilihatnya Pangeran melintasi taman istananya, nun jauh di bawah sana. Segera Putri
meraup rambutnya yang panjang menjuntai, menyampirkannya pada terali jendela,
lalu bergayut pada rambutnya, meluncur turun ke halaman.
Dienyahkannya pikiran tentang kemarahan Raja
bila ia ketahuan kabur dari menaranya. Hukuman dari Raja bisa sangat
mengerikan, namun Putri tak peduli. Hatinya tak pernah mendamba sedalam ini. Wajah
Pangeran mengisi setiap sudut benaknya. Ia tak bisa berpikir jernih.
Lelaki itu menatapnya menuruni dinding menara
dengan takjub.
“Rambutmu bagus,” katanya. “Bagus dan kuat.”
Suaranya bagaikan musik di telinga Putri. Ia tersipu.
“Aku tinggal di atas menara,” Putri menunjuk menara tempat tinggalnya, berusaha
mengalihkan perhatian Pangeran dari rambut panjangnya. Ia selalu jengah bila
orang menyebut-nyebut rambutnya. Rambut yang terus tumbuh selama dalam pengasingannya di menara. “Aku melihatmu berdiri di balkon setiap hari.”
Pangeran tertawa kecil. Mau tak mau Putri
ikut tersenyum, tertular tawa lelaki itu. “Aku tak tahu kau memperhatikanku,”
senyumnya. “Ada seorang putri yang kucintai. Ia tak tahu aku mencintainya. Ia tinggal
di sana.” Pangeran menunjuk bangunan tinggi di seberang sungai, tempat pandangannya
tertuju setiap hari.
Putri mengernyitkan dahi. Dadanya mendadak
sesak. “Kenapa kau tidak datang saja padanya?” tanya Putri susah-payah.
“Aku tak bisa melintasi sungai. Arusnya terlalu
deras dan berbahaya.”
Pangeran menatap wajah Putri lekat-lekat. “Maukah
kau membantuku?” tanyanya. “Melintasi sungai, menuju jantung hatiku?”
Putri kehilangan kata-kata. “Aku tak tahu apa
yang bisa kulakukan untukmu.”
Pangeran memalingkan wajah. Hilang sudah
senyumnya, hilang sudah binar di matanya.
Rasa nyeri di dada Putri makin menjadi.
Setelah itu, beberapa kali Putri kabur dari
menara untuk menemui Pangeran di taman istananya. Namun lelaki itu selalu
meminta hal yang sama, lalu memalingkan wajah ketika Putri tak bisa menjanjikan
apa-apa.
Sejak itu siang hari menjadi petaka, dan
malam hari menjadi neraka bagi Putri. Lelaki yang dicintainya tidak
mencintainya. Ia meminta dan memohon pada setiap dewa yang diketahuinya agar
mereka berbelas kasih padanya, karena sakit yang dirasanya melebihi setiap luka
yang pernah dideritanya.
Tapi tak ada yang mendengar. Tak ada yang
menjawab.
Hingga suatu saat, utusan Raja datang
mengabarkan Raja berkenan mengijinkan Putri keluar dari menara bila ia mau ditugaskan
ke perbatasan yang berbahaya.
“Baik,” jawab Putri. “Sampaikan pada Raja,
aku bersedia, asal Yang Mulia memberiku waktu seminggu untuk bersiap-siap.”
Seminggu
berlalu dengan cepat.
Pada hari kedelapan, pagi-pagi sekali, Putri berderap
keluar dari menaranya di atas kuda hitamnya yang gagah. Pedang terikat di
sabuknya, busur tersampir di bahunya. Baju besinya berkilau-kilau di bawah
cahaya matahari.
Hanya Raja dan Putri sendiri yang tahu ke
mana ia pergi.
Pangeran berdiri di balkon istananya, seperti
biasa, setiap hari, menatap istana jantung hatinya. Kali ini, sehelai surat
dalam genggamannya. Dari Putri. Tertulis: “Kubangun jembatan untukmu menjemput
jantung hatimu.”
Diangkatnya pandangannya. Nun di bawah sana,
sebuah jembatan gantung berdiri melintasi sungai berarus deras dan berbahaya.
Jembatan yang kuat, kokoh dan indah, dijalin
dan dianyam dari rambut panjang sang Putri.
Merindukan F/α
sepenuh hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar