Minggu, 31 Mei 2020

YOYOK DAN ARINI


           Kata mereka, Arini tidak mengenali orang-orang yang datang mengunjunginya.


Panas tinggi membuatnya berhalusinasi.

           Yoyok menatap perempuan yang tergolek di atas tempat tidur itu. 

           Arini cantik. Akan kembali cantik, kelak bila ia sembuh.

Ia akan kembali jadi Arini yang apik dan wangi. Arini yang tak pernah bisa ditebaknya. Bibirnya bisa mencebik penuh cemooh, atau membuka penuh hasrat. Matanya bisa berbinar penuh semangat, atau sendu merayu.

Perempuan yang membuat dunianya jungkir-balik.

           Tapi saat ini, ia tak lebih dari sosok menyedihkan dengan gaun rumah sakit yang kebesaran dan selang-selang infus yang membelit lengan.

            Yoyok menghela napas. Ia bimbang. Hasrat yang begitu menggebu untuk berkunjung sudah lenyap. Apapun yang tadi membuatnya ingin mendatangi perempuan itu kini rasanya sudah tidak penting lagi.

            Jemari yang dingin menyentuh lengannya. Mata Arini terbuka, menatapnya dengan pandangan kosong. Napasnya memburu.

            Salah satu momen halusinasi, rupanya.

            Tangannya erat memegangi lengan Yoyok.

            “Tolong,” suara Arini terdengar kuat dan jernih, “katakan pada Yoyok, aku sungguh-sungguh mencintainya.”

            Lalu tangan itu kembali lemas. Sepasang matanya kembali menutup. Napasnya kembali teratur.

            Yoyok ingin tertawa, tapi tak ada tawa yang keluar dari mulutnya.

            Sudah jelas, bukan? Bukankah itu jawaban yang dicarinya? Arini mencintainya.
           
            Yoyok menghela napas. Segila apapun itu, sekacau apapun itu, kini ia sudah tahu. Sudah yakin. Sudah pasti.

            Ia bangkit dari duduknya, mengamati perempuan yang kembali tertidur itu. Perempuan yang akan kembali cantik kelak kalau ia sembuh. Perempuan yang tak pantas memakai gaun rumah sakit yang kebesaran. Perempuan berkulit halus yang tak layak ditancapi jarum infus.

            Kelak.

 Hanya saja, tidak ada kelak.

            Diusapnya lembut kepala Arini. Saatnya berpamitan.

            Yoyok berbisik di telinga Arini, “Sudah kusampaikan pada Yoyok bahwa kau mencintainya. Kata Yoyok, dia ingin kau mati saja.”

            Sambil tersenyum, Yoyok merapikan bajunya, lalu beranjak.

            Sudah tidak ada lagi Arini.

            Saatnya pulang. Istrinya sudah menunggu.






               

1 komentar: