Minggu, 29 Januari 2017

DI BALIK PORTAL part I




“Kenapa jalan ini ditutup portal, Yang?” tanya Karina.


Rute jalan-jalan paginya mendadak diakhiri oleh palang besi yang melintang di hadapannya. Entah kebetulan atau tidak, jalan beraspal kasar yang dilaluinya bersama Eyang juga persis berakhir di bawah portal itu. Selebihnya, di balik portal, jalan setapak berkelok-kelok hingga lenyap di balik pohon-pohon pinus. Karina membayangkan jalan itu membentang terus dan terus menembus hutan, hingga mencapai Gunung Arjuno yang menjulang di kejauhan.

Eyang Kakung mengangkat bahu. “Eyang juga tidak tahu. Setahu Eyang, sejak sebelum Eyang tinggal di sini, jalan ini sudah ditutup. Mungkin karena jalannya terlalu berbatu-batu untuk dilewati kendaraan. Sulit juga dilalui dengan berjalan kaki. Karena merepotkan, akhirnya tidak ada yang lewat sini. Masih banyak jalan lain yang lebih mudah dilalui kalau ingin naik ke kaki gunung.”

Karina menyandarkan tubuh di palang besi itu sambil mengatur napas. Perjalanan ini murni idenya. Ia butuh menjernihkan pikiran. Sidang perceraian Papa dan Mama sudah menjelang final. Kurang satu sidang lagi, lalu mereka resmi bercerai. Karina tak bisa memutuskan, ia ingin ikut Papa atau Mama. Siapa tahu sedikit berolah raga plus udara segar bisa melipur gundahnya.

Tak disangka, dengan santainya Eyang mengajukan diri menemaninya. Tadinya ia sempat khawatir perjalanan ini akan melelahkan laki-laki sepuh itu. Ternyata dugaannya salah. Justru ia yang terengah-engah kelelahan, sementara Eyang masih segar-bugar.

Melihatnya kehabisan napas, Eyang tertawa. “Capek, ya? Kamu kurang olah raga, sih…”

Karina meringis. Untuk menutupi rasa malu, ia pura-pura asyik memandangi jalan setapak di balik portal. Entah di mana jalan itu berujung…
*****
Sekali lagi Karina menemukan dirinya bersandar di palang besi itu. Kali itu bukan Eyang yang menemaninya, melainkan Ollie, kucing hitam kesayangannya. Entahlah, di saat-saat seperti ini rasanya hanya Ollie yang bisa memahaminya. Karina tersenyum kecut. Mungkin karena hanya Ollie yang tidak mengacaukan hidupnya.

Karina menghela napas. Tadinya ia tidak berniat datang ke situ. Begitu saja kakinya membawanya ke ujung jalan yang terhalang portal itu. Sejak acara jalan pagi bersama Eyang tempo hari, tempat itu menjadi semacam tempat favorit baginya. Tempatnya melarikan diri ketika bahkan rumah Eyang tak lagi bisa menjadi tempat pelariannya dari Papa, Mama, dan segala masalah mereka. Hanya tempat itu yang bisa memberikan ketenangan yang dibutuhkannya untuk mengurai isi benaknya yang kusut-masai.

Setengah melamun sambil membelai-belai bulu halus Ollie dalam dekapannya, Karina memandangi jalan setapak di balik portal. Rasa ingin tahunya kembali muncul. Ingin rasanya menyusuri jalan itu, sekedar tahu ke mana jalan itu akan membawanya. Karina tersenyum kecut. Ia tahu, ia tidak boleh menyusuri jalan setapak menembus hutan sendirian.

Sudut matanya menangkap sesuatu bergerak di antara pohon-pohon pinus di hadapannya. Sejenak ia mengira itu hanya perasaannya saja. Karena itu ia terkejut ketika Ollie meronta dalam gendongannya, melepaskan diri, lalu melompat begitu saja menyeberangi portal, mengejar apapun itu yang sedang bergerak menjauh di balik batang-batang pohon.

“Ollie! Ollie!” panggil Karina, namun kucing hitam itu berlari terus seakan-akan tuli.

Sejenak Karina terpaku. Ia harus mengejar Ollie. Ia tak berani mengambil resiko kucing kesayangannya itu tersesat atau terluka. Namun melompati portal lalu memasuki hutan pinus sendirian juga membuatnya ragu. Bagaimana kalau ada orang jahat mengintai di balik pohon? Bagaimana kalau ia sendiri yang tersesat?

Ah, tapi ini kan masih siang. Belum lagi tengah hari. Kalau ada apa-apa, tinggal angkat ponsel, hubungi Eyang, beres. Diraihnya ponsel dari dalam sakunya. Sinyal penuh. Baterai penuh. Aman.

Dilayangkannya pandangan ke arah hutan pinus di hadapannya. Cahaya matahari tampak ramah menerangi batang-batang pohon yang ramping. Tak ada tempat yang tak tersentuh sinar matahari. Tak mungkin ada orang jahat yang bersembunyi di dalamnya.
Tanpa ragu lagi, Karina memanjat portal, lalu mulai berlari mengikuti arah perginya Ollie, memasuki hutan pinus.
*****
Entah sudah berapa lama Karina berada dalam hutan pinus itu. Ia berjalan kini, sudah lelah berlari. Ia lapar, haus, dan suaranya sudah nyaris habis karena sedari tadi berseru-seru memanggil Ollie. Namun kucing hitam sialan itu tak kunjung muncul.

Ngomong-ngomong tentang hutan pinus…

Karina kini menyesali keputusannya melompati portal itu. Hutan yang tadi tampak jinak dan ramah kini membuatnya nyaris putus asa. Ke manapun ia melangkah, rasanya ia hanya berputar-putar, lalu kembali ke tempat yang sama. Tak ada penanda yang bisa dijadikan patokan.

Jangan-jangan ia benar-benar tersesat. Saatnya menghubungi Eyang. Diraihnya ponsel dari saku. Semangatnya langsung padam melihat ponselnya hilang sinyal. Bagaimana pula baterainya bisa nyaris habis sama sekali? Bukankah baru beberapa saat lalu dilihatnya baterai ponselnya penuh?

Karina menghenyakkan tubuhnya di tunggul sebatang pohon. Kedua tangannya memeluk lutut. Apa yang harus dilakukannya? Ke mana ia harus pergi? Hutan ini tak terlalu lebat. Letaknya pun tidak jauh dari perkampungan. Kenapa ia tak bertemu seorang pun? Setengah mati ia menahan isak. Ia tak pernah merasa setakut ini sebelumnya.

Entah berapa lama ia terduduk seperti itu. Tiba-tiba suara gemersik mengagetkannya. Ia memandang berkeliling. Nun jauh di sana, sebuah semak bergoyang-goyang, seakan-akan ada yang bersembunyi di baliknya.

Bulu kuduk Karina meremang. Buru-buru ia bangkit, lalu beranjak. Mula-mula berjalan, lalu rasa takut membuat kakinya berpacu lebih cepat, lebih cepat, hingga tanpa sadar ia kembali berlari, masuk lebih jauh ke dalam hutan pinus.

Karina tak tahu berapa lama atau berapa jauh ia berlari. Yang ia tahu, kakinya sakit sekali. Sambil terengah-engah ia berhenti, bertumpu pada sebatang pohon pinus. Dari sela-sela daun pinus, dilihatnya matahari sudah condong ke barat. Ia harus mencari jalan pulang sebelum gelap. Lalu Ollie bagaimana? Dadanya terasa bagai diremas ketika ia teringat Ollie, tapi ia tak tahu harus berbuat apa.

Ia kembali berjalan tersaruk-saruk. Tanah menjadi makin tidak rata. Setelah melewati sebuah tanjakan, Karina berhenti tiba-tiba. Di hadapannya terbentang sebuah telaga yang indah dengan air biru jernih. Permukaannya memantulkan awan-awan yang berarak di langit. Larik-larik keemasan cahaya matahari yang mulai condong ke Barat hilang-timbul seiring gerakan riak-riak air.

Karina tak ambil pusing dengan keindahan di depan matanya itu. Air! Yang penting ada air! Baru kali ini ia menyadari betapa hausnya ia. Tanpa pikir panjang, Karina menuruni lereng yang landai, langsung ke tepi telaga, lalu mulai minum dengan rakus. Airnya sejuk, dengan secercah rasa manis yang baru kali itu dirasakannya. Ia menghela napas lega. Mendadak ia merasa segar kembali. Segala kekhawatiran dan ketakutannya lenyap seketika.

Kamu siapa?” sebuah suara mengagetkannya. “Mau apa kau di sini?”




2 komentar:

  1. good post mbak. di tunggu jawabannya

    BalasHapus
  2. Siap, Pak.
    Semoga bisa segera tayang jawabannya.

    Terima kasih.
    Terima kasih juga mampirnya.

    BalasHapus