Kamis, 05 Januari 2017

[IT'S MY LIFE] [Best Moment 2016] LEMBUR MALAM ITU



“Mbak Dani mau ke mana?” tanya bosku ketika melihatku mematikan komputer. Keningnya berkerut. Kaca matanya merosot di hidungnya.


“Ehm… pulang, Pak,” jawabku. Jantungku mendadak berdebar kencang. Please, jangan… please, jangan…

Dear God, jangan lagi… Ini sudah waktunya pulang, Tuhan…

“Jangan pulang dulu. Hari ini kita lembur.”

Please, jangan lembur.

Aku lemas seketika. Sudah sejak awal tahun 2016 kami lembur nyaris tiap hari. Hari Sabtu dan MInggu juga, tanpa kecuali. Kami sudah lelah. Lelah fisik dan lelah mental. Setengah mati aku menahan diri untuk tidak mengutuk bosku. Sama sepertiku, dia tak punya pilihan lain. Peraturan perundang-undangan baru terkait kelembagaan perangkat daerah sudah terbit dengan deadline yang nyaris tidak masuk akal dan kami tak punya pilihan lain kecuali segera memenuhinya.

Hari ini khususnya, aku ingin segera pulang. Rasanya hidupku yang memang sudah kacau, mencapai puncak keruwetannya hari ini. Mantan suamiku menelepon, dan ujung-ujungnya kami bertengkar hebat. Tak berapa lama, masuk pesan WhatsApp dari lelaki yang kujatuhi cinta. Dia bilang, sudah tidak ada lagi yang bisa kami bicarakan. Sementara itu, seorang sahabat yang tak puas dalam kemarahannya, bercerita pada semua orang tentang pertengkaran kami dan aku tak berdaya membela diri.

Semua terjadi bersamaan dalam satu hari. Aku menghabiskan istirahat makan siangku dengan bersembunyi di kamar mandi, menangis sampai air mataku habis. Rasanya mataku sudah membengkak sebesar bola tenis ketika akhirnya aku kembali ke ruang kerjaku. Untungnya, karena rekan kerja yang seruangan denganku semuanya laki-laki, tak ada yang bertanya, walaupun semua menatapku dengan pandangan ingin tahu.

Aku bersyukur karenanya. Aku bersyukur karena mereka lelaki, sehingga tak ada yang kepo.

Tak ada yang lebih kuinginkan selain segera tiba di rumah, mandi air hangat, lalu mengurung diri di kamar.

Kulayangkan pandangan ke sekeliling ruangan. Para lelaki teman seruanganku masih asyik dengan pekerjaan mereka. Sementara itu, aku yakin para perempuan di ruang sebelah sudah berkemas-kemas.

“Ya, Pak,” sahutku lemah. Dengan setengah hati kunyalakan lagi komputerku, lalu menatap layar dengan perasaan kosong. Rasanya aku sudah tak sanggup lagi berbuat apa-apa.

Demi mendengar perkataanku, tanpa berkata apa-apa teman-temanku yang seruangan berdiri satu demi satu. Ada yang mengeset laptop untuk menayangkan materi lembur hari ini, yang akan dibahas oleh anggota tim. Ada yang menata gelas-gelas air mineral. Ada yang membersihkan stoples makanan kecil, lalu mengisinya kembali dengan aneka keripik yang sudah kusiapkan sebelumnya. Ada yang menelepon kantin kantor, memesan kopi dan teh untuk suguhan lembur.

Aku hanya bisa melongo. Yang mereka lakukan itu adalah hal-hal yang biasa kulakukan setiap kali ada lembur di kantor.

Setelah semua persiapan lembur selesai, mereka kembali menekuni pekerjaan masing-masing seperti tidak habis melakukan apa-apa.

Tengkyu ya, gaes…” kataku terbata-bata. Aku kehabisan kata-kata.

“Yo, sama-sama…”

“Jangan pulang dulu, ya,” pintaku memberanikan diri. Aku menahan napas, tak berani berharap mereka akan memenuhi permintaanku. “Temenin aku sampai lemburnya bubar.”

Salah seorang dari mereka lewat, dan menepuk pundakku. Sekilas pandangan kami bertemu. Kulihat simpati dalam bening matanya. “Nggak masalah.”

Lembur malam itu lebih panas dari biasanya. Semua orang jenuh dan lelah. Walaupun tidak sampai ada kontak fisik, namun kata-kata anggota tim makin tajam dan keras. Emosi tinggi. Isu-isu tentang upaya mengintervensi kemandirian tim merebak, memperkeruh suasana.

Aku mendengarkan semua kehebohan itu dengan setengah hati. Emosiku sendiri sudah terkuras habis sepanjang pagi, siang, dan sore tadi. Tidak ada yang tersisa. Otakku disesaki ingatan tentang pertengkaranku dengan mantan suamiku, pesan WhatsApp itu, dan kata-kata sahabatku. Hatiku dijejali sedih, marah, kecewa, cinta, rindu, nelangsa sedemikian rupa sehingga menjadi gumpalan besar perasaan yang mencekat leherku, yang siap bobol lagi menjadi banjir air mata jilid kedua.

Jam demi jam berlalu dengan lambat. Benakku terlalu penuh, hingga aku tak bisa mengikuti materi yang dibahas malam itu. Yang kutahu, perdebatan berjalan dengan alot. “Wes, buyar, buyar ae lek ngene[1],” seorang anggota tim menyergah dengan suara lantang, lalu meninggalkan ruangan setelah pamit asal-asalan. Tak ada yang menyahut. Tak ada yang menahan kepergiannya.

Deadlock lagi.

Satu persatu anggota tim bangkit. Begitu saja lembur malam itu berakhir. Beberapa orang masih tinggal untuk mengobrol sebentar, sekedar cooling down sambil merokok, lalu pamit pulang.

Aku bangkit dari mejaku, hendak membersihkan piring dan gelas bekas lembur. Sebuah tangan menahan pundakku. “Wes, sampeyan ndek kene ae. Cekno diresiki arek-arek[2].”

Kucoba ikut membantu, namun mereka mengusirku. “Wes talah Mbak, gak usah. Sampeyan meneng ae.[3]

Tak berapa lama ruangan sudah rapi kembali. Laptop sudah dibereskan. Piring dan gelas sudah ditumpuk di pantry untuk dicuci esoknya. Sampah dan sisa makanan sudah terkumpul di tempat sampah.

Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Para lelaki itu sudah melakukan semuanya untukku.

Tengkyu ya gaes,” kataku. Mataku menghangat, menunjukkan tanda-tanda siap menangis lagi, namun kali ini sebabnya berbeda dengan tadi siang.

Mereka menatapku sekilas di sela-sela kesibukan mereka sendiri berkemas untuk pulang, lalu mengalihkan pandangan mereka.

“Sudah, besok nggak usah nangis lagi,” celetuk salah seorang di antara mereka. Ia pasti melihat mataku basah lagi.

Aku mencoba tersenyum. “Nggak, nggak nangis lagi,” sahutku.

Aku tak bisa berjanji esok atau lusa aku sudah tidak patah hati lagi. Aku tak bisa berjanji takkan menangis lagi. Namun saat itu, malam itu, aku tidak merasa sendirian.

Ada para lelaki itu bersamaku.

Untuk pertama kalinya sepanjang tahun 2016, aku tahu aku akan baik-baik saja.


[1] Sudah, bubar, bubar saja kalau begini
[2] Sudah, kamu di sini saja. Biar dibersihkan teman-teman.
[3] Sudahlah Mbak, tidak usah. Kamu diam sajalah.






13 komentar:

  1. ceritanya hiks
    aduh suabuaaaaar kuduan
    aku ya harap2 cemas mbak klo ada tanda2 lemburan
    kudu setrooong mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. siyap...
      setrong, mas...

      matur nuwun sudah mampir.
      kapan ke phil.?
      minta tolong difotoin tagaytay sekarang dong...

      Hapus
  2. Lembur adalah melatih kesabaran demi mengumpulkan lembar.... Lembaran rupiah maksudnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. siap-siap lembur lagi taun 2017 ya masbrow...

      tengkyu dah mampir...

      Hapus
  3. matur nuwun, pak...

    matur nuwun juga sudah mampir.

    BalasHapus
  4. Aq melu dr bagian para lelaki itu nggak .. sbg yg ingin tau .. dr sudut mataku .. sambil lanjut ngetik lg ..
    . Aq kok wes lali ... Lebih tepatnya nglali ..
    .
    krn rutinitas lembur yg menjenuhkan
    .
    .
    .. Mbak dani mau kemana? ...
    .

    BalasHapus
    Balasan
    1. odren...
      ya iyeslah...

      makane talah... lek tonggone nangis iku takonono... :D

      matur nuwun mampire yooo...

      aku nggak ke mana-mana, dren...

      oya, komenmu kuhapus salah satu karena dobel.

      Hapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  6. .. plg tertib waktu .. mumpung blom wayahe lembur

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus