“Mbak Dani
mau ke mana?” tanya bosku ketika melihatku mematikan komputer. Keningnya berkerut.
Kaca matanya merosot di hidungnya.
“Ehm…
pulang, Pak,” jawabku. Jantungku mendadak berdebar kencang. Please, jangan… please, jangan…
Dear God, jangan lagi… Ini sudah
waktunya pulang, Tuhan…
“Jangan pulang dulu. Hari ini kita lembur.”
Please, jangan lembur.
Aku lemas
seketika. Sudah sejak awal tahun 2016 kami lembur nyaris tiap hari. Hari Sabtu
dan MInggu juga, tanpa kecuali. Kami sudah lelah. Lelah fisik dan lelah mental.
Setengah mati aku menahan diri untuk tidak mengutuk bosku. Sama sepertiku, dia
tak punya pilihan lain. Peraturan perundang-undangan baru terkait kelembagaan
perangkat daerah sudah terbit dengan deadline
yang nyaris tidak masuk akal dan kami tak punya pilihan lain kecuali segera
memenuhinya.
Hari ini
khususnya, aku ingin segera pulang. Rasanya hidupku yang memang sudah kacau,
mencapai puncak keruwetannya hari ini. Mantan suamiku menelepon, dan ujung-ujungnya
kami bertengkar hebat. Tak berapa lama, masuk pesan WhatsApp dari lelaki yang kujatuhi cinta. Dia bilang, sudah tidak
ada lagi yang bisa kami bicarakan. Sementara itu, seorang sahabat yang tak puas
dalam kemarahannya, bercerita pada semua orang tentang pertengkaran kami dan
aku tak berdaya membela diri.
Semua terjadi
bersamaan dalam satu hari. Aku menghabiskan istirahat makan siangku dengan
bersembunyi di kamar mandi, menangis sampai air mataku habis. Rasanya mataku
sudah membengkak sebesar bola tenis ketika akhirnya aku kembali ke ruang
kerjaku. Untungnya, karena rekan kerja yang seruangan denganku semuanya laki-laki,
tak ada yang bertanya, walaupun semua menatapku dengan pandangan ingin tahu.
Aku
bersyukur karenanya. Aku bersyukur karena mereka lelaki, sehingga tak ada yang
kepo.
Tak ada yang
lebih kuinginkan selain segera tiba di rumah, mandi air hangat, lalu mengurung
diri di kamar.
Kulayangkan pandangan
ke sekeliling ruangan. Para lelaki teman seruanganku masih asyik dengan
pekerjaan mereka. Sementara itu, aku yakin para perempuan di ruang sebelah
sudah berkemas-kemas.
“Ya, Pak,” sahutku
lemah. Dengan setengah hati kunyalakan lagi komputerku, lalu menatap layar
dengan perasaan kosong. Rasanya aku sudah tak sanggup lagi berbuat apa-apa.
Demi mendengar
perkataanku, tanpa berkata apa-apa teman-temanku yang seruangan berdiri satu
demi satu. Ada yang mengeset laptop
untuk menayangkan materi lembur hari ini, yang akan dibahas oleh anggota tim. Ada
yang menata gelas-gelas air mineral. Ada yang membersihkan stoples makanan
kecil, lalu mengisinya kembali dengan aneka keripik yang sudah kusiapkan
sebelumnya. Ada yang menelepon kantin kantor, memesan kopi dan teh untuk
suguhan lembur.
Aku hanya
bisa melongo. Yang mereka lakukan itu adalah hal-hal yang biasa kulakukan
setiap kali ada lembur di kantor.
Setelah semua
persiapan lembur selesai, mereka kembali menekuni pekerjaan masing-masing
seperti tidak habis melakukan apa-apa.
“Tengkyu ya, gaes…” kataku terbata-bata. Aku kehabisan kata-kata.
“Yo,
sama-sama…”
“Jangan pulang dulu, ya,” pintaku memberanikan diri. Aku menahan napas, tak berani berharap mereka akan memenuhi permintaanku. “Temenin aku sampai lemburnya bubar.”
“Jangan pulang dulu, ya,” pintaku memberanikan diri. Aku menahan napas, tak berani berharap mereka akan memenuhi permintaanku. “Temenin aku sampai lemburnya bubar.”
Salah seorang
dari mereka lewat, dan menepuk pundakku. Sekilas pandangan kami bertemu.
Kulihat simpati dalam bening matanya. “Nggak masalah.”
Lembur malam
itu lebih panas dari biasanya. Semua orang jenuh dan lelah. Walaupun tidak sampai
ada kontak fisik, namun kata-kata anggota tim makin tajam dan keras. Emosi tinggi.
Isu-isu tentang upaya mengintervensi kemandirian tim merebak, memperkeruh suasana.
Aku mendengarkan
semua kehebohan itu dengan setengah hati. Emosiku sendiri sudah terkuras habis
sepanjang pagi, siang, dan sore tadi. Tidak ada yang tersisa. Otakku disesaki
ingatan tentang pertengkaranku dengan mantan suamiku, pesan WhatsApp itu, dan kata-kata sahabatku. Hatiku
dijejali sedih, marah, kecewa, cinta, rindu, nelangsa sedemikian rupa sehingga menjadi gumpalan besar perasaan yang
mencekat leherku, yang siap bobol lagi menjadi banjir air mata jilid kedua.
Jam demi jam
berlalu dengan lambat. Benakku terlalu penuh, hingga aku tak bisa mengikuti
materi yang dibahas malam itu. Yang kutahu, perdebatan berjalan dengan alot. “Wes,
buyar, buyar ae lek ngene[1],”
seorang anggota tim menyergah dengan suara lantang, lalu meninggalkan ruangan
setelah pamit asal-asalan. Tak ada yang menyahut. Tak ada yang menahan
kepergiannya.
Deadlock lagi.
Satu persatu
anggota tim bangkit. Begitu saja lembur malam itu berakhir. Beberapa orang
masih tinggal untuk mengobrol sebentar, sekedar cooling down sambil merokok, lalu pamit pulang.
Aku bangkit
dari mejaku, hendak membersihkan piring dan gelas bekas lembur. Sebuah tangan
menahan pundakku. “Wes, sampeyan ndek kene ae. Cekno diresiki arek-arek[2].”
Kucoba ikut
membantu, namun mereka mengusirku. “Wes talah Mbak, gak usah. Sampeyan meneng
ae.[3]”
Tak berapa
lama ruangan sudah rapi kembali. Laptop
sudah dibereskan. Piring dan gelas sudah ditumpuk di pantry untuk dicuci esoknya. Sampah dan sisa makanan sudah terkumpul
di tempat sampah.
Tak ada lagi
yang bisa kulakukan. Para lelaki itu sudah melakukan semuanya untukku.
“Tengkyu ya gaes,” kataku. Mataku menghangat, menunjukkan tanda-tanda siap
menangis lagi, namun kali ini sebabnya berbeda dengan tadi siang.
Mereka menatapku
sekilas di sela-sela kesibukan mereka sendiri berkemas untuk pulang, lalu
mengalihkan pandangan mereka.
“Sudah, besok nggak usah nangis lagi,” celetuk salah seorang di antara mereka. Ia pasti melihat mataku basah lagi.
“Sudah, besok nggak usah nangis lagi,” celetuk salah seorang di antara mereka. Ia pasti melihat mataku basah lagi.
Aku mencoba
tersenyum. “Nggak, nggak nangis lagi,” sahutku.
Aku tak bisa
berjanji esok atau lusa aku sudah tidak patah hati lagi. Aku tak bisa berjanji
takkan menangis lagi. Namun saat itu, malam itu, aku tidak merasa sendirian.
Ada para
lelaki itu bersamaku.
Untuk pertama kalinya sepanjang tahun 2016, aku tahu aku akan
baik-baik saja.
ceritanya hiks
BalasHapusaduh suabuaaaaar kuduan
aku ya harap2 cemas mbak klo ada tanda2 lemburan
kudu setrooong mbak
siyap...
Hapussetrong, mas...
matur nuwun sudah mampir.
kapan ke phil.?
minta tolong difotoin tagaytay sekarang dong...
Lembur adalah melatih kesabaran demi mengumpulkan lembar.... Lembaran rupiah maksudnya
BalasHapussiap-siap lembur lagi taun 2017 ya masbrow...
Hapustengkyu dah mampir...
matur nuwun, pak...
BalasHapusmatur nuwun juga sudah mampir.
Aq melu dr bagian para lelaki itu nggak .. sbg yg ingin tau .. dr sudut mataku .. sambil lanjut ngetik lg ..
BalasHapus. Aq kok wes lali ... Lebih tepatnya nglali ..
.
krn rutinitas lembur yg menjenuhkan
.
.
.. Mbak dani mau kemana? ...
.
odren...
Hapusya iyeslah...
makane talah... lek tonggone nangis iku takonono... :D
matur nuwun mampire yooo...
aku nggak ke mana-mana, dren...
oya, komenmu kuhapus salah satu karena dobel.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus.. plg tertib waktu .. mumpung blom wayahe lembur
BalasHapuspulang tertib waktu tanda ASN yang baik.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapushadiiiirrr ^_^
BalasHapusSiyaaaapppp... ^_^
HapusTerima kasih dah mampir, Mas...