Karina buru-buru menoleh, menatap
Willem tajam-tajam. Lelaki itu balas menatapnya sambil tersenyum. “Tapi...
tapi...”
“Karena kakiku menginjak tanah? Karena kau bisa menyentuhku?” Willem
terkekeh lagi. “Bisakah
manusia melakukan ini?”
Willem tersenyum lagi, lalu
memejamkan mata. Udara di sekitar tubuhnya beriak dan bergelombang, lalu
tiba-tiba saja Karina menatap dirinya sendiri berdiri di tempat Willem semula
berdiri. Begitu mirip, sampai-sampai Karina merasa tengah menatap bayangannya
dalam cermin.
‘Karina’ baru ini
tersenyum, lalu berkata dalam
suara Willem, “Atau seperti ini?”
Udara bergetar lagi, lalu
di hadapan Karina berdiri Eyang.
“Atau seperti ini?” tanya ‘Eyang’
dalam suara Willem, kemudian sosoknya berubah menjadi Willem lagi.
Willem yang kini mengapung
tiga meter di atas tanah.
Karina kehilangan
kata-kata.
Willem terkekeh pelan. Ia
mendarat pelan di samping Karina. “Bagaimana? Masih mengira aku
manusia?”
Belum sempat Karina
menjawab, sebuah moncong penuh gigi tajam muncul begitu saja di sampingnya,
nyaris menyambar lengannya.
Dengan sigap Willem
menariknya ke tengah jalan setapak. Sambil menyumpah dalam bahasa yang tak
dipahami Karina, lelaki itu mengeluarkan beberapa buah pinus dari dalam
kantongnya. Karina hanya bisa terbelalak melihat telapak tangan Willem menyala
dalam kobaran api biru yang membakar buah-buah pinus itu.
Dengan marah Willem
melemparkan buah-buah pinus yang menyala
itu ke kanan dan kiri jalan setapak. Cahaya api biru itu tak cukup terang untuk
menerangi sasaran Willem, namun Karina mencium bau bulu terbakar, ditingkahi
suara dengking kesakitan dan langkah-langkah kaki menjauh.
Sejenak hutan sunyi
senyap. Willem mendengarkan dengan seksama. Setelah beberapa saat ia menoleh,
dan berkata, “Sekarang kau pasti
takut padaku.”
Karina menelan ludah
dengan susah-payah. Bulu kuduknya masih meremang hebat, namun anehnya ia tak
merasa ketakutan. Terkejut, tapi tidak takut. Digelengkannya kepala kuat-kuat.
“Tidak. Aku tidak takut.”
“Kenapa?”
“Kamu tidak jahat. Kamu
mau menolong aku.”
Willem kini tertawa terbahak-bahak. “Aku tak sebaik itu. Sudah tak
terhitung kali kubiarkan mereka
memangsa manusia yang tersasar di hutan ini. Korban mereka biasanya nyaris
habis tak tersisa.”
“Lalu kenapa kau membantuku?”
Sekejap mata Willem bersinar
dalam gelap, menatap Karina dengan lembut. “Aku… tak tahu,” jawabnya sebelum
memalingkan wajah, menghindari
tatapan Karina. “Aku… tak mau kamu mati…”
Karina tak bertanya lagi.
Benaknya sibuk mencerna apa yang barusan dilihatnya. Entah kenapa semua itu tak
lagi begitu menakutkan. Semakin dipikirkan, semakin bulat keyakinan Karina
bahwa ia aman bersama Willem. Lelaki itu tangguh. Selain itu, apapun jatidiri
Willem, lelaki itu tidak jahat. Ia tahu kedengarannya bodoh, namun ia butuh
keyakinan itu untuk bisa keluar dari tempat itu dengan selamat.
Mereka meneruskan
perjalanan dalam diam. Seperti Karina, Willem pun tenggelam dalam pikirannya
sendiri. Dalam hatinya Karina tahu, bahaya masih mengintai. Tiap kali bulan
tertutup awan, ia masih melihat sosok-sosok yang bergerak mengikuti mereka dari
balik kegelapan hutan. Para pengejarnya kembali lagi. Alih-alih jera, Karina
merasa Willem membuat mereka tak hanya lapar, namun juga marah. Mata-mata merah
yang bersinar kejam masih memandanginya. Ia masih mendengar geraman dan bunyi
rahang mengatup-ngatup dengan buas.
Aku aman bersama Willem,
kata Karina dalam hati, berusaha meyakinkan diri sendiri. Ia heran sendiri ketika menyadari
bahwa semakin mereka mendekati tepi hutan pinus, ada perasaan baru yang
mengganggunya. Perasaan… enggan pulang.
Entah dari mana asalnya, namun ia tahu, meninggalkan hutan pinus berarti
meninggalkan Willem. Meninggalkan lelaki misterius yang berjalan di sampingnya,
yang masih menopang sikunya ketika ia terhuyung, masih menjaganya, namun tak
lagi berkata apa-apa.
Dan mengakhiri kebersamaan
mereka yang singkat dan aneh ini.
Andai tidak ada para
pengejar itu, rasanya Karina tak mau pulang.
Tiba-tiba begitu saja
portal itu muncul di hadapan mereka. Bahkan dalam kegelapan Karina mengenali
palang besi yang selama ini menghalangi jalannya masuk ke hutan pinus. Mereka
menghentikan langkah.
“Jadi sampai di sini…”
Karina menunduk. “Harus ya, aku melewati portal itu?”
Willem tersenyum.
Tangannya membelai pundak Karina, menyibakkan rambutnya. “Harus. Tempatmu bukan
di sini, Karina.”
“Kenapa kamu tidak ikut
aku saja?”
“Hidupku tertambat di
sini. Di hutan ini. Di telaga
tadi. Kalau aku melewati portal itu, aku lenyap.”
Karina menatap mata biru
Willem. “Bila aku ke sini lagi, akankah aku melihatmu?”
Willem terdiam sejenak. “Aku akan melihatmu. Tapi demi
keselamatanmu sendiri, jangan kembali ke sini.”
Karina hendak membalas
ucapan Willem ketika tiba-tiba para pengejarnya yang semula bersembunyi dalam
kegelapan muncul satu demi satu mengepung mereka.
Karina menatap mereka dengan ngeri. Dugaannya ternyata salah. Mereka bukanlah
orang-orang dengan anjing-anjing besar: mereka sendiri adalah mahluk buas
berbulu hitam lebat, bermata merah dengan rahang besar menyerupai serigala, dipenuhi
geligi tajam yang mengatup-ngatup dengan buas. Air liur berbuih menetes-netes
dari sudut bibir mereka.
Willem menarik Karina ke
balik punggungnya, menjauhkannya
dari para pengejar. “Pergi dari sini. Sekarang!” desis Willem tegang sambil menatap sekelilingnya dengan waspada.
“Ayo, Karina. Panjat palangnya! Jangan takut, aku melindungimu!”
Dengan susah-payah agar
tidak menjatuhkan Ollie dari gendongannya, Karina buru-buru memanjat palang
besi itu. Dengan jantung berdebar keras, dilihatnya mahluk-mahluk itu berlompatan,
mengeroyok Willem dari segala arah. Lelaki itu melayangkan senyum padanya
sebelum menghadapi para penyerangnya dengan berani. Karina setengah mati menahan
jeritannya. Wajahnya basah oleh air mata, lalu ia mulai berlari.
Suara riuh perkelahian, raungan,
dan geraman mengiringi langkahnya sampai jauh.
*****
“Sebenarnya apa yang
kaucari di sini, Karina?” tanya Eyang.
Karina hanya bisa menatap
Eyang. Ia berharap bisa menjawab pertanyaan sederhana itu. Lelaki sepuh itu
menatapnya dengan iba bercampur sayang. Sebenarnya Eyang Kakung berhak kesal,
karena sudah tak terhitung kali Karina memintanya menemaninya kembali ke portal
itu, namun sesampainya di situ, Karina malah memandangi hutan pinus dengan
pandangan kosong.
Hari ini hari terakhir
Karina tinggal di rumah Eyang, untuk tinggal bersama Mama.
Sebisa mungkin Karina
ingin berpamitan dengan Willem. Mengucapkan selamat tinggal pada kenangan hari
itu ketika ia tersesat di hutan pinus.
Tapi ia tak kunjung
menemukan alasan untuk membenarkan kehadirannya di situ. Ia tak kunjung
menemukan kata-kata untuk Willem andai mereka bertemu. Tak kunjung menemukan
sedikitpun tanda-tanda bahwa lelaki itu juga mengingatnya.
Karina mendesah. Ia masih
bisa melihat sosok Willem di tengah serbuan mahluk-mahluk buas itu, bahkan ketika
ia memejamkan mata. Masih belum bisa melupakan senyum lelaki itu. Seakan-akan
apa yang dilihatnya malam itu diterakan di dalam kelopak matanya. Ingatan akan
suara raungan dan geraman itu juga masih membuatnya terbangun di tengah malam.
Apakah Willem selamat?
Apakah mahluk seperti Willem, apapun itu, bisa mati?
“Kau tak berpikir untuk
melompati portal itu lalu kabur ke hutan, kan?” Eyang mencoba bercanda,
membuyarkan lamunannya. “Tinggal bersama Mama bukan berarti harga mati. Kau
masih bebas memilih, ingin tinggal dengan siapa. Tinggal dengan Eyang pun tak
mengapa. Papa dan Mamamu pasti bisa menerima keputusanmu.”
Karina tersenyum lemah.
“Aku tahu, Eyang,” sahutnya. Dibiarkannya saja Eyang keliru mengartikan
sikapnya.
“Ayo kita pulang,” ajak
Karina akhirnya. Digamitnya lengan Eyang.
Untuk terakhir kali ia melayangkan
pandangan ke hutan pinus di balik portal. Sekilas dilihatnya seseorang balas
memandanginya dari balik batang-batang pinus. Namun ketika ia menajamkan mata,
tak ada siapa-siapa di sana.
Karina tersenyum. Mungkin
orang itu Willem. Mungkin juga bukan. Tetap saja hatinya terasa hangat. Willem
pasti selamat. Semoga Willem selamat. “Terima
kasih. Sampai jumpa,” bisiknya.
Dari balik batang-batang
pinus, Willem mengamati kepergian Karina. Angin membawa suara Karina ke
telinganya. Ia balas tersenyum.
“Sampai jumpa,” sahutnya.
GOOD POST MBAK
BalasHapusTerima kasih, Pak...
HapusTerima kasih juga sudah mampir.
naisssss......keep rock \m/
BalasHapus