Jumat, 03 Februari 2017

DI BALIK PORTAL part 3

Sebelumnya : DI BALIK PORTAL part 2



Karina buru-buru menoleh, menatap Willem tajam-tajam. Lelaki itu balas menatapnya sambil tersenyum. “Tapi... tapi...”


“Karena kakiku menginjak tanah? Karena kau bisa menyentuhku?” Willem terkekeh lagi. “Bisakah manusia melakukan ini?”

Willem tersenyum lagi, lalu memejamkan mata. Udara di sekitar tubuhnya beriak dan bergelombang, lalu tiba-tiba saja Karina menatap dirinya sendiri berdiri di tempat Willem semula berdiri. Begitu mirip, sampai-sampai Karina merasa tengah menatap bayangannya dalam cermin.

‘Karina’ baru ini tersenyum, lalu berkata dalam suara Willem, “Atau seperti ini?”

Udara bergetar lagi, lalu di hadapan Karina berdiri Eyang.

“Atau seperti ini?” tanya ‘Eyang’ dalam suara Willem, kemudian sosoknya berubah menjadi Willem lagi.

Willem yang kini mengapung tiga meter di atas tanah.

Karina kehilangan kata-kata.

Willem terkekeh pelan. Ia mendarat pelan di samping Karina. “Bagaimana? Masih mengira aku manusia?

Belum sempat Karina menjawab, sebuah moncong penuh gigi tajam muncul begitu saja di sampingnya, nyaris menyambar lengannya.

Dengan sigap Willem menariknya ke tengah jalan setapak. Sambil menyumpah dalam bahasa yang tak dipahami Karina, lelaki itu mengeluarkan beberapa buah pinus dari dalam kantongnya. Karina hanya bisa terbelalak melihat telapak tangan Willem menyala dalam kobaran api biru yang membakar buah-buah pinus itu.

Dengan marah Willem melemparkan buah-buah pinus yang menyala itu ke kanan dan kiri jalan setapak. Cahaya api biru itu tak cukup terang untuk menerangi sasaran Willem, namun Karina mencium bau bulu terbakar, ditingkahi suara dengking kesakitan dan langkah-langkah kaki menjauh.

Sejenak hutan sunyi senyap. Willem mendengarkan dengan seksama. Setelah beberapa saat ia menoleh, dan berkata, “Sekarang kau pasti takut padaku.”

Karina menelan ludah dengan susah-payah. Bulu kuduknya masih meremang hebat, namun anehnya ia tak merasa ketakutan. Terkejut, tapi tidak takut. Digelengkannya kepala kuat-kuat. “Tidak. Aku tidak takut.”

“Kenapa?”

“Kamu tidak jahat. Kamu mau menolong aku.”

Willem kini tertawa terbahak-bahak. “Aku tak sebaik itu. Sudah tak terhitung kali kubiarkan mereka memangsa manusia yang tersasar di hutan ini. Korban mereka biasanya nyaris habis tak tersisa.”

“Lalu kenapa kau membantuku?”

Sekejap mata Willem bersinar dalam gelap, menatap Karina dengan lembut. “Aku… tak tahu,” jawabnya sebelum memalingkan wajah, menghindari tatapan Karina. “Aku… tak mau kamu mati…”

Karina tak bertanya lagi. Benaknya sibuk mencerna apa yang barusan dilihatnya. Entah kenapa semua itu tak lagi begitu menakutkan. Semakin dipikirkan, semakin bulat keyakinan Karina bahwa ia aman bersama Willem. Lelaki itu tangguh. Selain itu, apapun jatidiri Willem, lelaki itu tidak jahat. Ia tahu kedengarannya bodoh, namun ia butuh keyakinan itu untuk bisa keluar dari tempat itu dengan selamat.

Mereka meneruskan perjalanan dalam diam. Seperti Karina, Willem pun tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dalam hatinya Karina tahu, bahaya masih mengintai. Tiap kali bulan tertutup awan, ia masih melihat sosok-sosok yang bergerak mengikuti mereka dari balik kegelapan hutan. Para pengejarnya kembali lagi. Alih-alih jera, Karina merasa Willem membuat mereka tak hanya lapar, namun juga marah. Mata-mata merah yang bersinar kejam masih memandanginya. Ia masih mendengar geraman dan bunyi rahang mengatup-ngatup dengan buas.

Aku aman bersama Willem, kata Karina dalam hati, berusaha meyakinkan diri sendiri. Ia heran sendiri ketika menyadari bahwa semakin mereka mendekati tepi hutan pinus, ada perasaan baru yang mengganggunya. Perasaan… enggan pulang. Entah dari mana asalnya, namun ia tahu, meninggalkan hutan pinus berarti meninggalkan Willem. Meninggalkan lelaki misterius yang berjalan di sampingnya, yang masih menopang sikunya ketika ia terhuyung, masih menjaganya, namun tak lagi berkata apa-apa.

Dan mengakhiri kebersamaan mereka yang singkat dan aneh ini.

Andai tidak ada para pengejar itu, rasanya Karina tak mau pulang.

Tiba-tiba begitu saja portal itu muncul di hadapan mereka. Bahkan dalam kegelapan Karina mengenali palang besi yang selama ini menghalangi jalannya masuk ke hutan pinus. Mereka menghentikan langkah.

“Jadi sampai di sini…” Karina menunduk. “Harus ya, aku melewati portal itu?”

Willem tersenyum. Tangannya membelai pundak Karina, menyibakkan rambutnya. “Harus. Tempatmu bukan di sini, Karina.”

“Kenapa kamu tidak ikut aku saja?”

“Hidupku tertambat di sini. Di hutan ini. Di telaga tadi. Kalau aku melewati portal itu, aku lenyap.”

Karina menatap mata biru Willem. “Bila aku ke sini lagi, akankah aku melihatmu?”

Willem terdiam sejenak. “Aku akan melihatmu. Tapi demi keselamatanmu sendiri, jangan kembali ke sini.

Karina hendak membalas ucapan Willem ketika tiba-tiba para pengejarnya yang semula bersembunyi dalam kegelapan muncul satu demi satu mengepung mereka. Karina menatap mereka dengan ngeri. Dugaannya ternyata salah. Mereka bukanlah orang-orang dengan anjing-anjing besar: mereka sendiri adalah mahluk buas berbulu hitam lebat, bermata merah dengan rahang besar menyerupai serigala, dipenuhi geligi tajam yang mengatup-ngatup dengan buas. Air liur berbuih menetes-netes dari sudut bibir mereka.

Willem menarik Karina ke balik punggungnya, menjauhkannya dari para pengejar. “Pergi dari sini. Sekarang!” desis Willem tegang sambil menatap sekelilingnya dengan waspada. “Ayo, Karina. Panjat palangnya! Jangan takut, aku melindungimu!”

Dengan susah-payah agar tidak menjatuhkan Ollie dari gendongannya, Karina buru-buru memanjat palang besi itu. Dengan jantung berdebar keras, dilihatnya mahluk-mahluk itu berlompatan, mengeroyok Willem dari segala arah. Lelaki itu melayangkan senyum padanya sebelum menghadapi para penyerangnya dengan berani. Karina setengah mati menahan jeritannya. Wajahnya basah oleh air mata, lalu ia mulai berlari.

Suara riuh perkelahian, raungan, dan geraman mengiringi langkahnya sampai jauh.
*****
“Sebenarnya apa yang kaucari di sini, Karina?” tanya Eyang.

Karina hanya bisa menatap Eyang. Ia berharap bisa menjawab pertanyaan sederhana itu. Lelaki sepuh itu menatapnya dengan iba bercampur sayang. Sebenarnya Eyang Kakung berhak kesal, karena sudah tak terhitung kali Karina memintanya menemaninya kembali ke portal itu, namun sesampainya di situ, Karina malah memandangi hutan pinus dengan pandangan kosong.

Hari ini hari terakhir Karina tinggal di rumah Eyang, untuk tinggal bersama Mama.

Sebisa mungkin Karina ingin berpamitan dengan Willem. Mengucapkan selamat tinggal pada kenangan hari itu ketika ia tersesat di hutan pinus.

Tapi ia tak kunjung menemukan alasan untuk membenarkan kehadirannya di situ. Ia tak kunjung menemukan kata-kata untuk Willem andai mereka bertemu. Tak kunjung menemukan sedikitpun tanda-tanda bahwa lelaki itu juga mengingatnya.

Karina mendesah. Ia masih bisa melihat sosok Willem di tengah serbuan mahluk-mahluk buas itu, bahkan ketika ia memejamkan mata. Masih belum bisa melupakan senyum lelaki itu. Seakan-akan apa yang dilihatnya malam itu diterakan di dalam kelopak matanya. Ingatan akan suara raungan dan geraman itu juga masih membuatnya terbangun di tengah malam.

Apakah Willem selamat? Apakah mahluk seperti Willem, apapun itu, bisa mati?

“Kau tak berpikir untuk melompati portal itu lalu kabur ke hutan, kan?” Eyang mencoba bercanda, membuyarkan lamunannya. “Tinggal bersama Mama bukan berarti harga mati. Kau masih bebas memilih, ingin tinggal dengan siapa. Tinggal dengan Eyang pun tak mengapa. Papa dan Mamamu pasti bisa menerima keputusanmu.”

Karina tersenyum lemah. “Aku tahu, Eyang,” sahutnya. Dibiarkannya saja Eyang keliru mengartikan sikapnya.

“Ayo kita pulang,” ajak Karina akhirnya. Digamitnya lengan Eyang.

Untuk terakhir kali ia melayangkan pandangan ke hutan pinus di balik portal. Sekilas dilihatnya seseorang balas memandanginya dari balik batang-batang pinus. Namun ketika ia menajamkan mata, tak ada siapa-siapa di sana.

Karina tersenyum. Mungkin orang itu Willem. Mungkin juga bukan. Tetap saja hatinya terasa hangat. Willem pasti selamat. Semoga Willem selamat. “Terima kasih. Sampai jumpa,” bisiknya.

Dari balik batang-batang pinus, Willem mengamati kepergian Karina. Angin membawa suara Karina ke telinganya. Ia balas tersenyum.

“Sampai jumpa,” sahutnya.



3 komentar: