Kamis, 09 Februari 2017

[IT'S MY LIFE] KACANG LUPA KULIT



Dua hal terjadi berturut-turut dua hari ini. Two things worth mentioning.


Yang pertama adalah masuknya pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal yang minta ijin memasukkan nomor ponselku ke dalam grup alumni organisasi kemahasiswaan Fakultas Hukum yang dulu pernah kuikuti.

Yang kedua adalah aku “menemukan” akun Instagram mantan… apa ya… katakanlah mantan “idola”ku jaman kuliah di Fakultas Hukum dulu. Ia adalah gambaran sempurna seorang Sarjana Hukum yang paripurna. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dengan Indeks Prestasi yang bikin aku melongo. Diterima bekerja di kantor pengacara top di Jakarta. Malang-melintang di dunia hukum bisnis (walaupun aku tahu background-nya adalah hukum internasional). Lama tinggal di luar negeri. Sekarang kembali ke almamater sebagai dosen yang tak hanya berbekal teori, namun lengkap dengan pengalaman praktek yang mumpuni.

Dua hal itu mau tak mau membangkitkan kenangan masa lalu. Seperti biasa, bila menyangkut urusan masa lalu, aku selalu merasa ada sesuatu yang tidak pas. Tidak nyaman. Misplaced. Nyata tapi tidak nyata.

Soalnya begini…

Walaupun benar aku alumni Fakultas Hukum, tapi seumur hidupku, aku tak pernah merasa menjadi bagian dari dunia hukum. Baik semasa kuliah, apalagi setelah lulus.

Sebagai ibu muda yang merangkap jadi mahasiswa, aku tak bisa sepenuhnya berkonsentrasi kuliah. Selalu saja ada hal-hal yang membuatku hilang fokus. Si anak lanang mendadak panas. Waktunya imunisasi. Tumbuh gigi. Belajar jalan. Atau sekedar merajuk tak mau ditinggal kuliah.

Jadilah aku sering bolos. Kalaupun masuk, aku sulit berkonsentrasi. Semua ilmu yang kudapat di bangku kuliah hanya sekedar lewat saja. Mengerjakan tugas disambi momong. Apabila memungkinkan, kuajak anak lanang ke kampus. Siapa yang menjaganya bila aku kuliah? Ya teman-temankulah… Belakangan, ketika aku mengerjakan skripsi, mereka juga yang menunggui anak lanang waktu aku sedang menghadap dosen pembimbing. Many, many thanks, Guys

Kemudian ditambah dengan urusan cari duit buat menghidupi si anak lanang. Bukan keharusan memang, karena orang tuaku tentu masih mau ikut membiayai cucunya. Namun mengingat pernikahanku saja sudah cukup membebani pikiran mereka, aku tak mau membebani mereka untuk menghidupi anakku. Jadi mau tak mau, aku memang harus bekerja.

Sebagai mahasiswa yang lulus saja belum, pekerjaan apa yang bisa kulakukan? Yak, menjadi guru les privat. Materi apa yang kuajarkan? Satu-satunya pelajaran yang kukuasai dan kusenangi: Bahasa Inggris.

See?

Bahkan pekerjaan pertamaku pun bukan di dunia hukum.

Setelah lulus dari Fakultas Hukum,  banyak teman yang mengajakku untuk mencoba peruntungan di Jakarta. Kata mereka, banyak peluang kerja di sana. Tapi aku menolak. Entah kenapa aku tak pernah tertarik pindah ke Jakarta. Tak seperti mayoritas teman-teman kuliahku yang sejak belum lulus pun sudah mengincar pekerjaan di sana. Nyaris semua teman mencibir, mengira aku tak punya nyali untuk bertarung di Jakarta. Termasuk (mantan) suamiku yang memang sedari SMA sudah ingin hijrah ke sana. Penolakanku ini bahkan menjadi pertengkaran besar pertama kami.

Bertahan di Kota Malang membuatku bertahan jadi guru juga. Melihat itu, ayahku menyarankan aku sekalian mencari Akta Mengajar supaya lebih mumpuni sebagai guru. Jadilah setelah wisuda sarjana, aku mendaftar masuk Universitas Negeri Malang untuk mengikuti Program Pendidikan Akta IV. Perkuliahan hanya enam bulan, di mana bulan terakhir digunakan untuk praktek lapangan.

Tak lama setelah aku memperoleh Akta Mengajar, pemerintah menyatakan bahwa Akta Mengajar tidak berlaku lagi. Ouch, that hurt… Tapi tak masalah, karena dengan atau tanpa Akta itu, aku sudah telanjur jadi guru.

Perjalananku makin jauh dari dunia hukum ketika aku kemudian menjadi pegawai negeri. Tugasku lebih banyak menyusun perencanaan dan menganalisa. Kalaupun bersinggungan dengan dunia hukum, paling-paling hanya 25-30% saja. Karena itu, bila sedang rindu dengan “aroma” hukum, aku singgah ke Bagian Hukum. Di kantor yang terletak di bagian depan Balaikota Malang itu atmosfernya “hukum banget”. Dan karena rata-rata mereka sealmamater denganku, aku bisa diterima dengan tangan terbuka namun tanpa merasa dihakimi karena "kegalauanku" di bidang hukum. Mereka tahu betul apa pekerjaanku.

Sekian lama tidak menjamah bidang hukum membuatku hilang arah setiap kali aku “terpaksa” diingatkan bahwa aku ini Sarjana Hukum.


Lalu sekarang ini… ajakan untuk bergabung dengan grup alumni organisasi kemahasiswaan Hukum. Begitu permintaan itu muncul, aku sudah maju-mundur, bergabung atau tidak. I am a fish out of water. Aku ini bukan notaris. Bukan pengacara. Bukan hakim. Bukan jaksa. Legal officer perusahaan pun bukan. Belum apa-apa aku sudah merasa “salah tempat”.

Sudah sejak lama sekali dunia hukum bukanlah duniaku. Mungkin sejak awal memang tak pernah menjadi duniaku. Kalaupun diingatkan bahwa aku ini Sarjana Hukum, maka aku bisa dianggap kacang lupa kulit. Lupa asal-usul, walaupun benar-benar lupa, bukan sengaja lupa. 

Sudah terlalu lama “kacang” ini meninggalkan “kulit”nya. Masih layakkah ia disebut “kacang” bila bentuk “kulit”nya saja ia sudah tak ingat?


Baiklah. Ijinkan aku menyimpulkan bahwa aku ini bukan “kacang”, apalagi kacang yang lupa kulitnya. 

Aku ini “kacang mede”.




7 komentar: