Dua hal terjadi
berturut-turut dua hari ini. Two things
worth mentioning.
Yang pertama adalah masuknya
pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal
yang minta ijin memasukkan nomor ponselku ke dalam grup alumni organisasi
kemahasiswaan Fakultas Hukum yang dulu pernah kuikuti.
Yang kedua adalah aku “menemukan”
akun Instagram mantan… apa ya…
katakanlah mantan “idola”ku jaman kuliah di Fakultas Hukum dulu. Ia adalah gambaran
sempurna seorang Sarjana Hukum yang paripurna. Lulus dari Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro dengan Indeks Prestasi yang bikin aku melongo. Diterima bekerja
di kantor pengacara top di Jakarta. Malang-melintang di dunia hukum bisnis
(walaupun aku tahu background-nya adalah
hukum internasional). Lama tinggal di luar negeri. Sekarang kembali ke
almamater sebagai dosen yang tak hanya berbekal teori, namun lengkap dengan
pengalaman praktek yang mumpuni.
Dua hal itu mau tak mau
membangkitkan kenangan masa lalu. Seperti biasa, bila menyangkut urusan masa
lalu, aku selalu merasa ada sesuatu yang tidak pas. Tidak nyaman. Misplaced. Nyata tapi tidak nyata.
Soalnya begini…
Walaupun benar aku alumni
Fakultas Hukum, tapi seumur hidupku, aku tak pernah merasa menjadi bagian dari
dunia hukum. Baik semasa kuliah, apalagi setelah lulus.
Sebagai ibu muda yang
merangkap jadi mahasiswa, aku tak bisa sepenuhnya berkonsentrasi kuliah. Selalu
saja ada hal-hal yang membuatku hilang fokus. Si anak lanang mendadak panas. Waktunya
imunisasi. Tumbuh gigi. Belajar jalan. Atau sekedar merajuk tak mau ditinggal
kuliah.
Jadilah aku sering bolos. Kalaupun
masuk, aku sulit berkonsentrasi. Semua ilmu yang kudapat di bangku kuliah hanya
sekedar lewat saja. Mengerjakan tugas disambi momong. Apabila memungkinkan,
kuajak anak lanang ke kampus. Siapa yang menjaganya bila aku kuliah? Ya teman-temankulah…
Belakangan, ketika aku mengerjakan skripsi, mereka juga yang menunggui anak
lanang waktu aku sedang menghadap dosen pembimbing. Many, many thanks, Guys…
Kemudian ditambah dengan
urusan cari duit buat menghidupi si anak lanang. Bukan keharusan memang, karena
orang tuaku tentu masih mau ikut membiayai cucunya. Namun mengingat
pernikahanku saja sudah cukup membebani pikiran mereka, aku tak mau membebani mereka untuk menghidupi anakku. Jadi mau tak mau, aku memang harus bekerja.
Sebagai mahasiswa yang lulus
saja belum, pekerjaan apa yang bisa kulakukan? Yak, menjadi guru les privat. Materi
apa yang kuajarkan? Satu-satunya pelajaran yang kukuasai dan kusenangi: Bahasa
Inggris.
See?
Bahkan pekerjaan pertamaku
pun bukan di dunia hukum.
Setelah lulus dari Fakultas
Hukum, banyak teman yang mengajakku
untuk mencoba peruntungan di Jakarta. Kata mereka, banyak peluang kerja di
sana. Tapi aku menolak. Entah kenapa aku tak pernah tertarik pindah ke Jakarta. Tak seperti mayoritas teman-teman kuliahku yang sejak belum lulus pun sudah
mengincar pekerjaan di sana. Nyaris semua teman mencibir, mengira aku tak punya
nyali untuk bertarung di Jakarta. Termasuk (mantan) suamiku yang memang sedari
SMA sudah ingin hijrah ke sana. Penolakanku ini bahkan menjadi pertengkaran
besar pertama kami.
Bertahan di Kota Malang
membuatku bertahan jadi guru juga. Melihat itu, ayahku menyarankan aku sekalian
mencari Akta Mengajar supaya lebih mumpuni sebagai guru. Jadilah setelah
wisuda sarjana, aku mendaftar masuk Universitas Negeri Malang untuk mengikuti Program
Pendidikan Akta IV. Perkuliahan hanya enam bulan, di mana bulan terakhir
digunakan untuk praktek lapangan.
Tak lama setelah aku
memperoleh Akta Mengajar, pemerintah menyatakan bahwa Akta Mengajar tidak berlaku
lagi. Ouch, that hurt… Tapi tak
masalah, karena dengan atau tanpa Akta itu, aku sudah telanjur jadi guru.
Perjalananku makin jauh dari
dunia hukum ketika aku kemudian menjadi pegawai negeri. Tugasku lebih banyak
menyusun perencanaan dan menganalisa. Kalaupun bersinggungan dengan dunia
hukum, paling-paling hanya 25-30% saja. Karena itu,
bila sedang rindu dengan “aroma” hukum, aku singgah ke Bagian Hukum. Di kantor
yang terletak di bagian depan Balaikota Malang itu atmosfernya “hukum banget”. Dan
karena rata-rata mereka sealmamater denganku, aku bisa diterima dengan tangan
terbuka namun tanpa merasa dihakimi karena "kegalauanku" di bidang hukum. Mereka tahu betul apa pekerjaanku.
Sekian lama tidak menjamah
bidang hukum membuatku hilang arah setiap kali aku “terpaksa” diingatkan bahwa
aku ini Sarjana Hukum.
Lalu sekarang ini… ajakan
untuk bergabung dengan grup alumni organisasi kemahasiswaan Hukum. Begitu
permintaan itu muncul, aku sudah maju-mundur, bergabung atau tidak. I am a fish out of water. Aku ini bukan
notaris. Bukan pengacara. Bukan hakim. Bukan jaksa. Legal officer perusahaan pun bukan. Belum apa-apa aku sudah merasa “salah
tempat”.
Sudah sejak lama sekali
dunia hukum bukanlah duniaku. Mungkin sejak awal memang tak pernah menjadi
duniaku. Kalaupun diingatkan bahwa aku ini Sarjana Hukum, maka aku bisa
dianggap kacang lupa kulit. Lupa asal-usul, walaupun benar-benar lupa, bukan
sengaja lupa.
Sudah terlalu lama “kacang”
ini meninggalkan “kulit”nya. Masih layakkah ia disebut “kacang” bila bentuk “kulit”nya
saja ia sudah tak ingat?
Baiklah. Ijinkan aku menyimpulkan bahwa aku ini bukan “kacang”,
apalagi kacang yang lupa kulitnya.
Aku ini “kacang mede”.
kacang tanpa kulit. :)
BalasHapusHahahahaha...
HapusKacang atom, mungkin?
Matur nuwun sudah mampir, Mas.
good post mbak
BalasHapusTerima kasih, Pak.
HapusTerima kasih juga sudah mampir...
Perjuangannya luar biasa Bu :) #salut
BalasHapusSekedar menjalani aja kok, Mbak... :)
HapusTerima kasih.
Terima kasih juga sudah singgah.
Sy milih kacang sukro sj mba Dani 😃
BalasHapus