Jumat, 03 Maret 2017

[IT'S MY LIFE] (TIDAK ADA JUDUL)

Ibarat pejalan, aku sudah berjalan terlalu jauh.



Ibarat pejalan, aku sudah berjalan terlalu jauh. Melewati hidup dengan semangat hijau dan liar. Tikungan-tikungan patah menjadi saksi. Hinggap dari satu pelukan kekasih ke pelukan kekasih yang lain. Nyaris tidak ada kesulitan untuk mengatakan rasa sayang, dan nyaris tidak ada pula kesulitan untuk mengatakan selamat tinggal. Yang kudatangi menangis dan membuka diri, yang kutinggalkan bisa menerima diri. Semua sayang. Semua sayang. Semua sayang. Bahkan ketika ditinggalkan.

Mereka tahu aku sangat menderita. Tuhan tahu aku sangat menderita. Mereka menyayangiku. Tuhan menyayangiku. Aku membayar penderitaanku dengan marah dan brutal. Marah yang diam. Brutal yang hening. Semua seperti kepundan, tapi tidak pernah terjadi ledakan. Aku muda. Aku merah. Aku marah. Dan aku lelah. Mataku mengeluarkan api. Mulutku memantik api. Tanganku memercikkan api. Semua ikut terbakar. Semua menyediakan diri dibakar. Aku membakar diri bersama banyak orang.

Lalu datang masa gigil itu. Dingin yang membekap erat tulang punggungku. Memerasnya, memelintirnya sampai kepada rasa sakit yang tak tertanggungkan. Sampai kepada hening yang paling bening. Sampai kepada gunung hijau tinggi. Sampai kepada langit biru tinggi. Sampai kepada pucuk daun lembut tinggi. Sampai kepada aku yang kecil dan terbang. Aku benci kebebasanku. Aku benci kehebatanku. Aku benci orang yang mengagumiku. Aku benci orang yang menerimaku. Aku benci mengapa aku dibiarkan menempuh perjalanan sunyi ini seorang diri.

Aku ingin duduk tenang di sebuah kursi, sambil menunggu terbitnya matahari. Aku ingin membuat keputusan kecil yang sederhana. Aku ingin menahan diri untuk tidak meninggalkan seseorang. Aku ingin menghadang diriku sendiri ketika ingin menghampiri orang yang lain.

Aku ingin membakar masa laluku. Aku ingin membakar karmaku. Aku ingin meluruskan dan melenturkan tulang punggungku. Aku ingin napas yang ringan mengalir di seluruh tubuhku. Aku ingin ada titik pusat yang terletak pada tiga jari di atas pusarku. Tapi aku tidak ingin sakti. Aku tidak ingin ada keajaiban lagi. Aku tidak ingin dibawa ke sebuah dunia di mana aku merasa sudah bukan manusia lagi. Aku ingin tetap menjadi manusia. Aku tetap ingin kadang bersedih. Tapi aku juga ingin sesekali bahagia.

Aku ingin membangunkan seorang perempuan dari tidurnya. Aku ingin membuatkan minuman. Aku ingin membunyikan musik yang membuatnya tersenyum. Aku ingin membacakan puisi-puisi pendek. Aku ingin membisikkan kata-kata sederhana. Aku ingin berterus terang tentang masa laluku. Aku ingin ia menerimaku bukan karena cerita-cerita bodohku. Bukan karena mereka terlena oleh kalimat-kalimat yang kupilin dan kupintal. Itu bukan aku. Itu bukan aku. Itu bukan aku.

Aku ingin mereka menyadari bahwa aku hanya seseorang yang iseng menuliskan sesuatu, dan sialnya banyak orang beranggapan aku begitu serius dan hebat. Mereka tertipu oleh sesuatu yang bahkan tidak terbersit sedikitpun dalam niatanku.

Aku ingin bilang ke mereka semua, berhentilah bertanya kepadaku. Berhentilah menunggu kalimat-kalimatku selanjutnya. Berhentilah berharap akan ada hal hebat yang kuucapkan. Berhentilah untuk membuat diriku tiba-tiba merasa aku memang hebat. Berhentilah mengirimiku surat-surat elektronik. Berhentilah mengirimiku pesan-pesan pendek. Berhentilah menanyakan kabarku. Tapi sekaligus berhentilah untuk menyerangku. Berhentilah, agar aku merasa bahwa aku tidak sedang diserang.

Aku ingin kursimu yang tenang itu. Kalau kamu mau, tukarlah dengan kursi yang sekarang sedang kududuki.

Jangan biarkan aku membenci diriku terus-menerus. Jangan biarkan. Aku hanya ingin sedikit sembuh, dari dunia yang sakit ini…

Aku tidak ingin cinta yang sejati. Tapi biarkan aku mencicipi cinta yang bukan sesaat. Biarkan aku berjuang dan bertahan di sana. Biarkan aku tersiksa untuk terus belajar bersetia. Aku rela tenggelam di sana, sebagaimana segelintir orang yang beruntung mendapatkannya.

Sesungguhnya, aku hanya ingin kebahagiaan yang sederhana. Sesederhana membangunkan seseorang dari tidurnya di pagi hari, dan kemudian bercinta…


Cinta Tak Pernah Tepat Waktu. Puthut EA. Cetakan I. yogyakarta: Orakel. Juli 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar