Ibarat pejalan, aku sudah berjalan terlalu jauh. Melewati hidup dengan semangat hijau dan liar. Tikungan-tikungan patah menjadi saksi. Hinggap dari satu pelukan kekasih ke pelukan kekasih yang lain. Nyaris tidak ada kesulitan untuk mengatakan rasa sayang, dan nyaris tidak ada pula kesulitan untuk mengatakan selamat tinggal. Yang kudatangi menangis dan membuka diri, yang kutinggalkan bisa menerima diri. Semua sayang. Semua sayang. Semua sayang. Bahkan ketika ditinggalkan.
Mereka tahu aku sangat
menderita. Tuhan tahu aku sangat menderita. Mereka menyayangiku. Tuhan
menyayangiku. Aku membayar penderitaanku dengan marah dan brutal. Marah yang
diam. Brutal yang hening. Semua seperti kepundan, tapi tidak pernah terjadi
ledakan. Aku muda. Aku merah. Aku marah. Dan aku lelah. Mataku mengeluarkan
api. Mulutku memantik api. Tanganku memercikkan api. Semua ikut terbakar. Semua
menyediakan diri dibakar. Aku membakar diri bersama banyak orang.
Lalu datang masa gigil itu.
Dingin yang membekap erat tulang punggungku. Memerasnya, memelintirnya sampai
kepada rasa sakit yang tak tertanggungkan. Sampai kepada hening yang paling
bening. Sampai kepada gunung hijau tinggi. Sampai kepada langit biru tinggi.
Sampai kepada pucuk daun lembut tinggi. Sampai kepada aku yang kecil dan terbang.
Aku benci kebebasanku. Aku benci kehebatanku. Aku benci orang yang mengagumiku.
Aku benci orang yang menerimaku. Aku benci mengapa aku dibiarkan menempuh
perjalanan sunyi ini seorang diri.
Aku ingin duduk tenang di
sebuah kursi, sambil menunggu terbitnya matahari. Aku ingin membuat keputusan
kecil yang sederhana. Aku ingin menahan diri untuk tidak meninggalkan
seseorang. Aku ingin menghadang diriku sendiri ketika ingin menghampiri orang
yang lain.
Aku ingin membakar masa
laluku. Aku ingin membakar karmaku. Aku ingin meluruskan dan melenturkan tulang
punggungku. Aku ingin napas yang ringan mengalir di seluruh tubuhku. Aku ingin
ada titik pusat yang terletak pada tiga jari di atas pusarku. Tapi aku tidak
ingin sakti. Aku tidak ingin ada keajaiban lagi. Aku tidak ingin dibawa ke
sebuah dunia di mana aku merasa sudah bukan manusia lagi. Aku ingin tetap
menjadi manusia. Aku tetap ingin kadang bersedih. Tapi aku juga ingin sesekali
bahagia.
Aku ingin membangunkan
seorang perempuan dari tidurnya. Aku ingin membuatkan minuman. Aku ingin
membunyikan musik yang membuatnya tersenyum. Aku ingin membacakan puisi-puisi
pendek. Aku ingin membisikkan kata-kata sederhana. Aku ingin berterus terang
tentang masa laluku. Aku ingin ia menerimaku bukan karena cerita-cerita bodohku.
Bukan karena mereka terlena oleh kalimat-kalimat yang kupilin dan kupintal. Itu
bukan aku. Itu bukan aku. Itu bukan aku.
Aku ingin mereka menyadari
bahwa aku hanya seseorang yang iseng menuliskan sesuatu, dan sialnya banyak
orang beranggapan aku begitu serius dan hebat. Mereka tertipu oleh sesuatu yang
bahkan tidak terbersit sedikitpun dalam niatanku.
Aku ingin bilang ke mereka
semua, berhentilah bertanya kepadaku. Berhentilah menunggu kalimat-kalimatku
selanjutnya. Berhentilah berharap akan ada hal hebat yang kuucapkan.
Berhentilah untuk membuat diriku tiba-tiba merasa aku memang hebat. Berhentilah
mengirimiku surat-surat elektronik. Berhentilah mengirimiku pesan-pesan pendek.
Berhentilah menanyakan kabarku. Tapi sekaligus berhentilah untuk menyerangku.
Berhentilah, agar aku merasa bahwa aku tidak sedang diserang.
Aku ingin kursimu yang
tenang itu. Kalau kamu mau, tukarlah dengan kursi yang sekarang sedang
kududuki.
Jangan biarkan aku membenci
diriku terus-menerus. Jangan biarkan. Aku hanya ingin sedikit sembuh, dari
dunia yang sakit ini…
Aku tidak ingin cinta yang
sejati. Tapi biarkan aku mencicipi cinta yang bukan sesaat. Biarkan aku
berjuang dan bertahan di sana. Biarkan aku tersiksa untuk terus belajar
bersetia. Aku rela tenggelam di sana, sebagaimana segelintir orang yang
beruntung mendapatkannya.
Sesungguhnya, aku hanya
ingin kebahagiaan yang sederhana. Sesederhana membangunkan seseorang dari
tidurnya di pagi hari, dan kemudian bercinta…
Cinta Tak Pernah Tepat
Waktu. Puthut EA. Cetakan I. yogyakarta: Orakel. Juli 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar