“Jadi... hanya sampai di sini?”
Aku mengangguk. Lidahku kelu. “Aku sudah
tidak bisa lagi... Benar-benar tidak bisa...”
Perempuan di hadapanku mendesah frustrasi.
“Suamimu tahu tentang kita, ya?”
Aku mengangguk lagi. “Maaf...”
Ia mengusap rambut panjangnya yang kusut-masai.
Mata lelahnya memandangiku. Lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan bahwa
ia kurang tidur. Begitu juga aku.
Kami terdiam. Air mata pelan-pelan meluncur
di pipiku. Aku tak tahan lagi...
“Aku mencintaimu,” bisiknya.
“Aku juga.”
“Dan menurutmu, kita tidak bisa bersama
lagi.”
Aku mengangguk sambil menunduk. Tak sanggup
kutatap wajahnya.
Kami terdiam lagi. Ia mengulurkan tangannya,
yang kusambut dengan sepenuh hati. Telapak tangan kami saling menempel erat.
Aku memejamkan mata, merasakan hangatnya rasa yang tersambung.
Sebuah tangan menepuk pundakku lembut. “Bu,
saatnya minum obat,” seorang perempuan berbaju putih berwajah lembut berkata
padaku.
Aku menurut ketika ia menuntunku bangkit.
Seorang rekannya menyingkirkan cermin dari tempatku duduk tadi sambil
menggerutu, “Siapa sih yang naruh cermin ini di sini?”
Note:
Tulisan ini pernah dimuat di akun Facebook-ku tanggal 28 Maret 2014.
Nggak tahan aja untuk tidak memuatnya di blog-ku ini...
Tulisan ini pernah dimuat di akun Facebook-ku tanggal 28 Maret 2014.
Nggak tahan aja untuk tidak memuatnya di blog-ku ini...
good post
BalasHapus