Minggu, 06 Februari 2022

KETIKA ITU HUJAN DI PECINAN

 “Hangat” bukanlah kata yang rencananya akan kugunakan ketika bicara tentang Klenteng Eng An Kiong.

 Tapi justru kata itulah yang muncul di kepalaku ketika pagi hari tanggal 5 Pebruari 2022 kakiku menapaki halamannya.

Hangat.

Hujan yang mengguyur sejak lepas subuh memburamkan hari, tapi bukan dingin yang kurasakan.

Bukan hanya karena hangatnya warna merah sebagai penanda Imlek, namun juga karena auranya ramah menyambut . 

Hangat! (foto dokumentasi pribadi)

Selamat datang!

Pak Rudi, salah seorang pengurus yayasan yang menaungi tempat ibadah tiga agama yang berdiri sejak tahun 1825 itu, mendampingi kami selama kunjungan. Kebanggaan dan kecintaannya pada Klenteng disampaikannya lewat tutur kata dan pandangan mata yang lembut.

 

Pak Rudi di depan altar Dewa Bumi (foto dokumentasi pribadi)

Tapi tetap saja beliau berkata, “Sudah jarang anak muda yang menganut tiga agama yang ada di Klenteng ini. Sudah sulit mencari generasi penerus yang aktif di Klenteng.”

“Mungkin,” duganya,” karena tata cara (ibadahnya, pen.) dianggap rumit.”

Ah ya… wajar kiranya keinginan bahwa Klenteng akan langgeng bergenerasi-generasi mendatang. Dan Pak Rudi, sewajarnya, ingin ada penerus yang mumpuni. Yang merawat dan menjaga Klenteng dengan kecintaan dan dedikasi sebesar pendahulunya.

Semoga.

“Klenteng punya tiga misi,” katanya. “Sebagai tempat ibadah, melestarikan budaya, dan misi sosial.”

Misi ketiga itulah yang membawa kami ke bangunan lawas di belakang Klenteng.

Monrepos (foto dokumentasi pribadi)

Monrepos, nama yang tertera di atas tembok. Sayang huruf “M”-nya hilang, sehingga terbaca “Onrepos”. Kata Pak Rudi, itu sebuah tempat pelesir di Eropa. Perancis? Jerman? Pokoknya di situlah.

Keluarga pemilik asli rumah itu menghibahkannya pada Klenteng, sebelum meninggalkan Indonesia dan tinggal di Belanda. Sekarang digunakan untuk balai pengobatan yang dikelola Klenteng. Ada tiga dokter yang melayani masyarakat sekitar Klenteng, namun saat itu tidak ada yang praktek. Mungkin karena akhir minggu.

Ah, senangnya melihat rumah tua yang tidak hanya masih aktif digunakan, namun juga terawat cantik. Terasa hidup dan menghidupi, bukan semacam monumen yang berjarak dari sentuhan manusia.

Jam dinding cantik di Monrepos (foto dokumentasi pribadi)

Lepas dari kunjungan singkat ke Monrepos, mulailah Mbloesoekan –En Djagongan Petjinan kami dari komunitas Malang Old Photo di wilayah Pasar Besar dan sekitarnya. Hujan masih mengiringi langkah kami. Derainya sukses membawa dingin di pagi hari yang seharusnya mulai menghangat, namun gagal menyurutkan langkah kami.

Pasar Besar, cikal-bakal pasar di Kota Malang, masih menyisakan bangunan-bangunan lawas. Ada yang masih bisa dilihat bentuknya, banyak yang sudah beralih rupa. Bagi awam sepertiku, bila tak ada Pak Irawan yang memandu sekaligus mencerdaskan, rasanya semua bangunan sama saja. Tidak ada emosi yang bangkit selain ngenes melihat bangunan lama yang dibiarkan tak terawat, pelan-pelan dimakan jaman.

Namun sudut-sudut tak terduga ternyata punya cerita yang dekat denganku. Toko Tolaram, misalnya. Orang Malang asli pasti tahu toko ini, yang terletak di pojok pertigaan Pasar Besar. Alkisah, akhir tahun 1970-an, salah satu tanteku bekerja sebagai pramuniaga di situ. Pekerjaan yang saat itu cukup bergengsi karena Toko Tolaram terkenal sebagai penyedia bahan kain (dan belakangan penjahit) bergengsi. Kalau sekarang mungkin sekelas butik Wong Hang di Jakarta. Hanya orang berduit yang bisa memesan setelan jas di situ.

Tolaram kini penuh grafiti (foto dokumentasi pribadi)

Setelah era Toko Tolaram, toko itu dikenal sebagai Toko Altara, menjual pernak-pernik busana muslim dan perlengkapan haji. Namun beberapa tahun terakhir ini Toko Altara sudah pindah, dan gedung Tolaram dibiarkan kosong. Entah akan digunakan sebagai apa nantinya.

Jalan Zainul Arifin, sebelah utara Pasar Besar, ternyata disebut Jalan Kudusan karena dulunya di sana banyak tinggal pedagang asal Kudus yang berjualan sarung, peci, dan sebangsanya. Saat ini masih tersisa satu-dua toko yang tetap berjualan sarung dan peci.

Dari pertigaan Pasar Besar, kami bergeser ke Jalan Wiromargo, atau dulu dikenal sebagai Embong Petjinan Tjilik. Aku antusias karena di sana ada tempat yang sedari dulu ingin kukunjungi tapi tak pernah sempat, yaitu Museum Bentoel. Seperti Museum Sampoerna di Surabaya, museum ini konon berisi sejarah perusahaan produsen rokok besar di Indonesia, yaitu rokok merek Bentoel.

Antiklimaks, karena museum itu sudah tidak ada lagi.

Yungalah... kok dijual... (foto dokumentasi pribadi)

Bahkan bangunannya ditempeli spanduk DIJUAL.

Aku kehilangan kata-kata.

Konon katanya sejak pandemi, museum sudah tidak menerima pengunjung. Entah kenapa malah sekarang dijual.

Owalah… andai uangku banyak…

Atau mungkin Pembaca ada yang mau mengadopsi bangunan itu?

(Rasanya kok tidak manusiawi kalau “membeli”. Rasanya lebih pas kok “mengadopsi”, karena mengingat usianya, bangunan lawas perlu perawatan dengan cinta dan kasih sayang dari pemiliknya, bukan sekedar “dimiliki”).

Jalan Wiromargo ternyata menyimpan rahasia lain. Di satu gang sempit ternyata tersembunyi sebuah makam lawas bertuliskan “Pesarean Mbah Wiro”. Konon almarhum Mbah Wiro ini adalah salah salah satu prajurit Pangeran Diponegoro yang lari ke Jawa Timur setelah Perang Jawa tahun 1825-1830. Beliau bermukim di wilayah itu dan menjadi salah satu tokoh agama yang berpengaruh di sana.

Al Fatihah... (foto dokumentasi pribadi)

Pak Irawan bilang, masih ada lagi makam-makam prajurit Pangeran Diponegoro di Kota Malang. Aku jadi penasaran…

Dari Jalan Wiromargo, kami bergeser ke Gang Satria atau dikenal sebagai Jalan Urek-urek. Jalan yang dulunya sengaja dibiarkan berkerikil karena, “Satu, untuk menyerap air hujan. Dua, untuk keamanan. Dulu kan rumah-rumah tidak berpagar. Jalan berkerikil ini fungsinya untuk keamanan, karena kerikil pasti berbunyi kalau diinjak. Nah, kalau ada yang lewat, jadi ketahuan,” terang Pak Irawan.

Kerikilnya sekarang sudah habis, namun di situ masih berderet beberapa ruko yang didirikan antara tahun 1910-1920, walaupun saat ini sudah tidak lagi digunakan untuk berjualan. Salah satu ruko dua lantai yang masih asli bisa dilihat berikut ini.

Tetap kokoh walau sudah seabad (foto dokumentasi pribadi)



 
Jalan Urek-urek era 2022 (foto diambil dari Whatsapp Group @Bloesoekan Petjinan MOP)

Salah satu ruko lawas di Gang Satria ini saat ini sedang dalam pembenahan. Konon akan dijadikan kafe, mengikuti tren usaha yang sedang marak di Kota Malang. Baiklah, sebagai salah satu upaya hidup dan menghidupi bangunan lawas.

Sepanjang jalan dari Gang Satria ke daerah Kidul Pasar melewati Jalan Profesor Yamin, kami masih menemukan bangunan-bangunan lawas yang masih digunakan sebagai rumah tinggal. Senang rasanya melihat bangunan-bangunan itu masih dirawat baik, walaupun sudah dihimpit perkembangan jaman.

Maaf tidak terdokumentasi karena belum minta ijin penghuni rumah.

Menuju gedung Ex Bioskop Garuda, kami melewati Monumen Prasasti Pejuang yang mengabadikan nama-nama arek Kidul Pasar yang gugur semasa Revolusi 1945. Lima belas nama tertulis di situ, namun aku yakin masih banyak lagi yang tak terdokumentasi namun tak kurang jasanya. Ah, Al Fatihah untuk mereka semua, di manapun mereka gugur dan dimakamkan. 

Arek Kidul Pasar ancen mbois ! (foto dokumentasi pribadi)

Gedung ex Bioskop Garuda sejatinya adalah salah satu sekolah Tionghoa yang dibangun pada jaman Belanda. Aula besar berada di tengah, diapit ruang-ruang kelas di sisi kanan dan kirinya. 

Dulu versus sekarang (foto dokumentasi pribadi)

Perkembangan jaman membawa bangunan itu pada dua fungsi yang bertolak-belakang. Aula besar di tengah menjadi Bioskop Garuda, sedangkan ruang-ruang kelas tetap difungsikan sebagai sekolah. Semula bernama SDN Kidul Pasar, belakangan menjadi SDN Sukoharjo I.

Terkait dualisme bioskop-dan-sekolah ini Pak Irawan punya cerita.

Ketika Bioskop Garuda masih beroperasi, halaman parkirnya juga aktif digunakan sebagai tempat upacara bendera setiap hari Senin. Nah, namanya bioskop, pasti memajang poster film yang sedang diputar. Bisa dibayangkan, di era 1970-1980an itu, poster yang seronok bisa langsung dilihat peserta upacara yang manis dan imut-imut.

Untuk mengakalinya, pengelola bioskop punya pegawai yang khusus bertugas menggulung dan membeber ulang poster film setiap hari.

Repot? Ya memang… tapi mau bagaimana lagi?

Destinasi kami selanjutnya adalah SMA Negeri 2 Malang. Sekolah yang awalnya didirikan untuk mewadahi para pemuda TRIP yang ingin kembali bersekolah selepas perang ini,  adalah tempat tinggal seorang Tionghoa sebelum diserahkan pada Pemerintah Belanda. Si pemilik asli meninggalkan inisial namanya di ornamen kaca dalam bangunan utama SMA Negeri 2. Belum diketahui identitas lengkap pemilik inisial T.T.K ini, kecuali bahwa dia adalah seorang yang kaya raya karena bangunan yang dimilikinya terbuat dari bahan kelas satu dengan ornamen bercita rasa seni yang tinggi.

Bikin penasaran... Rumahnya sebagus ini, pemiliknya seperti apa?

Dulu versus sekarang (foto dokumentasi pribadi)

 
T.T.K yang misterius (foto dokumentasi pribadi)

Perjalanan kami diakhiri di Warung Tahu Lontong Lonceng legendaris, yang saat ini sudah dikelola generasi keempat. Alhamdulillah… kenikmatan hakiki pas sedang lapar-laparnya. 

Hidden gem kuliner Kota Malang (foto dokumentasi pribadi

 
Cukup 5 menit, tandas! (foto dokumentasi pribadi)

Kenapa disebut lonceng?

Karena di pertigaan dekat situ dulunya ada tugu jam lonceng yang terkenal. Sekarang tugu itu sudah tak ada lagi.

Dulu versus sekarang, diambil di depan warung tahu lontong (foto dokumentasi pribadi)

Sebagaimana awalnya, perjalanan kami pun berujung di Klenteng Eng An Kiong. Hujan sudah berhenti, sinar matahari masih malu-malu, tapi temperatur sudah merangkak naik. Tengah hari tak terasa. Kami berpisah dengan hati hangat, dengan janji akan blusukan lagi.

Semoga dalam waktu dekat.

Semoga tetap dalam sehat.

Tebak gambar, aku yang mana hayooo... 😛 (foto diambil dari Whatsapp Group @Bloesoekan Petjinan MOP) 

 

 

1 komentar: