Minggu, 27 Maret 2022

MINGGU DI TUGU

Apa persamaan sekolah dan markas militer?

Ah, simpel saja. 

Keduanya sama-sama kami sambangi dalam   Mboesoekan-En Djagongan Bouwplan II, bersama Komunitas Malang Old Photo yang dipandegani Pak Irawan Prajitno pada tanggal 27 Maret 2022.  

Perhentian kami yang pertama adalah SD Brawijaya 1, yang sejarahnya dimulai lebih seratus tahun yang lalu.

Untuk memasuki kompleks sekolah, kita harus melewati Pasar Hewan di Jalan Brawijaya Kota Malang. Namanya pasar, banyak orang lalu-lalang. Sangkar-sangkar hewan yang centang-perenang. Tumpukan pakan hewan peliharaan di mana-mana. 

Namun begitu berada di dalam, rasanya seperti memasuki oase. Atau semacam tempat meditasi. Adem. Tenang. Entah bagaimana suara-suara dari pasar di luar tak sampai ke dalam.

 
Foto koleksi pribadi

Sejatinya ini adalah sekolah, ditilik dari sebuah foto buram di tangan Pak Irawan, yang menggambarkan siswa-siswi di sudut halaman sekolah, tersenyum menatap kamera.

 Oh, dan juga cerita Pak Irawan tentang rapor lawas milik Pakde beliau yang dulu bersekolah di situ. Membuatku ikut penasaran dengan arsip Bapakku di rumah. Siapa tahu aku bisa menemukan rapor lawas beliau juga.

Ya, ini sekolah bersejarah, ditilik dari rekam jejaknya di dunia pendidikan dan peninggalan arsitekturalnya, yang sudah diajukan sebagai Cagar Budaya Kota Malang sejak tahun 2015. 

Perhentian kedua kami adalah bangunan sekolah Montessori di Jalan Untung Suropati.

Tahu tempatnya? Tidak? 

Itu lho… toko factory outlet yang letaknya di belakang SMA Negeri 4 Kota Malang. Toko itu sempat terkenal menjual pakaian berkualitas dengan harga miring di era akhir 1990 hingga awal tahun 2000-an. 

 

 
Foto Koleksi Pribadi

Cukup lama toko itu beroperasi, sampai kemudian tutup. Sekarang halamannya ditutup seng. 

Terus terang, aku pun tak pernah tahu bahwa toko itu dulunya adalah sebuah sekolah. Perihal toko itu menempati bangunan kuno, itu aku tahu. Perihal bangunannya elok, aku pun tahu. Tapi aku tak pernah membayangkan bangunan itu sebagai sekolah dengan ruangan-ruangan kelas yang layaknya ada di sekolah.

Atau mungkin aku yang awam? Entahlah. 

Yang jelas, ngenes rasanya melihat bangunan tua yang cantik dibiarkan pelan-pelan dimakan waktu, terbengkalai di balik kungkungan seng dengan dihiasi rumput meninggi di halaman. 

 
Foto Koleksi Pribadi
                                                        

Semoga segera ada upaya untuk menyelamatkannya. 

Perhentian-perhentian selanjutnya adalah Bintaljarahdam V Brawijaya dan Top Dam V Brawijaya yang berdampingan di Jalan Untung Suropati.

Bangunan Bintaljarahdam V Brawijaya yang ternyata pernah menjadi gedung sekolah HBS, dan kemudian menjadi sekolah kadet pada era 1946-an hingga 1950-an.

 

 
Foto Koleksi Pribadi
                                                         

 
Foto Koleksi Pribadi

Tempat kerja Anda gowes-friendly? 

Jangan mau kalah dengan bangunan Bintaljarahdam V Brawijaya yang sudah punya tempat parkir khusus sepeda sejak tahun 1920-an.

 

 
Foto Koleksi Pribadi

            Top Dam V Brawijaya yang di dalamnya ada Tugu Trianggulasi peninggalan Belanda.

               

 
Foto Koleksi Pribadi

 
Foto Koleksi Pribadi

Perhentian selanjutnya cukup menarik bagiku: SMA Tugu. Pilihannya cukup debatable: SMA Negeri 3 Malang. Kenapa debatable? Karena aku alumni SMA Negeri 1 Malang. Sebagai IKAMISA, jelas aku ingin almamaterku yang dikunjungi. 

Tapi argumentasi Pak Irawan cukup meyakinkan: karena fasad SMA Negeri 3 relatif masih asli, tidak seperti tampilan depan SMA Negeri 1 dan SMA Negeri 4 yang sudah tidak kelihatan bentuk aslinya.

 
Foto Koleksi Pribadi

Baiklah. 

Aku batal protes karena belakangan aku tahu bahwa Pak Irawan juga IKAMISA. Jadi pasti (semoga) beliau pahamlah isi hatiku. 

Maaf, Sidang Pembaca. Saya akui saya agak bias. 

Baiklah.

Dengan berat hati aku menyayangkan betapa banyak perubahan di lingkungan SMA Tugu. Sejak aku lulus, sudah tak terhitung perubahan yang terjadi. Tempat-tempat yang dulu familiar dan dekat dengan kehidupan jaman sekolah rasanya sudah tidak ada lagi. 

Buat rekan-rekan alumni SMA Tugu, mari kita bersyukur karena tangga kayu kesayangan kita di lingkungan SMA Tugu masih awet sampai sekarang, walaupun sudah dilewati ribuan kaki siswa selama puluhan (hampir seratus) tahun usianya.

Foto Koleksi Pribadi

Alhamdulillah Aula Bersama masih asli dengan lantai kayu, panggung, dan ruangan di bawah panggung yang penuh mitos itu. Kenapa penuh mitos? Karena setiap orang yang dulu kutanya tentang ruangan itu punya versi jawaban sendiri.

Foto Koleksi Pribadi

Dan baru kali ini aku melihat sendiri ruangan itu. Dari atas sih, karena secara fisik aku sudah cukup “besar” untuk melewati jalan masuknya yang sempit.

               

Foto Koleksi Pribadi 
 
Sebelum menuju perhentian berikut, ijinkan saya bertanya...

Anda pernah menonton film Notting Hill?

Tidak, saya tidak ingin mengajak Anda bicara tentang kisah cinta Julia Roberts dan Hugh Grant di film itu. 

Saya hanya akan mengajak Anda melihat satu properti yang paling menyentuh hati saya sepanjang film: Sebuah bangku di tengah taman yang tenang di tengah Kota London yang hiruk-pikuk.

Sudah ingat? Atau belum?

Baiklah saya segarkan ingatan Anda.

 

Foto diambil dari laman situs https://id.quora.comApa-baris-favorit-Anda-dari-film

Bangku untuk seorang perempuan bernama June yang mencintai taman itu, dari Joseph selalu duduk di sampingnya.

Luar biasa betapa benda sesederhana bangku taman bisa menyimpan kenangan sedalam dan seindah itu.

Siapa sangka bangku kenangan macam itu bisa ditemukan di tengah Kota Malang?

Bagi saya, temuan bangku itu merupakan highlight dari acara hari ini.

Berbeda cerita dari Notting Hill, bangku taman yang ini berkisah tentang keluarga Oosterhuis, Bapak Tonko Oosterhuis dan Ibu Aletta beserta anak-anak mereka.

Foto Koleksi Pribadi

Ketika tentara Jepang menguasai Kota Malang, Tonko Oosterhuis, seorang tentara KNIL, dikirim ke Ambon untuk kerja paksa. Ia wafat karena sakit di sana pada tahun 1943.

Johan, putra sulung mereka, wafat di Penjara Lowokwaru pada tahun 1945. Hanya dua bulan sebelum Jepang menyerah kepada Sekutu. Ia ditahan di sana oleh Kenpeitai karena tuduhan yang tidak main-main: menjadi mata-mata. Saat meninggal, ia baru berusia 18 tahun.

Kehilangan orang-orang tercinta, pilihan apa lagi yang dipunyai Aletta Oosterhuis selain membawa anak-anak yang tersisa kembali ke Belanda?

Namun Kota Malang sebagai tempat tinggal terakhir mereka di Indonesia ternyata tak pernah benar-benar hilang dalam ingatan.

Kenangan terhadap anggota keluarga mereka yang wafat di Indonesia inilah yang kemudian diabadikan dalam bangku yang diletakkan di sebuah taman yang tak kalah indah dibandingkan taman Notting Hill: Alun-Alun Tugu Kota Malang. Berlatar belakang Gedung Balaikota Malang yang megah, menghadap kolam teratai merah jambu yang berayun-ayun di atas tangkai yang lentur-gemulai. 

Foto Koleksi Pribadi

Tempat paling sempurna untuk menikmati senja yang turun di akhir hari yang cerah.

Tidak percaya? Cobalah duduk di bangku itu. Walaupun terbuat dari batu, bangku ini nyaman karena cukup ergonomis. Lalu nikmati warna langit yang keemasan-jingga- merah-lembayung nun di sana.

Beranjak dari Alun-Alun Tugu, ke mana lagi kalau tidak ke Balai Kota Malang?

Satu kata tentang bangunan ini: resilien. Balai Kota Malang yang  dibangun pada 1927 dan selesai pada September 1929 ini sudah menghadapi berbagai cobaan dalam usianya yang hampir satu abad. Perang, dibakar habis, gempa yang sering terjadi, hanyalah beberapa cobaan yang dihadapi, namun ia tetap bertahan. Entahlah, mungkin karena desainnya, mungkin karena materialnya, atau semata-mata karena emoh menyerah kalah oleh waktu maupun ulah manusia, aku tak tahu.

Foto Koleksi Pribadi

Yang jelas aku salut pada ikon Kota Malang ini.

Perhentian (kalau bisa disebut demikian) terakhir adalah Wisma IKIP, yang hanya bisa kami nikmati dari luar.

Setelah itu?

Kembali ke Huize Djon untuk makan siang yang nikmat diiringi penyanyi tembang-tembang lawas berbahasa Belanda. Aku jadi terkenang almarhum Eyang Putriku, dan lagu kesayangan beliau, Als de Orchideen Bloeien, sangat pas untuk mengakhiri hari ini.

Tapi aku tidak rikues lagu itu.

Soal kenangan yang satu ini, biar untukku sendiri.

Blusukan kali ini konon untuk menyambut Hari Ulang Tahun Kota Malang.

Maka dalam kesempatan ini ijinkan saya mengucapkan:

Wong ayu menek talang, Dirgahayu Kota Malang.

 

 

3 komentar: