Jumat, 29 April 2022

BLUSUKAN ANJASMORO

 “Saya ingin ada yang menuliskan cerita tentang rumah saya.”

 Pesan yang masuk di ponsel saya siang itu mengejutkan: sederhana, lugas.

Butuh waktu bagi saya untuk mencerna permintaan itu. Selain karena otak saya sering slow respon seperti olshop abal-abal, juga karena ini permintaan yang tidak biasa. Bukan jenis pesan yang biasa kuterima di tengah hari bolong di bulan Ramadhan 2022 pada jam kritis karena sedang lapar-laparnya.

Dari terkejut, lalu jadi penasaran.

Kok rumah sih, yang mau ditulis?

Untuk menjawab pertanyaan itu, pada tanggal 23 April 2022 saya duduk manis di ruang tamu Pak Irawan Prajitno, sang pencetus ide, untuk mendengarkan cerita tentang sebuah rumah.

Tentang rumah yang dimaksud…

Ngomong-ngomong, rumah yang dimaksud adalah rumah lawas di Jalan Anjasmoro nomor 25 Kota Malang. 

                                                       Foto koleksi keluarga (tahun 1935an)

                                                              Foto koleksi Penulis (2022)

Rumah lawas yang selesai dibangun pada tahun 1934 itu merupakan bagian dari kompleks pemukiman yang diperuntukkan bagi para pejabat Kotapraja Malang. Kompleks pemukiman yang dicirikan dengan nama jalan yang diambil dari nama gunung ini rumah pejabat. Untuk kelas pegawai menengah ke bawah ada kompleksnya sendiri, nun di wilayah Lowokwaru dan sekitarnya.

Mungkin semacam kompleks Perumnas, walaupun Perumnas kelas elit. Apa buktinya kalau kompleks elit? Sebut saja bentuk rumahnya yang model villa, fasilitas umumnya kelas satu (ada Stadion, pacuan kuda, dan sekolah elit di sekitarnya), dan letaknya lebih tinggi dibanding wilayah lain di Kota Malang (ya iyalah… namanya penjajah kan rumahnya juga harus lebih tinggi dari para Inlander).

Tentang Pak Slamet dan keluarganya…

                                                                 Foto koleksi keluarga

Slamet muda adalah dokter hewan lulusan Nederlandsch Indische Veeartsenschool (sekarang dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor) yang sudah kenyang keliling Indonesia.

Putra asisten wedana di Krakal Kebumen, pria kelahiran 1899 ini selepas kuliah bertugas di Balige, Sumatera Utara, untuk menangani wabah pes babi.

Tak berapa lama ia pulang ke Jawa untuk menikah dengan putri seorang guru gambar di Madiun hingga lahir putra pertama.

Tahun 1925 keluarga muda ini pindah ke Sumenep dan sempat menikmati jalur kereta api Bangkalan-Sumenep yang sekarang sudah punah.

Saking seringnya Pak Slamet naik kereta api di Sumenep, burung kakaktua peliharaan beliau pun sampai lancar berkata, “Sepor pokol telok… sepor pokol telok… sepor pokol telok…”

Kalau sekarang, si burung kakaktua pasti sudah viral di Tikt*k.

Syukurlah Bu Slamet adalah perempuan tangguh. Pada tahun 1926, beliau melahirkan putra kedua mereka dengan selamat tanpa bantuan dokter di Kandangan, lokasi penugasan Pak Slamet selepas Sumenep. Dokter yang ditunggu-tunggu terlambat datang, diduga saat itu saking terpencilnya letak Kandangan, Kalimantan Selatan. Untuk diketahui, Kandangan terletak 135 kilometer sebelah utara Kota Banjarmasin.

Waduh, kalau saya jelas tidak sanggup…

Tahun 1928 pindah ke Banjarmasin, tempat kelahiran putri ketiga.

Tahun 1930 pindah lagi ke Watampone, Sulawesi Selatan, tempat kelahiran putri keempat.

Dengan putra-putri yang sudah masuk usia sekolah, Pak Slamet mulai berpikir panjang. Penugasan yang berpindah-pindah dan lokasi yang terpencil berarti anak-anak sulit mendapat pendidikan yang layak.

Lha iya, wong bapaknya lulusan sekolah Belanda kok anak-anaknya sekolahnya ecek-ecek.

Tidak bisa ditunda lagi, harus segera kembali ke Pulau Jawa yang fasilitas pendidikannya memadai.

Cari-cari lowongan kerja, ternyata Kotapraja Malang membutuhkan dokter hewan.

Jadilah Pak Slamet mendaftar, dan diterima.

Singkat kata, Pak Slamet dan keluarga pindah ke Kota Malang.

Pada tahun 1935, Pemerintah Belanda memulai pembangunan Rumah Potong Hewan yang diresmikan pada tahun 1937.

Drh. Slamet menjadi Kepala Rumah Potong Hewan yang pertama.

Lelaki dan rumahnya…

Sebagai Kepala Rumah Potong Hewan yang notabene termasuk pejabat, Pak Slamet berhak tinggal di kompleks pemukiman untuk pejabat Kotapraja Malang dan mencicil pembayarannya untuk dibeli.

Rumahnya ya rumah lawas di Jalan Anjasmoro nomor 25 itu.

Berapa lama harus dicicil? Oh, tidak lama kok... hanya 50 tahun. Rumah dengan tiga kamar tidur ini harganya 6.000 gulden (kurs tahun 1935. Kalau penasaran, silakan hitung sendiri berapa nilainya sekarang).

Entah bagaimana hitungannya kok cicilan bisa 50 tahun. Saya tidak bisa membayangkan apa jaminan cicilan itu. Kalau jaman sekarang “menyekolahkan” (baca: menjaminkan) SK PNS selama 50 tahun, bisa-bisa orangnya sudah naik pangkat jadi almarhum, SK PNS-nya masih belum tertebus.

Tapi baiklah kita tinggalkan saja masa cicilan yang sangat murah hati itu, Pembaca yang budiman…

Masa tenang…

Diduga karena jabatannya, Pak Slamet dan keluarga dapat tinggal di kawasan pemukiman yang diplesetkan menjadi “Kampung Londo” itu.

Walaupun pasti masih ada pejabat pribumi lain di Kotapraja Malang, tapi tak banyak yang mau tinggal di kawasan itu.

Pak dan Bu Slamet adalah orang-orang yang dibesarkan dalam kombinasi unik kultur pendidikan Belanda dan kultur tradisional Jawa yang kental. Karena itu adaptasi untuk hidup di lingkungan Belanda dan hidup di lingkungan Jawa menjadi mengalir secara alami.

Namun ternyata tidak semua orang demikian.

Keputusan Pak Slamet membeli rumah di situ membuat Bu Slamet menjadi sasaran pertanyaan para istri rekan kerja Pak Slamet yang sama-sama wong Jowo.Lho Mbakyu, kok gelem manggon nang Kampung Londo. Engkok lek slametan piye…”(Lho Mbakyu, kok mau-maunya tinggal di Kampung Londo. Nanti kalau slametan bagaimana…).

Mengingat slametan ala Jawa yang jenisnya macam-macam itu selalu melibatkan banyak orang, baik sebagai panitia maupun sebagai peserta, pertanyaan ini masuk akal juga.

Namun saya tidak tahu, pertanyaan itu diajukan benar-benar karena ingin slametannya lancar, atau sekedar ungkapan halus rasa tidak percaya diri tinggal di perumahan yang dihuni mayoritas orang Belanda yang dianggap “lebih” dari pribumi.

Atas pertanyaan itu, Bu Slamet menjawab, “Lho yo gampang to, lek slametan yo ta’ undang wong-wong Oro-oro Dowo…” (Lho ya gampang to, kalau butuh bikin slametan saya undang saja orang-orang yang tinggal di Oro-oro Dowo).

Ya kalau bisa gampang, ngapain dibikin ribet gitu lho bestie… (jawaban versi saya).

Kebiasaan itu sampai sekarang ternyata tetap dipertahankan. Para penghuni rumah sekitar Jalan Anjasmoro dan sekitarnya yang ingin menggelar hajatan, selalu melibatkan orang-orang yang tinggal di Jalan Oro-oro Dowo. Yang diajak terlibat pun senang-senang saja karena sejak jaman ayah, kakek, bahkan mungkin buyut mereka sudah terjalin simbiosis yang harmonis.

Ternyata, pada tahun 1930an, kampung Oro-oro Dowo sudah menjadi hunian yang ramai, walaupun tidak pernah menjadi bagian dari pengembangan kawasan Perumnas elit yang dibangun Belanda.

Ngomong-ngomong tentang pejabat pribumi lain yang juga tinggal di Jalan Anjasmoro, ternyata salah satunya adalah Sukarjo Wiryopranoto. Beliau seorang Pahlawan Nasional dan diplomat yang namanya diabadikan sebagai nama jalan.

Anda belum paham siapa beliau? Silakan googling. Kiprah beliau tidak main-main, rupanya.

Saya bangga kalau ada warga Malang yang mbois seperti ini.

Rumah beliau masih ada sekarang, di Jalan Anjasmoro nomor 5. Semoga masih dihuni keturunan beliau dan belum berpindah tangan. Maaf tidak ada fotonya karena belum minta ijin pada empunya rumah.

Sayangnya rumahnya sudah berubah bentuk. Jadi bangunan rumah “modern”. Hilang sudah ke-lawas-annya.

Jaman Jepang…

Pergolakan dunia pada periode 1942 ternyata bergaung sampai jauh. Perang Dunia Kedua berimbas hingga Kota Malang. Belanda kalah perang. Jepang masuk mengusir Belanda. Masa tenang sudah berakhir.

Orang Eropa di Kota Malang dikumpulkan tentara Jepang dalam kamp interniran dengan Gereja Ijen sebagai batasnya. Pagar kawat didirikan mengelilingi kamp. Sebelah selatan Gereja (Jalan Guntur, Jalan Anjasmoro, Jalan Raung, Jalan Simpang Ijen, hingga Jalan Salak yang sekarang jadi Jalan Pahlawan Trip) diperuntukkan bagi perempuan dan anak-anak. Sebelah utara Gereja (Jalan Kawi, Jalan Bromo, seputaran Stadion) diperuntukkan bagi pria. Di dalamnya termasuk (mantan) Walikota Malang berkebangsaan Belanda terakhir, Tuan JH Boerstra.

Bagaimana nasib Pak Slamet sekeluarga yang notabene pribumi?

Mereka dipindahkan ke sebuah rumah di Jalan Ijen nomor 37 karena rumah mereka “dipinjam” oleh tentara Jepang.

Yak, betul. Istilahnya “dipinjam”, walaupun saya yakin minjamnya maksa.

Kamp interniran yang tidak luas itu menampung sekitar 5.000 hingga 10.000-an orang Eropa yang saat itu tinggal di Kota Malang. Rumah-rumah yang berada dalam lingkaran kamp itu menjadi hunian para penghuni kamp. Termasuk rumah Pak Slamet. Dalam rumah yang sejatinya tidak terlalu besar itu, pernah dihuni 30 orang perempuan dan anak-anak penghuni kamp.

Entah kenapa dalam benak saya terbayang kamp konsentrasi ketika Pak Irawan bercerita tentang kamp interniran. Walaupun beliau meyakinkan saya bahwa kamp itu tidak semengerikan kamp konsentrasi, tetap berat rasanya hati saya.

Apalagi karena tidak ada catatan resmi tinggalan tentara Jepang seputar kamp interniran itu. Diduga catatan-catatan tersebut dimusnahkan ketika mereka kalah perang. Catatan mengenai kamp interniran hanya diperoleh dari catatan-catatan orang Belanda yang tertinggal setelah perang.

Jadi, siapa yang tahu apa yang terjadi di balik pagar kamp?

Minimnya catatan tentang kondisi kamp membuat khayalan saya jadi berkelana ke mana-mana. Sayangnya pikiran saya yang kelewat aktif ini jadi sering membayangkan skenario mengenaskan yang bikin tidak bisa tidur.

Laki-laki, perempuan dan anak-anak, warga sipil di tangan tentara Jepang yang konon kejamnya luar biasa. Terutama perempuan dan anak-anak, yang sangat rentan. Apa yang mereka alami?

Keluarga Oosterhuis dalam tulisan saya sebelumnya, juga menemui nasib tragis ketika menghuni kamp interniran.

Entah bagaimana kisah keluarga yang lain…

Ah, semoga mereka yang sudah berpulang diberikan ketenangan di alam sana… Semoga mereka yang berhasil bertahan, bisa menjalani hidup yang baik di manapun mereka akhirnya memilih tinggal…

Belanda balik koceng…

Kekalahan Jepang dari Sekutu pada tahun 1945 membuat Belanda ingin menguasai bekas jajahannya.

Namun rakyat Indonesia tidak tinggal diam. Ingin mempertahankan kemerdekaan yang masih seumur jagung.

 Termasuk Pak Slamet dan keluarga.

Ketika Agresi Militer dilancarkan Belanda, kedua putra mereka bergabung dengan pasukan TRIP, sementara Pak dan Bu Slamet terlibat dalam gerakan Palang Merah.

Tidak ikut mbedil, tapi ikut nambani.

Namun apa daya, walaupun tidak angkat senjata, keterlibatan mereka dengan Palang Merah membuat Pak dan Bu Slamet diburu tentara KNIL. Perburuan itu memaksa Pak dan Bu Slamet beserta kedua putri mereka mengungsi hingga jauh ke Peniwen, Kromengan, Kabupaten Malang.

Namun Belanda tidak berhenti.

Dalam Agresi Militer Kedua pada tanggal 19 Pebruari 1949, tentara KNIL menyerang dan membantai anggota Palang Merah Remaja dan warga sipil di Peniwen. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai tragedi “Peniwen Affair”.

Serangan itu begitu tragis dan brutal hingga kalangan gereja Indonesia melayangkan surat protes pada dewan gereja internasional. Surat protes itu mengejutkan negara-negara di dunia, sehingga Belanda ditekan untuk menghentikan agresinya.

Pak Slamet sempat tertangkap tentara KNIL dan ditahan di penjara Lowokwaru.

Belakangan, sebagai salah satu saksi peristiwa Peniwen, kesaksian beliau dalam persidangan di Surabaya makin memastikan bahwa serangan tentara KNIL ke Peniwen adalah kejahatan perang.

Untuk mengenang Peniwen Affair, sebuah tugu didirikan di Desa Peniwen. Monumen ini adalah satu-satunya monumen Palang Merah Remaja di Indonesia, dan satu dari dua monumen Palang Merah yang diakui secara internasional.

Terus terang saya baru ngeh kalau ada peristiwa Peniwen Affair itu setelah mendengar sentilan sekilas dari Pak Irawan. Makin merinding rasanya ketika saya googling tentang peristiwa itu.

Untuk lebih detilnya, monggo googling sendiri.

Sebelum kita teruskan, mari tundukkan kepala untuk mereka yang gugur di Peniwen.

Pulang…

                                                                Foto koleksi keluarga

Sepulang dari Peniwen sekitar tahun 1950an, keluarga Pak Slamet tinggal di Jalan Tanggamus nomor 1.

Saat itu terbersit keinginan Pak Slamet untuk kembali ke rumah Jalan Anjasmoro nomor 25.

Beruntung Pak Slamet masih menyimpan bukti kepemilikan rumah yang diterbitkan tahun 1935, ketika beliau membeli rumah itu. Bersuratlah beliau pada Kotapraja Malang, meminta untuk kembali ke Jalan Anjasmoro nomor 25.

Karena ada bukti, Kotapraja mengabulkan keinginan Pak Slamet.

Tahun 1951 keluarga Pak Slamet kembali ke Jalan Anjasmoro nomor 25, yang saat itu ternyata sudah dihuni keluarga lain. Keluarga berdarah Ambon yang saat itu menempati Jalan Anjasmoro nomor 25 itu diduga mantan tentara KNIL. Berbekal bukti kepemilikan, rumah itu kembali lagi ke tangan Pak Slamet dan keluarga.

Sungguh sebuah perjalanan kepemilikan yang panjang. Dimiliki, ditinggal mengungsi, dihuni orang lain, kemudian kembali lagi menjadi milik keluarga.

Menuju cagar budaya…

                                                                   Foto koleksi Penulis

It’s a blessing,” jawab Bu Nana, istri Pak Irawan, ketika aku bertanya bagaimana proses rumah Jalan Anjasmoro nomor 25 menjadi bangunan cagar budaya.

Tidak semua bangunan lama mendapat kehormatan menjadi salah satu situs cagar budaya, apalagi sebuah rumah tinggal. Tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Usianya lebih dari 50 tahun, pernah terjadi peristiwa sejarah di situ, dan/atau mewakili jaman.

Dari ketiga kriteria tersebut, tampaknya rumah Jalan Anjasmoro nomor 25 itu memenuhi dua kriteria. Pertama, mewakili jaman (karena bercirikan gaya arsitektur khas tahun 1930an). Kedua, menjadi bagian dari sejarah Kota Malang (karena menjadi tempat tinggal Pak Slamet yang notabene Kepala Rumah Potong Hewan yang pertama, dan menjadi bagian dari kamp interniran).

Berawal dari sebuah percakapan ringan pada tahun 2010, tercetuslah keinginan Pak Irawan untuk menjadikan rumah Jalan Anjasmoro nomor 25 sebagai bangunan cagar budaya.

Tak berapa lama, seorang petugas dari BPCB Jawa Timur datang untuk mensurvei.

Setelah itu belum ada lanjutannya.

Rupanya saat itu Kota Malang belum memiliki Peraturan Daerah tentang Cagar Budaya, belum punya Tim Ahli Cagar Budaya, namun sudah memiliki keinginan untuk melestarikan cagar budaya.

Baru tahun 2018 diterbitkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cagar Budaya yang menjadi dasar penetapan cagar budaya yang ditunggu-tunggu.

Peraturan Daerah tersebut menjadi dasar untuk menilik ulang 32 bangunan dan struktur cagar budaya yang sudah terdata sebelumnya. Termasuk rumah Jalan Anjasmoro nomor 25.

Di tahun yang sama, dilakukan survey ulang oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (saat itu).

Pada Januari 2019 dilakukan penyerahan penetapan 32 bangunan dan struktur sebagai cagar budaya. Penetapan tersebut diserahkan langsung oleh Walikota Malang Sutiaji kepada perwakilan pengelola dan pemilik bangunan dan struktur cagar budaya.

Hingga kini masih belum ada penetapan cagar budaya baru sebagai tambahan terhadap 32 bangunan dan struktur yang telah ditetapkan sebelumnya.

Benar kata Bu Nana, “It’s a blessing”, bahwa rumah Jalan Anjasmoro nomor 25 bisa ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya dalam proses yang cukup lempeng walaupun perlu waktu yang panjang.

Menjawab pertanyaan

 GENERASI PERTAMA
Foto koleksi keluarga
 

GENERASI KETIGA

Foto koleksi Penulis

Kok rumah sih, yang mau ditulis?

Pertanyaan yang saya ajukan di awal tulisan saya ini terjawab beberapa hari kemudian, ketika saya resapi rekaman percakapan saya dengan Pak Irawan dan Bu Nana.

Ya, rumah ini perlu ditulis karena sejarahnya yang panjang dan melewati masa-masa yang seperti rasa permen Nano-Nano… manis, asem, asin. Keberadaannya sebagai rumah yang awet dihuni oleh tangan pertama sampai generasi ketiga, sementara rumah-rumah lain di sekitarnya entah sudah berapa kali berpindah tangan. Rumah yang sejak awal dihuni oleh orang Indonesia, bukan milik orang Belanda yang kemudian dibeli oleh orang Indonesia, layaknya rumah-rumah lain di lingkungan itu. Rumah yang menjadi bagian dari kamp interniran dengan segala kisahnya. Rumah yang sempat “dipinjam”, tapi kemudian kembali ke pelukan si empunya. Rumah yang akhirnya diakui keberadaannya sebagai bangunan cagar budaya.

Rumah ini juga perlu ditulis karena kisah hidup penghuninya yang penuh warna. Dokter hewan yang kenyang melanglang buana. Kepala Rumah Potong Hewan yang pertama. Anggota Palang Merah yang diburu Belanda. Saksi peristiwa kejahatan perang. Hingga wafat dengan tenang di rumah yang dicintainya.

It’s a blessing,” kata Bu Nana.

Blessing. Itu kata kuncinya. It’s a blessing rumah itu menjadi milik Pak Slamet. It’s a blessing rumah yang sempat “dipinjam” bisa kembali. It’s a blessing rumah itu bisa bertahan. It’s a blessing Pak Slamet dan keluarga bisa survive di tengah penindasan Belanda dan Jepang.

Bukan perjalanan hidup yang mudah. Mengandalkan kekuatan manusia saja kiranya tak cukup. Perlu campur tangan Tuhan di dalamnya.

Maka, ketika mendengar cerita Bu Nana tentang betapa Bu Slamet menggabungkan kekuatan doa dengan tirakat (salah satunya ngrowot, tirakat dalam bentuk hanya mengkonsumsi umbi-umbian selama 40 hari) seumur hidup beliau, di manapun beliau berada, di tengah hutan Kalimantan atau di tengah kota atau di pengungsian, aku jadi maklum kenapa ada blessing itu.

It’s a blessing. Doa-doa telah dilangitkan. Inilah Tuhan menjawab doa-doa itu.


Terima kasih  kepada: Bapak Irawan Prajitno dan Bu Nana Shanty.

7 komentar:

  1. Matur suwun critane Mbak. Mben tak mrono oleh ra ya? Aku seneng juga karo bangunan lawas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. monggo pak... Pak Irawan seneng banget kalau dikunjungi... kontak saya saja kalau pas pulang... njenengan masih ada nomer saya kan ?

      Hapus
  2. Rumah pun bisa bertutur, ttg pemilik dan penghuninya, rumahpun memiliki “ruh”nya, … semoga rumah ini melahirkan kebaikan bagi siapapun penghuninya ..

    BalasHapus
  3. sebagai bagian dari sejarah dengan bentuk dan arsitektur yang masih utuh, rumah anjasmoro 25 patut dipertahankan keutuhannya oleh para ahli warisnya. terlebih bangunan tsbt sdh menjadi bagian dari cagar budaya.

    BalasHapus
  4. Bagus banget kisah dan penulisannya. Jadi pingin mampir omah e Mas Irawan n Shanti

    BalasHapus
    Balasan
    1. Monggo mampir, malah seneng kalau ada yg bertamu

      Hapus