Minggu, 29 Mei 2022

MUBENG-MUBENG STADION GAJAYANA

  

Stadion Gajayana (foto koleksi kumparan.com

Memangnya ada apa di Stadion?

Ayo wes, budalkan…

IMAM SOEDJA’I : PAHLAWAN

Tentang Imam Soedja’i ini, perihalnya baru aku ketahui ketika menyusuri Jalan Tenes, mengikuti Mbloesoekan n Djagongan Bouwplan V yang diadakan oleh komunitas Malang Old Photo tanggal 28 Mei 2022. Rumah yang beliau tempati ketika menjadi komandan Divisi VII untuk Suropati yang membawahi wilayah Karesidenan Malang- Besuki masih tegak berdiri dengan berbagai keunikan detil bangunan lawas. 

 Eks kediaman Imam Soedja'i (foto koleksi Penulis)

Beliau adalah prajurit militer hebat. Ahli strategi yang mumpuni. Seorang Mayor Jenderal. Salah satu kandidat Panglima TNI (kandidat lainnya adalah Oerip Soemohardjo dan Soedirman) yang menolak pencalonan karena lebih memprioritaskan ikut serta dalam Pertempuran Surabaya Nopember 1945.

Andai ikut pencalonan, bisa jadi beliaulah Panglima TNI kita, dan bukan Soedirman, yang ketika pencalonan pangkatnya (masih) Kolonel.

Nahas, tahun 1947 karir cemerlangnya dihabisi, bahkan statusnya sebagai anggota militer dicabut, karena fitnah politik. Strategi Perang Gerilya yang dicetuskan oleh beliau dikatakan lawan politiknya sebagai bentuk ketidakpatuhan.

Menghadapi kenyataan itu, Imam Soedja’i ikhlas dan patuh. Tidak melawan. Tidak protes. Tidak juga berkoar-koar sebagai “pihak yang terzolimi”.

Mungkin klise kedengarannya, tapi kecintaan beliau pada bangsa dan negara yang diperjuangkannya sejak muda, membuat beliau menerima pemecatan dengan lapang dada.

Dengan berbesar hati, beliau kembali ke kampung halaman. Bekerja serabutan untuk menyambung hidup, hingga wafat mendadak tahun 1953.

Imam Soedja’i sang prajurit wafat sebagai rakyat jelata. Tak hanya keluarganya hidup kekurangan, banyak orang yang meragukan integritas beliau.

Nama baik beliau baru dipulihkan pada tahun 1968 ketika putra pertamanya, seorang Sersan, menghadap Jenderal TNI Soemitro, Pangkopkamtib saat itu, untuk minta ketegasan, apakah ayahnya seorang Pahlawan atau Pengkhianat.

Soemitro, mantan ajudan Imam Soedja’i, dengan tegas mengakui kepahlawanan almarhum.

Tak hanya membersihkan nama Imam Soedja’i, statusnya pun dipulihkan sehingga bisa mendapatkan SK Pensiun yang kemudian diberikan pada istri beliau beserta hak pensiunnya. Kepada keluarga yang ditinggalkan diberikan rumah dan kendaraan.

Fix, beliau salah satu tokoh Kota Malang yang mbois…

Ah, membaca kisah hidup beliau, rasanya kok makin sulit ya, mencari tokoh yang pantas ditokohkan jaman sekarang…

Entah kenapa para suri tauladan itu kok cepat sekali “pulang”-nya…

Tampaknya ada buku biografi tentang Imam Soedja’i ini, tapi sampai sekarang saya belum pernah baca. Hanya tahu cover-nya saja.

 Foto koleksi Penulis

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Imam Soedja’i, saya sekedar menceritakan kembali hasil googling saya tentang almarhum. Agar Sidang Pembaca mendapatkan informasi lebih jauh tentang Imam Soedja’i, monggo googling sendiri di situs-situs terpercaya.

 

JAWARA KOMPLEKS OLAHRAGA

Orang-orang Belanda memang tidak main-main ketika merancang Kota Malang.

Infrastruktur paling pelik hingga paling remeh semua direncanakan dengan baik.

Entahlah, mungkin mereka dulu ingin bedhol deso dari tanah Eropa ke Kota Malang, dan ingin hidup senyaman mungkin. Karena itu, segala hal terkait wilayah huniannya harus berkualitas prima. Tapi apa daya ada berbagai peristiwa global, termasuk Perang Dunia yang sampai dua jilid itu, sehingga cita-cita eksodus itu tidak 100% tercapai.

Alhamdulillah Kota Malang sempat merasakan dibangun infrastrukturnya oleh kampiun-kampiun perencanaan dan teknik bangunan dari Belanda.

Salah satunya adalah Kompleks Stadion Taman Olahraga Kota Malang, sekarang Kompleks Stadion Gajayana, yang disebut-sebut sebagai kompleks olahraga terbaik se-Hindia Belanda.

Pada masanya, Kompleks ini terdiri dari 1 stadion, 2 lapangan sepakbola, 1 lapangan hoki, 9 lapangan tenis, 2 lapangan atletik, kolam renang, dan trek bersepeda dan ring tinju.

Aerial picture Stadion Gajayana tempo doeloe (foto koleksi Malang Old Photo)

Saat ini yang tersisa adalah 1 stadion, 1 lapangan sepakbola (1 lapangan sepakbola lainnya sudah jadi Gedung Kartini dan lapangan basket, yang kemudian dirobohkan untuk menjadi Mal Olympic Garden), dan kolam renang.

Lapangan tenis masih ada dan aktif digunakan sampai sekitar periode awal 1990-an, sebelum dijadikan lapangan parkir untuk Stadion Gajayana.

Kenapa aku ingat?

Karena ada warung nasi yang wenclem pwooolll di situ… nasi rawonnya enak, pecelnya juga enak. Letaknya di sebelah lapangan tenis. Konon pemilik warungnya adalah istri penjaga lapangan tenis. Kalau sedang menunggu Ibuku rapat Dharma Wanita di belakang Gedung Kartini, aku suka nongkrong di situ. Kalau rapatnya agak pagian, bisa sambil nonton orang-orang yang sedang main tenis pagi.

 

NGOMONG-NGOMONG TENTANG KOLAM RENANG…      

Buat sebagian Arema, tidak ada kolam renang di Stadion Gajayana. Sebagian lagi agak lupa-lupa ingat kalau di Stadion Gajayana ada kolam renang.

Tapi kalau mendengar kata “swembat”, semua pasti tahu.

Zwembad alias swembat (foto koleksi Malang Old Photo)

“Swembat” adalah panggilan kesayangan Arema untuk “zwembad”, kolam renang bikinan Belanda yang ada di Kompleks Stadion Gajayana.

“Swembat” bukan plesetan dari “zwembad” lho ya... Ini panggilan sayang.

Bahkan ada yang saking sayangnya, sampai-sampai menyebut “zwembad” sebagai “slembat”.

Zwembad = swembat = slembat.

Yaaa… tergantung rasa sayang saja sih… masih level biasa atau sudah bucin…

Banyak kenangan Arema di “swembat” ini.

Bahkan ada siswa SMA Tugu yang kabur di jam sekolah hanya untuk berenang di “swembat”.

Konon katanya begitu…

 

PERINGATAN: BERISI KONTEN DEWASA

Sidang Pembaca…

Kiranya kita semua sepakat bahwa berenang seyogyanya tidak dilakukan dengan telanjang.

Juga tidak boleh dilakukan dengan sarungan.

Untuk itu, maka kita harus menggunakan baju renang, atau “swimsuit” dalam bahasa Inggris, atau “zwempak” dalam bahasa Belanda.

Baju renang = swimsuit = zwempak.

Kata-kata tersebut sungguh penuh dengan cita rasa susastra yang tinggi. Pelafalannya membutuhkan kehalusan budi pekerti tingkat dewa.

Namun apa daya, lidah arek Oro-oro Dowo, mBareng, apalagi Tembalangan, yang sejak jaman Belanda sudah terkontaminasi senjem, weci, dan sebangsanya ini susah melafalkan kata-kata itu.

Alhasil, lidah arek-arek djadoel ini kepleset melulu.

Zwempak” yang indah pelafalannya ini menjadi “sempak”.

Kata yang wow ini mengalami evolusi akibat serangan boso walikan, sehingga “sempak” menjadi “kampes”.

Evolusi ini tidak berhenti, sehingga di kemudian hari pengertian “sempak” bin “kampes” ini diperluas maknanya. Tidak lagi sebatas penutup tubuh ketika berenang, melainkan menjadi penutup tubuh bagian pusar ke bawah dengan berbagai bentuk dan coraknya.

Tentu saja, “kampes” dipakai sebagai pakaian dalam.

Bukan sebagai pakaian luar.

Anda jangan coba-coba pakai “kampes” di luar.

Ingat, Anda bukan Superman.

 

SEJARAH (TIDAK) RESMI NAMA “BARENG”

Alkisah, tahun 1920-1930-an, jalan raya di wilayah Bouwplan V habis di daerah sekitar SMP Negeri 6 dan Jalan Bromo sekarang.

Di luar area tersebut, adalah wilayah luas di daerah lereng sungai.

Dalam bahasa Jawa, daerah lereng sungai disebut “perengan”, sehingga daerah itu dikenal sebagai daerah “perengan sing jembar” atau “jembare perengan”.

Dari “jemBARe perRENGan” itu disingkat menjadi BARENG.

Demikian konon kata Pak Irawan… hehehehe…

 

HOTEL ASTOR, RIWAYATMU KINI

Hotel Astor disebut-sebut oleh Pak Irawan ketika aku bertamu ke rumah beliau untuk menuliskan kisah rumah Jalan Anjasmoro nomor 25.

Sungguh, aku tak tahu bahwa hotel yang dimaksud adalah markas Korem 083 Baladhika Jaya yang ada di Jalan Bromo.

Sebenarnya sudah sejak lama aku menyadari bahwa bangunan markas militer itu adalah bangunan lawas yang cantik dan masih terawat baik.

Hotel Astor tempo doeloe (foto koleksi Malang Old Photo) 

Hotel Astor masa kini (foto koleksi Irawan Prayitno)

Tapi aku tak menyangka dulunya bangunan itu adalah kawasan hotel mewah yang menempati area hampir sepanjang Jalan Bromo. Lobby, ruang makan, dan kamar-kamar yang disewakan berada di lingkungan markas sekarang, sedangkan rumah-rumah di sekelilingnya adalah villa-villa yang disewakan bagi tamu yang membawa keluarga.

Kejadian menarik di hotel ini?

Peristiwa Jenderal Soedirman menyerahkan tawanan perang Jepang pada Sekutu pada tahun 1946, yang terekam dalam sebuah foto.

Jenderal Soedirman menyerahkan tawanan perang Jepang pada Sekutu (foto koleksi Malang Old Photo)

Foto hitam-putih tersebut bikin aku terharu.

Pak Dirman nampak kurus sekali. Tentara-tentara Indonesia juga. Namun wajah-wajah mereka penuh tekad.

Ini lho tentara kita… walaupun secara fisik prajurit maupun seragam tidak sementereng tentara Jepang, tapi ini tentara kita.

Kita. Indonesia. Bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat.

Jangan macam-macam sama kita.

 

PELAJAR RASA TENTARA, TENTARA RASA PELAJAR

Perhentian terakhir kami adalah gedung SMK Bina Cendika YPK yang berada di Jalan Semeru.

Andai bangunan ini bisa bercerita, alangkah panjang durasinya. Berbagai jaman sudah dilalui. Berbagai peristiwa sudah dialami. Orang-orang yang menapaki lantainya sungguh beraneka fisik dan rupanya. Suara-suara yang terekam dalam dindingnya bicara dalam berbagai bahasa. Ada tawa, ada tangis. Ada suka, ada duka. Ada darah, ada air mata.

Mungkin tak banyak bangunan lawas di Malang dengan “pengalaman hidup” yang sama berwarna dengannya.

MULO (foto koleksi Malang Old Photo)

Semula adalah Christelijke MULO-school te Malang pada tahun 1935, atau sekolah setingkat SMP untuk anak-anak keturunan Eropa. Bisakah Anda membayangkan betapa imut dan lucunya remaja-remaja tanggung bermata biru berambut pirang coklat yang berseliweran di halaman, di selasar, di tangga ?

Pada jaman pendudukan Jepang, bangunan ini menjadi markas Kenpeitai. Polisi militer Jepang yang terkenal itu. Tidak ada guru di depan kelas. Tidak ada murid duduk bersedekap di bangku kayu. Derap sepatu boot. Pria-pria Asia Timur berwajah kaku. Suara-suara dalam bahasa yang asing: teriakan, bentakan, jeritan.

Masa berganti. Jepang kalah perang. Markas militer kembali menjadi sekolah. Berganti pula orang-orang dalam bangunan ini. Remaja-remaja tanggung berambut hitam, bermata hitam. Dengan semangat menggebu-gebu ingin ikut berjuang, walaupun masih berstatus pelajar jurusan teknik. Ilmu yang diperoleh di bangku sekolah diyakini bisa membantu tentara Indonesia yang berjuang di garis depan.

Maka lahirlah Tentara Genie Pelajar pada tahun 1947. Remaja-remaja peracik bom dan perakit senjata yang belakangan juga ikut serta dalam Peristiwa Malang Bumi Hangus. 

Plakat pembentukan TGP (foto koleksi Penulis)

Belajar iya, berjuang juga iya.

Pelajar rasa tentara, tentara rasa pelajar.

Ada saatnya bangku-bangku sekolah terisi lagi, namun ada bangku-bangku yang pemiliknya tak pernah kembali, pulang ke haribaan Ibu Pertiwi.

Nama-nama mereka yang tak kembali diabadikan pada Monumen Tentara Genie Pelajar yang tegak berdiri di depan sekolah mereka tercinta.

Gone, but not forgotten.

 

 

 

 

5 komentar:

  1. Lanjutkan berkarya bu dani, isi tulisanmu mengilhami aku untuk lebih menghargai orang orang yang dimarginalkan (oleh sesama mahkluk). Semua akan indah pada saatnya. Aamiin.

    BalasHapus
  2. Dari Sumbawa, aku selalu mendukungmu. Terus menulis. Ikatlah ilmu dengan menulis. Tinggalkan jejak semakin banyak.

    BalasHapus
  3. Mbak Dani luren = lucu n keren.. makasih infonya, jadi tambah sayang sama kuto malang 😊

    BalasHapus