Surabaya. Sore-sore. Habis hujan. Enaknya ngapain?
Hari itu, acara yang kuhadiri di kantor Provinsi Jawa Timur dan rencananya digelar sampai sore hari, ternyata sudah rampung sebelum jam 2 siang.
Mau balik ke Malang, nanggung ah. Terus mau ngapain di Surabaya?
Iseng-iseng aku googling cagar budaya yang antimainstream di sekitar kantor Sekretariat Daerah.
Eh… ada museum.
Museum WR. Supratman? Museum HOS Cokroaminoto? Atau… museum Dokter Sutomo?
Museum WR. Supratman jauh. Museum HOS Cokroaminoto letaknya dalam gang. Aku kuatir kesasar kalau tidak bersama penunjuk jalan.
Baiklah… pilihannya adalah alternatif ketiga.
Jadilah siang-menjelang-sore hari tanggal 22 Pebruari 2023 itu aku ada di depan gerbang Gedung Nasional Indonesia (GNI) di Jalan Bubutan nomor 85-87, Surabaya.
Lhah, katanya ke museum Dokter Sutomo…
Mbah Google nan arif bijaksana sudah memberitahu aku bahwa museum itu satu lokasi dengan Gedung Nasional Indonesia (GNI).
Karena itu, begitu memasuki gerbang, aku hanya melirik sekilas GNI yang berbentuk joglo luas dan di dalamnya berdiri panel-panel berisi keterangan dan foto. Persis di depan gerbang, adalah makam dokter Sutomo.
Karena sudah dibisiki oleh Mbah Google, keduanya tidak kusambangi. Setelah memastikan letak museum dengan bertanya pada bapak-bapak yang sedang leyeh-leyeh di GNI, aku langsung menuju gedung museum.
Museum dokter Sutomo (foto koleksi Penulis)
Museum dokter Sutomo terdiri dari 2 lantai. Museum ini bukanlah rumah tinggal, sehingga tidak terbagi menjadi kamar-kamar. Hanya ada 2 ruangan pamer di lantai pertama, dan 1 ruang pamer di lantai dua.
Memasuki ruang pamer pertama di lantai dasar, aku disambut foto besar dokter Sutomo dengan slogannya yang terkenal, “Facta non verba.”
Sedikit bicara, banyak bekerja.
Di sisi kanan pintu masuk, adalah meja penjaga museum. Setelah mengisi buku tamu, aku dipersilakan masuk ke ruang pamer kedua, yang berisi utamanya berisi sejarah hidup dokter Sutomo.
Rupanya aku tak salah pilih lokasi.
Dokter Sutomo sangat unik. Hidupnya sangat berwarna.
Ternyata nama aslinya bukan “Sutomo”
Sejak lahir hingga berusia 8 tahun, ia bernama “Soebroto”. Itu nama pemberian kedua orang tuanya.
Pada usia 8 tahun, ia diikutkan pamannya, Arjodipuro, di Bangil. Oleh pamannya, ia hendak dimasukkan ke Europe Lagere School (E.L.S) bersama dengan Sahit, putra sang Paman. Sahit diterima, namun Soebroto ditolak.
Tak putus asa, esoknya sang Paman menemui Kepala Sekolah E.L.S. “Tuan Kepala Sekolah, saya mau memasukkan anak saya yang bernama Soetomo, adiknya Sahit yang sudah menjadi murid di Sekolah Belanda,” kata sang Paman.
Entah kenapa, kali ini Soebroto alias Sutomo diterima.
Sejak itu, namanya berubah menjadi Sutomo.
Ternyata dokter spesialis…
Kulit dan kelamin, yang diambilnya di Universitas Amsterdam dan ditempuhnya dalam waktu 4 tahun (1919-1923).
Semasa hidupnya, dia bertugas di Rumah Sakit CBZ (biasa disebut Rumah Sakit Simpang Surabaya).
Ternyata pernah bertugas di Malang
Salah satu penugasan yang diterima Sutomo adalah memberantas penyakit pes di wilayah Malang.
Seperti dokter Cipto Mangunkusumo.
Dokter Cipto Mangunkusumo juga pernah memberantas penyakit pes di wilayah Malang, bahkan mengangkat seorang anak yang orang tuanya wafat karena wabah pes (menurut Pak Dukut dalam bukunya “Malang Tempo Doeloe”).
Namun saya belum mengkonfirmasi apakah mereka berdua berada di Malang pada periode yang sama.
Anyways…
Matur nuwun, dokter.
Ternyata dekat dengan seniman
Pembangunan Gedung Nasional Indonesia yang diprakarsai dokter Sutomo ternyata membutuhkan biaya besar. Sumbangan dari para pendiri tidak cukup. Sudah dibantu sumbangan masyarakat sekitar, masih belum cukup juga.
Karena itu, kemudian diadakan Pasar Derma untuk menghimpun dana, yang dilaksanakan di Kranggan.
Mungkin semacam pasar murah begitu, ya.
Begitulah, Cak Durasim, legenda ludruk Surabaya, tak ketinggalan ikut manggung di Pasar Derma itu. Beliau menolak dibayar sepeserpun, bahkan keuntungan dari pentas ludruk itu pun masuk ke kas panitia pembangunan.
Pasar Derma sukses besar. Pembangunan bisa berjalan terus.
Belakangan, Gedung Nasional Indonesia juga menjadi tempat pementasan seni budaya untuk memupuk nasionalisme masyarakat. Tentu termasuk pementasan ludruk.
Mbak Guide bercerita, joglo Gedung Nasional Indonesia digunakan sebagai tempat pertemuan umum. Sedangkan untuk pertemuan-pertemuan kecil, dilakukan di gedung museum.
Kisah cintanya wow...
Sutomo muda bertemu Everdina J. Broering, seorang perawat berkebangsaan Belanda, saat bertugas di Blora.
Tresno jalaran soko kulino atau soko ngglibet, tidak terlalu jadi masalah, karena toh Cupid tetap menembakkan panahnya pada sepasang muda-mudi ini.
Mulus? Lancar? Tentu tidak…
Walaupun pastilah bukan pertama kalinya seorang pribumi menikah dengan perempuan Belanda, namun Sutomo sudah kadung kondang sebagai dokter yang dekat dengan masyarakat. Keputusannya untuk menikah dengan Everdina ditentang kanan-kiri (mungkin juga atas-bawah).
Tapi tentangan ini justru makin membulatkan niat Sutomo untuk menikahi Everdina secara Islam pada tahun 1917.
Saya jadi membayangkan ada orang mengetuk pintu rumah Sutomo untuk berobat. Harapannya ketemu dokter Sutomo yang brengosen nan kharismatik, namun yang membukakan pintu adalah seorang Noni Belanda yang cantik menik-menik.
Lek gak bingung, yo pasti kena mental (istilah arek saiki).
Etapi ternyata… Walaupun berkebangsaan Belanda, nyonya Sutomo sangat mencintai bangsa dan tanah kelahiran suaminya. Ia selalu ikut ke manapun Sutomo pergi.
Pernikahan keduanya tidak dikaruniai anak.
Suatu ketika nyonya Sutomo jatuh sakit. Menurut dokter, penyakitnya akan mereda bila tinggal di lingkungan berhawa sejuk dan tidak sepanas Surabaya. Ia bahkan disarankan untuk kembali ke Belanda.
Namun ia menolak, dan memilih tinggal di Indonesia.
Karena itu, dokter Sutomo menyediakan tempat tetirah bagi istrinya di Claket Mojokerto yang berada di daerah pegunungan. Namun karena kesibukannya, ia hanya bisa mengunjungi istrinya dua kali seminggu.
Tinggal di daerah pegunungan ternyata tidak berarti banyak bagi Everdina.
Ia wafat pada tanggal 17 Pebruari 1934 dan dimakamkan di pemakaman umum Kembang Kuning. Informasi dari Mbak Guide, makamnya bisa dikunjungi asal janjian dulu dengan juru kuncinya.
Hingga akhir hayatnya pada tahun 1938, dokter Sutomo tidak menikah lagi.
Ternyata tokoh media
Saya hampir keseleg ketika Mbak Guide yang mengantarkan saya berkeliling dengan santainya berkata bahwa dokter Sutomo adalah pemrakarsa penerbitan majalah Panjebar Semangat.
Saya sampai bertanya berkali-kali, “Beneran Mbak, dokter Sutomo penggagas majalah Panjebar Semangat???”
Di tengah segala kesibukan beliau berpolitik, berpraktek, mengurusi urusan sosial, kok ya masih sempat-sempatnya lho bikin majalah…
Ini majalah legendaris sekali.
Saya baru tahu bahwa majalah yang mengangkat topik lokal-regional-nasional dan konsisten menggunakan Bahasa Jawa ini ternyata terbit di Surabaya.
Benar-benar kejutan yang menyenangkan!
Ketika media cetak banyak yang gulung tikar (walau banyak pula yang beralih format menjadi digital), tak disangka ternyata Panjebar Semangat masih terus konsisten menyapa pembacanya.
Tak disangka, hampir seratus tahun usia majalah ini. Tahun 2030 nanti persisnya.
Saya tidak tahu, apakah di Indonesia masih ada majalah yang sejaman dengan Panjebar Semangat dan tetap terbit hingga sekarang.
Mestinya majalah ini sudah bisa dikategorikan cagar budaya. Atau warisan budaya. Atau apapun itu. Harapannya, kalau sudah terdaftar, supaya bisa diopeni bersama, dipertahankan keberadaannya.
Saya ingat betul almarhum adik mendiang Mbah Kung saya adalah pelanggan Panjebar Semangat sampai akhir hayat beliau. Dulu kalau saya sowan ke rumah beliau,sudah pasti tumpukan Panjebar Semangat tersedia di ruang tamu. Kalau sedang iseng, saya suka membukai halaman-halamannya, walaupun tidak terlalu paham Bahasa Jawa. Kertasnya coklat seperti lembar-lembar halaman Lembar Kerja Siswa yang aku dapat dari sekolah.
Saya sudah gatal ingin berkunjung ke kantor redaksi majalah Panjebar Semangat yang (ternyata) persis bersebelahan dengan Gedung Nasional Indonesia, tapi apa daya, tutup.
Mungkin karena sudah terlalu sore.
Kenapa Sutomo memutuskan untuk menerbitkan majalah berbahasa Jawa? Tak lain sebagai upaya mengedukasi khalayak ramai menggunakan bahasa ibu yang lebih familiar bagi mereka. Selain itu, juga supaya pesan-pesan kebangsaan tidak mudah ketahuan oleh penjajah Belanda (dan kemudian Jepang) yang pemahaman bahasa Jawa-nya sangat minimalis.
Sebelum pulang, Mbak Guide memberi saya sebuah majalah Panjebar Semangat.
Ah, saya jadi terharu…
Tidak sempat menikmati kemerdekaan Indonesia
Banyak tokoh besar kita ditakdirkan hidup sebagai teladan sambil menggugah semangat orang-orang di sekitarnya, tapi tidak ikut mencecap nikmat buahnya.
Pada tahun 1938, kita kehilangan dua tokoh nasional yang wafat tanpa sempat mendengar kemerdekaan Indonesia digaungkan lewat radio: dokter Sutomo dan WR Supratman.
Dokter Sutomo wafat tanggal 30 Mei 1938, diduga karena kanker hati. Sesuai wasiat, beliau dimakamkan satu lokasi dengan Gedung Nasional Indonesia.
WR Supratman wafat tanggal 17 Agustus 1938. Ironisnya, persis tujuh tahun setelah wafat beliau, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Sukarno dan Mohammad Hatta.
Akhirnya…
Mengunjungi museum berarti bermain dengan imajinasi.
Tuturan Mbak Guide, foto-foto, dan informasi yang kubaca terangkai dalam benakku, menjadi sebuah film tentang kehidupan seorang dokter bernama Sutomo.
Film imajiner yang membantuku memahami betapa menariknya periode awal abad 20 itu. Banyak tokoh nasional kita yang sama-sama tinggal di Surabaya pada periode yang sama. Kota ini menjadi melting pot tempat ide dan gagasan kebangsaan dicetuskan dan dihidupi oleh tokoh-tokoh macam dokter Sutomo, WR Supratman, Sukarno, HOS Cokroaminoto, dan lain-lain.
Film imajiner yang membantuku memahami bahwa mereka manusia betulan seperti kita semua. Mereka manusia beneran, bukan sekedar foto buram dan tanggal lahir-tanggal wafat yang harus dihapalkan dalam pelajaran Sejarah.
Aku bayangkan tokoh-tokoh itu berpapasan di jalan, lalu saling menyapa. Berjalan kaki di trotoar yang lebar, naik sepeda atau naik dokar. Bertemu di tempat diskusi. Ngopi bareng. Bisa jadi istri-istri mereka berbelanja di pasar yang sama. Anak-anak mereka saling bertemu saat nonton Cak Durasim manggung di lapangan.
Orang-orang seperti kita, namun jalan hidupnya tersangkut-paut dengan hiruk-pikuk menjelang lahirnya jabang bayi bernama Indonesia Raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar