Perempuan itu mendekati
mejaku sambil tersenyum malu-malu.
“Ada yang bisa dibantu,
Mbak?” sapaku sambil membalas senyumnya.
“Saya mau minta dibuatkan
surat pengantar untuk mengurus SKCK di Polsek, Bu,” jawabnya sambil menyodorkan
berkasnya. “Untuk melamar pekerjaan,” tambahnya.
“Mau melamar ke mana?”
Senyum malu-malu itu
tersungging lagi di bibirnya. “Mau melamar jadi driver online,”
jawabnya.
Driver
online. Istilah yang digunakan di kelurahan tempatku bekerja untuk
orang-orang yang bekerja sebagai pengemudi angkutan umum berbasis aplikasi,
baik pengemudi kendaraan roda dua maupun roda empat.
Tentu sudah berkali-kali aku
memproses surat pengantar sebagai persyaratan melamar pekerjaan sebagai driver
online. Namun ini pertama kalinya ada pemohon berjenis kelamin
perempuan.
Kutatap perempuan di
hadapanku. Dari KTP-nya, kutahu ia masih sangat muda. Tak jauh lebih tua dari
putraku. Tubuhnya ramping, cenderung kurus. Kerudung membingkai wajahnya yang
tirus dan nampak rapuh.
Ingatanku melayang pada para
pengemudi berbasis online yang pernah
mengantarkanku bepergian. Para pria itu bercerita tentang peliknya bekerja di
jalanan. Terutama cerita tentang penolakan sopir angkutan konvensional terhadap
kehadiran mereka, yang terpusat di wilayah-wilayah tertentu di kotaku.
Penolakan yang tak hanya diluapkan secara verbal, kadangkala bahkan diwujudkan
secara fisik.
Kalau para lelaki itu saja
jeri, bagaimana perempuan semuda, serapuh ini menghadapi tantangan itu nanti?
Bila tantangan verbal bisa diabaikan, bisakah tantangan fisik diatasi?
Aku tahu dia tak sendiri.
Sebagai pengguna angkutan umum berbasis aplikasi, dua kali sudah aku mengalami
disopiri perempuan. Yang pertama, seorang ibu berkerudung dengan putra-putri
yang sudah dewasa. Semula ia hanya mengurus rumah tangga. Yang kedua, seorang
alumnus perguruan tinggi di Yogyakarta yang memutuskan jadi driver selepas
kuliah. Dari penampilannya yang sporty, aku menduga ia
memang seorang berjiwa petualang.
Saat bercakap dengan dua
perempuan itu pun sesungguhnya dalam hati sudah kuacungkan jempol pada mereka.
Pekerjaan mereka tidaklah main-main. Keselamatan mereka (dan penumpang) adalah
taruhannya.
Sambil membuatkan surat
pengantar, sesekali aku melirik perempuan di hadapanku ini. Ah, aku salah
menilainya. Wajahnya memang lembut, namun matanya yang bulat memancarkan tekad.
Tekad yang sama, yang kulihat dalam pancaran mata dua perempuan yang pernah
mengantarkanku dengan kendaraan mereka.
Tekad yang menyiratkan “aku
mau” dan “aku bisa”.
Aku jadi ingat jawaban si
ibu, ketika kutanya kenapa masih mau jadi driver onlinewalaupun
putra-putrinya sudah mapan. “Rejeki kan harus dijemput, Mbak,” jawabnya ringan.
“Selama masih bisa, kenapa tidak dijalani?”
Perempuan itu tersenyum
sambil menerima surat pengantar dariku. Senyumnya manis.
Ya, rejeki memang harus
dijemput. Dan perempuan muda di hadapanku ini sebentar lagi menjemput
rejekinya.
“Semoga lancar dan sukses ya,
Mbak,” kataku padanya. Ia mengucapkan terima kasih.
Tak sekedar basa-basi, dalam
hati aku berdoa untuknya.
Tullisan ini sudah terbit di Peranperempuan.id dan bisa dibaca di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar