Istilah itu begitu saja meluncur
dari bibir M. Sholeh Syaifuddin, pengasuh Panti Asuhan Darul Jundi, Malang,
ketika kami berkunjung pada hari Sabtu, 4 Agustus 2018. Ia sedang mengenang
saat ia akhirnya memutuskan tidak hanya mengasuh anak-anak yatim dan yatim
piatu saja.
“Awalnya kami hanya menerima
anak-anak yatim dan yatim piatu saja. Saat itu ada satu anak yang sebenarnya
orang tuanya masih hidup, namun hidup berpisah dan si anak ini terlantar.
Karena kasihan, maka kami tampung juga. Malangnya, tiap kali ada undangan,
selalu dialamatkan untuk anak-anak yatim di sini. Anak ini tidak bisa ikut
karena orang tuanya masih hidup.”
“Suatu ketika, ia bertanya pada
saya, ‘Bapakku kapan matine yo, Pak?’
(Bapakku kapan matinya ya, Pak?)” tutur Pak Sholeh, panggilan akrabnya.
“Saat itu juga mata saya terbuka.
Ternyata selain anak-anak yang yatim karena orang tuanya secara fisik sudah
meninggal, ada juga anak-anak yang yatim karena orang tuanya tidak hidup dalam
hati mereka,” lanjutnya.
Ia berhenti sejenak. Matanya
berkaca-kaca. “Anak-anak yang yatim hati ini malah lebih memprihatinkan daripada
yang yatim fisik. Karena itu, mereka juga perlu mendapat perhatian. Punya orang
tua, tapi tidak ada yang bisa diwaduli
(dijadikan tempat mengadu).”
Tidak bisa tidak, aku sepenuhnya
setuju dengan Pak Soleh.
Pekerjaanku saat ini di sebuah kelurahan
di Kota Malang membuatku bersentuhan dengan anak-anak yang “yatim hati” ini. Anak-anak
yang orang tuanya “ada tapi tidak ada”. Anak yang lari dari rumah karena
dimarahi, anak yang repot mengurus sendiri Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM)
karena tidak dinafkahi ayah setelah si ayah punya keluarga baru, anak yang
ditelantarkan ibu setelah ayahnya meninggal, hanyalah beberapa di antaranya.
Apakah anak-anak itu hanya muncul
dari keluarga berpenghasilan rendah, seperti yang diasuh Pak Sholeh?
Tidak.
Anak yang mengurus sendiri Surat
Keterangan Tidak Mampu itu orang tuanya pengusaha.
Anak yang memutuskan minggat dari
rumah karena dimarahi itu kedua orang tuanya PNS.
Seorang remaja lelaki yang
kukenal lari dari rumah, lalu ditampung om-om, hingga menjalani gaya hidup
menyimpang. Selama tinggal dengan ayah kandungnya, ia dijadikan sansak hidup
tiap hari. Ayahnya ini pengusaha rumah kos, sehingga untuk hidup sehari-hari
tentu sudah lebih dari layak.
Remaja inilah terutama yang
muncul dalam ingatanku ketika istilah “yatim hati” digulirkan Pak Sholeh.
Miris. Sedih, rasanya.
Tanpa disadarinya, ucapan Pak
Sholeh adalah teguran.
Melihat putraku sekarang, dan
mengingat kenangan ketika aku pun masih kanak-kanak, kusadari ada kalanya yang
dibutuhkan anak hanyalah orang tuanya ada untuknya. Sebagai teman bicara yang
mau mendengarkan dan memahami. Tempat bertanya tanpa menggurui. Yang pelukannya
adalah rumah yang sesungguhnya.
Bukan seberapa banyak harta orang
tua. Bukan sehebat apa pekerjaan orang tua. Bukan sekeren apa penampilan orang
tua. Bukan orang tua yang fisiknya ada, tapi hatinya terpisah sejauh jarak bumi
dan matahari.
Bila yang dibutuhkannya tak
terpenuhi, kiranya bisa dipahami bila ada atau tidaknya sosok orang tua menjadi
tidak penting lagi, bahkan bisa-bisa dianggap sebagai “gangguan”.
Pak Sholeh, terima kasih sudah mengingatkan
kami. Insyaallah anak-anak kami tak akan bertanya, "Bapakku
kapan matine, yo?”
inspiratif, makasih utk artikelnya bu Dani, semoga anakku nggak yatim hati, aamiin
BalasHapus