Minggu, 19 Agustus 2018

[IT'S MY LIFE] YATIM HATI


Istilah itu begitu saja meluncur dari bibir M. Sholeh Syaifuddin, pengasuh Panti Asuhan Darul Jundi, Malang, ketika kami berkunjung pada hari Sabtu, 4 Agustus 2018. Ia sedang mengenang saat ia akhirnya memutuskan tidak hanya mengasuh anak-anak yatim dan yatim piatu saja.


 
“Awalnya kami hanya menerima anak-anak yatim dan yatim piatu saja. Saat itu ada satu anak yang sebenarnya orang tuanya masih hidup, namun hidup berpisah dan si anak ini terlantar. Karena kasihan, maka kami tampung juga. Malangnya, tiap kali ada undangan, selalu dialamatkan untuk anak-anak yatim di sini. Anak ini tidak bisa ikut karena orang tuanya masih hidup.”
“Suatu ketika, ia bertanya pada saya, ‘Bapakku kapan matine yo, Pak?’ (Bapakku kapan matinya ya, Pak?)” tutur Pak Sholeh, panggilan akrabnya.
“Saat itu juga mata saya terbuka. Ternyata selain anak-anak yang yatim karena orang tuanya secara fisik sudah meninggal, ada juga anak-anak yang yatim karena orang tuanya tidak hidup dalam hati mereka,” lanjutnya.
Ia berhenti sejenak. Matanya berkaca-kaca. “Anak-anak yang yatim hati ini malah lebih memprihatinkan daripada yang yatim fisik. Karena itu, mereka juga perlu mendapat perhatian. Punya orang tua, tapi tidak ada yang bisa diwaduli (dijadikan tempat mengadu).”
Tidak bisa tidak, aku sepenuhnya setuju dengan Pak Soleh.
Pekerjaanku saat ini di sebuah kelurahan di Kota Malang membuatku bersentuhan dengan anak-anak yang “yatim hati” ini. Anak-anak yang orang tuanya “ada tapi tidak ada”. Anak yang lari dari rumah karena dimarahi, anak yang repot mengurus sendiri Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) karena tidak dinafkahi ayah setelah si ayah punya keluarga baru, anak yang ditelantarkan ibu setelah ayahnya meninggal, hanyalah beberapa di antaranya.
Apakah anak-anak itu hanya muncul dari keluarga berpenghasilan rendah, seperti yang diasuh Pak Sholeh?
Tidak.
Anak yang mengurus sendiri Surat Keterangan Tidak Mampu itu orang tuanya pengusaha.
Anak yang memutuskan minggat dari rumah karena dimarahi itu kedua orang tuanya PNS.
Seorang remaja lelaki yang kukenal lari dari rumah, lalu ditampung om-om, hingga menjalani gaya hidup menyimpang. Selama tinggal dengan ayah kandungnya, ia dijadikan sansak hidup tiap hari. Ayahnya ini pengusaha rumah kos, sehingga untuk hidup sehari-hari tentu sudah lebih dari layak.
Remaja inilah terutama yang muncul dalam ingatanku ketika istilah “yatim hati” digulirkan Pak Sholeh.
Miris. Sedih, rasanya.
Tanpa disadarinya, ucapan Pak Sholeh adalah teguran.
Melihat putraku sekarang, dan mengingat kenangan ketika aku pun masih kanak-kanak, kusadari ada kalanya yang dibutuhkan anak hanyalah orang tuanya ada untuknya. Sebagai teman bicara yang mau mendengarkan dan memahami. Tempat bertanya tanpa menggurui. Yang pelukannya adalah rumah yang sesungguhnya.
Bukan seberapa banyak harta orang tua. Bukan sehebat apa pekerjaan orang tua. Bukan sekeren apa penampilan orang tua. Bukan orang tua yang fisiknya ada, tapi hatinya terpisah sejauh jarak bumi dan matahari.
Bila yang dibutuhkannya tak terpenuhi, kiranya bisa dipahami bila ada atau tidaknya sosok orang tua menjadi tidak penting lagi, bahkan bisa-bisa dianggap sebagai “gangguan”.
Pak Sholeh, terima kasih sudah mengingatkan kami. Insyaallah anak-anak kami tak akan bertanya, "Bapakku kapan matine, yo?”




1 komentar:

  1. inspiratif, makasih utk artikelnya bu Dani, semoga anakku nggak yatim hati, aamiin

    BalasHapus