Hubunganku dengan Mama tak
selalu baik.
Ada kalanya Mama benar-benar
membuatku geregetan setengah mati. Ada kalanya aku membuat Mama benar-benar
kehabisan kesabaran.
Itulah sebabnya, ketika
tumbuh dewasa aku selalu merasa Papa (yang notabene laki-laki) lebih bisa
memahamiku daripada Mama (walaupun sama-sama perempuan).
Ketika putraku lahir, hubunganku
dengan Mama tetap tak dekat. Aku merasa Mama terlalu mengatur caraku
membesarkan anak, sementara Mama menganggap aku tak bisa apa-apa.
Puncaknya ketika suatu malam
kami bertengkar, dalam kemarahanku, aku bilang, “Ini anakku Ma, aku akan
besarkan dia seperti yang aku mau, bukan seperti Mama mau.”
Setelah kata-kata itu
terucap, rumah mendadak hening. Mama kehilangan kata-kata. Aku sendiri terlalu
kaget mendengar ucapanku sendiri sehingga cuma bisa terduduk di sofa. Tak
pernah sebelumnya aku berkata sekeras itu pada Mama.
Malam itu justru jadi titik
balik hubunganku dengan Mama. Kami mencapai “kesepakatan” yang dulu tak pernah
berani kuimpikan. Mama tak lagi terlalu banyak berkomentar, khususnya tentang
caraku membesarkan putraku. Aku sendiri jadi tertantang untuk membuktikan bahwa
aku bisa, walaupun tidak menggunakan cara Mama.
Kami jadi lebih banyak
berdiskusi, tak lagi bersitegang saling ngotot mempertahankan pendapat.
Sejak itu pelan-pelan aku
menyadari, pada prinsipnya semua perempuan menjadi ibu dengan cara mereka
sendiri. Aku tahu, tak ada sekolah menjadi orang tua, khususnya jadi ibu. Memang
benar banyak media belajar yang tersedia, semisal buku-buku parenting, media online, seminar, dan lain-lain. Namun semua itu sifatnya umum, tak
bisa menjawab kondisi spesifik dalam keluarga yang dihadapi setiap ibu
sehari-hari. Pada akhirnya, setiap perempuan, setiap ibu, membuat
pilihan-pilihannya sendiri, yang terbaik yang dia bisa, sesuai dengan situasi
yang dihadapinya.
Aku tak
tahu perjalanan hidup macam apa yang membentuk Mama jadi seperti sekarang ini.
Teladan apa yang ditirunya dalam membesarkan anak. Untukku, dalam membesarkan
anakku, aku mengambil apa yang menurutku baik dari Mama, dan aku tinggalkan
yang jelek. Aku mengambil ketabahannya dalam menghadapi badai rumah tangga. Aku
meniru ketegarannya dalam mengarungi hidup. Aku meneladani tekadnya untuk
memberikan yang terbaik agar anak-anaknya menjadi yang terbaik.
Sebaliknya,
aku minimalkan semua metode marah-marah yang hanya berujung pada sakit hati dan
keengganan untuk patuh. Aku optimalkan usaha memberi teladan lewat perbuatan,
tak sekedar nasihat panjang-lebar.
Apakah aku
sudah jadi ibu yang baik untuk anakku? Tentu saja belum. Aku belum bisa
memberikan keluarga yang utuh bagi anakku. Aku sering kelelahan ketika pulang
kantor sehingga aku tak selalu bisa memantau kegiatannya. Aku sering belepotan
dalam menjalani peran sebagai ibu sekaligus ayah baginya. Aku tak bisa
memberinya masukan ‘dari sudut pandang laki-laki’ yang seringkali dibutuhkan
anakku seraya ia tumbuh dewasa, karena aku perempuan. Aku tak bisa selalu
memenuhi keinginannya karena penghasilanku yang terbatas.
Seperti
Mama, aku juga berusaha menjadi ibu yang baik.
Seperti
Mama, aku juga manusia biasa, bukan manusia setengah dewi.
Seperti
Mama, aku juga takkan berhenti berusaha jadi ibu yang sebaik-baiknya untuk
anakku.
Selamat Hari Ibu, Ma.
Selamat Hari Ibu untukku
juga.
Tulisan ini sudah tayang di situs PeranPerempuan.id dengan judul TAK ADA SEKOLAH MENJADI IBU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar