Kami
jarang membeli pakaian baru.
“Kami”
ini maksudnya orang tuaku, aku, anakku, adikku bersama suaminya, beserta
anak-anak mereka.
Karena
jarang membeli baju inilah maka kami jadi sering saling meminjam pakaian. Jadi
serasa punya pakaian “milik bersama”. Tentu kecuali pakaian dalam dan T-shirt. Anakku memakai kemeja batik kakeknya.
Piyama kesayangan anakku dipakai oleh sepupu-sepupunya. Aku memakai kebaya
ibuku. Untuk mengajar di kampus, adikku memakai setelan resmiku.
Tak
hanya pakaian, kami juga sering saling meminjam kerudung. Kerudung yang kubeli,
misalnya, dipakai juga oleh ibuku, adikku, dan keponakan perempuanku.
Malu?
Tidak, tuh. Selama masih layak pakai, pantas, tidak saltum, dan enak dilihat,
kenapa tidak? Toh kami semua aktif di lingkungan berbeda, sehingga kecil
kemungkinannya ada orang yang memergoki kami bergilir memakai pakaian yang
sama.
Tentu
bukan karena pelit maka kami jarang membeli pakaian baru. Walaupun dengan
segala kemudahan belanja online,
pakaian baru bukanlah prioritas bagi kami. Bagaimana tidak, para cucu lebih
banyak mengenakan seragam sekolah. Apalagi dengan perubahan jam sekolah yang
mengharuskan mereka pulang sekolah lebih sore lagi, makin kecil kemungkinan
mereka menghabiskan waktu di luar sekolah (dan karenanya tidak terlalu
membutuhkan pakaian nonseragam sekolah). Di lain pihak, pilihan pakaian untuk
aku, adikku, dan suaminya sangat terbatas karena kami harus tunduk pada
peraturan kantor terkait pakaian kerja.
Setiap
pakaian yang kami miliki selalu dimaksudkan untuk jangka panjang. Untukku
pribadi, pakaianku harus masih pantas dipakai minimal 5 tahun yang akan datang.
Kami jarang mengikuti mode yang lagi tren. Karena memang sudah sehati, tanpa
janjian pun kami nyaris selalu membeli pakaian bergaya basic. Kalau sedang ingin tampil beda, kami mengandalkan padu padan
pakaian yang ada. Beda generasi juga tak pernah menjadi masalah besar bagi kami
karena orang tuaku tetap aktif di luar rumah dan tetap bergaya muda, sehingga
pakaian mereka tetap pantas dipakai oleh anak-anaknya, bahkan dipakai oleh
anakku.
Jadi,
mohon maaf pada pengusaha ritel maupun online
yang menawarkan tren pakaian terbaru, kami jarang tertarik pada tawaran Anda (kecuali
kepepet).
Kebiasaan
pinjam-meminjam pakaian ini baru merepotkan ketika hendak dipakai. Contohnya,
ketika anakku ribut mencari kemeja batik milik kakeknya (yang biasa dipakai
anakku), ternyata si kemeja terdampar di lemari pamannya (suami adikku). Atau
kerudung yang hendak kupakai ternyata sudah dipakai duluan oleh keponakanku sehingga
aku terpaksa memilih kerudung lain.
Sisi
positifnya? Kami jadi punya stok pakaian alternatif. Ketika harus bertugas ke
dua kota yang berbeda selama dua minggu berturut-turut, misalnya, aku tak
kuatir kekurangan baju bersih. Ibuku dengan senang hati menawarkan koleksi
bajunya untuk kubawa. Adikku yang ingin tampil beda di acara universitas,
tinggal membongkar lemariku untuk memadupadankan setelannya. Anakku yang
mendadak diundang ke acara pesta bertema western
vintage, tinggal meminjam pakaian kakek dan pamannya.
Teman-temanku
sudah hapal benar dengan kebiasaan keluarga kami ini, sehingga mereka tidak
lagi memaksaku ikut berbelanja pakaian bila sedang ada sale. Paling-paling mereka hanya akan mengangkat sebelah alis bila
aku menunjuk pakaian yang kukenakan (dengan bangga) dan berkata, “Eh, tahu
nggak, ini blus ibuku, lho…”
Mungkin
mereka berpikir, pinjam kok bangga…
Ya
jelas banggalah…
Kan hanya
kami yang bisa begini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar