Jumat, 08 Desember 2017

[IT'S MY LIFE] MILIK BERSAMA



Kami jarang membeli pakaian baru.

“Kami” ini maksudnya orang tuaku, aku, anakku, adikku bersama suaminya, beserta anak-anak mereka.

Karena jarang membeli baju inilah maka kami jadi sering saling meminjam pakaian. Jadi serasa punya pakaian “milik bersama”. Tentu kecuali pakaian dalam dan T-shirt. Anakku memakai kemeja batik kakeknya. Piyama kesayangan anakku dipakai oleh sepupu-sepupunya. Aku memakai kebaya ibuku. Untuk mengajar di kampus, adikku memakai setelan resmiku.

Tak hanya pakaian, kami juga sering saling meminjam kerudung. Kerudung yang kubeli, misalnya, dipakai juga oleh ibuku, adikku, dan keponakan perempuanku.

Malu? Tidak, tuh. Selama masih layak pakai, pantas, tidak saltum, dan enak dilihat, kenapa tidak? Toh kami semua aktif di lingkungan berbeda, sehingga kecil kemungkinannya ada orang yang memergoki kami bergilir memakai pakaian yang sama.

Tentu bukan karena pelit maka kami jarang membeli pakaian baru. Walaupun dengan segala kemudahan belanja online, pakaian baru bukanlah prioritas bagi kami. Bagaimana tidak, para cucu lebih banyak mengenakan seragam sekolah. Apalagi dengan perubahan jam sekolah yang mengharuskan mereka pulang sekolah lebih sore lagi, makin kecil kemungkinan mereka menghabiskan waktu di luar sekolah (dan karenanya tidak terlalu membutuhkan pakaian nonseragam sekolah). Di lain pihak, pilihan pakaian untuk aku, adikku, dan suaminya sangat terbatas karena kami harus tunduk pada peraturan kantor terkait pakaian kerja.

Setiap pakaian yang kami miliki selalu dimaksudkan untuk jangka panjang. Untukku pribadi, pakaianku harus masih pantas dipakai minimal 5 tahun yang akan datang. Kami jarang mengikuti mode yang lagi tren. Karena memang sudah sehati, tanpa janjian pun kami nyaris selalu membeli pakaian bergaya basic. Kalau sedang ingin tampil beda, kami mengandalkan padu padan pakaian yang ada. Beda generasi juga tak pernah menjadi masalah besar bagi kami karena orang tuaku tetap aktif di luar rumah dan tetap bergaya muda, sehingga pakaian mereka tetap pantas dipakai oleh anak-anaknya, bahkan dipakai oleh anakku.

Jadi, mohon maaf pada pengusaha ritel maupun online yang menawarkan tren pakaian terbaru, kami jarang tertarik pada tawaran Anda (kecuali kepepet).

Kebiasaan pinjam-meminjam pakaian ini baru merepotkan ketika hendak dipakai. Contohnya, ketika anakku ribut mencari kemeja batik milik kakeknya (yang biasa dipakai anakku), ternyata si kemeja terdampar di lemari pamannya (suami adikku). Atau kerudung yang hendak kupakai ternyata sudah dipakai duluan oleh keponakanku sehingga aku terpaksa memilih kerudung lain.

Sisi positifnya? Kami jadi punya stok pakaian alternatif. Ketika harus bertugas ke dua kota yang berbeda selama dua minggu berturut-turut, misalnya, aku tak kuatir kekurangan baju bersih. Ibuku dengan senang hati menawarkan koleksi bajunya untuk kubawa. Adikku yang ingin tampil beda di acara universitas, tinggal membongkar lemariku untuk memadupadankan setelannya. Anakku yang mendadak diundang ke acara pesta bertema western vintage, tinggal meminjam pakaian kakek dan pamannya.

Teman-temanku sudah hapal benar dengan kebiasaan keluarga kami ini, sehingga mereka tidak lagi memaksaku ikut berbelanja pakaian bila sedang ada sale. Paling-paling mereka hanya akan mengangkat sebelah alis bila aku menunjuk pakaian yang kukenakan (dengan bangga) dan berkata, “Eh, tahu nggak, ini blus ibuku, lho…”

Mungkin mereka berpikir, pinjam kok bangga…

Ya jelas banggalah…

Kan hanya kami yang bisa begini!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar