Say something, I’m giving up on you…*)
Sobekan kertas dalam
genggamannya nyaris lumat sepenuhnya. Alamat yang tertulis di dalamnya,
tintanya memburam karena keringat.
Dipandangnya bangunan di hadapannya. Masjid Annur… aneh, betapa akrab bangunan ini terasa baginya, walaupun baru saat ini ia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Entah sudah berapa ratus kali ia memandangi gambar masjid itu dalam aplikasi Goggle Map. Ia hapal bentuk bangunan itu sejak masih pembangunannya, sebelum menjadi semegah ini.
Dipandangnya bangunan di hadapannya. Masjid Annur… aneh, betapa akrab bangunan ini terasa baginya, walaupun baru saat ini ia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Entah sudah berapa ratus kali ia memandangi gambar masjid itu dalam aplikasi Goggle Map. Ia hapal bentuk bangunan itu sejak masih pembangunannya, sebelum menjadi semegah ini.
Lelaki yang dicarinya itu
pernah berfoto di depan masjid ini, ketika dinding masjid belum lagi dicat rapi.
Tertawa lepas. Selembar sajadah di tangannya. Mungkin saat itu ia baru saja
shalat. Shalat ‘Id? Mungkin.
Berkat foto itu, ia
tahu ke mana harus mencari. Masjid Annur… berapa banyak masjid bernama Annur di
seluruh Indonesia, di seluruh Jawa, di seluruh Jawa Timur, di seluruh… Jombang?
Ia tersenyum sendiri.
Betapa ia sudah begitu bergantung pada teknologi. Sebagai penawar rasa
penasaran, ketika keyakinan yang dimilikinya hanyalah bahwa lelaki itu mestinya
tinggal tak jauh dari Masjid Annur. Masih di Indonesia, masih di Pulau Jawa,
masih di Jawa Timur. Karenanya masih hidup, masih bisa dicari keberadaannya.
Sebagai penunjuk jalan, ketika yang dia tahu hanyalah
masjid ini sebagai acuan.
Say something, I’m giving up on you
I’m sorry that I couldn’t get to you*)
Ia mendongak, menatap
langit. Hari yang sempurna. Lewat tengah hari di Jombang, ketika harusnya
matahari sedang garang-garangnya. Namun hujan yang turun beberapa saat lalu
menyejukkan, melembutkan cahaya mentari, melegakan dadanya yang debarnya tak
teratur sejak ia memutuskan untuk mengikuti petunjuk terakhir yang dimilikinya:
alamat yang kini tergenggam erat di tangannya.
Ia nyaris tertawa
sendiri. Banyak orang bilang, ia sudah gila. Mungkin mereka benar. Mungkin ia
MEMANG sudah gila. Ia sudah berhenti mencoba menyangkal. Kesadaran itu datang
begitu saja di tengah pencariannya: hanya orang gila yang terobsesi seperti ini.
Hanya orang gila yang
bisa memahami rasa sakit ini.
Ia sudah tak muda lagi.
Sudah berkali-kali jatuh cinta. Harusnya dia sudah kebal. Sudah hapal betul
akibatnya.
Ia sudah tak muda lagi.
Kata-kata itu diulanginya dengan pahit. Itukah sebabnya ia seperti ini?
Menghabiskan waktu berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, melacak lelaki
yang tak ingin ditemukan?
Karena ini kesempatan
terakhirnya untuk menemukan cinta?
Seorang lelaki paruh
baya melintas, memandangnya sekilas. Ia orang asing di situ, ia tahu, karenanya
penduduk pasti ingin tahu siapa dia, apa urusannya di situ.
Tidak, ia tidak
tersinggung.
Ia tersenyum pada bapak
itu, dan bertanya, “Perumahan Pondok Indah sebelah mana ya, Pak?”
Yang dijawab, “Pondok
Indah atau Metro Pondok Indah, Mbak?”
Dibukanya sebentar
gumpalan kertas dalam genggamannya, walaupun ia sudah hapal luar kepala,
“Pondok Indah.”
“Pondok Indah di
sebelah kiri, Metro Pondok Indah di sebelah kanan.” Bapak itu tersenyum ramah.
Benar kan, hari ini
hari yang sempurna bagi pencariannya. Bahkan bapak ini pun ramah padanya, orang
asing di situ.
Ia sudah menempuh
ratusan kilometer untuk sampai di situ. Pencariannya, harusnya, sudah hampir
berakhir. Ia sudah melalui bagian tersulit, sudah melakukan hal yang nyaris
mustahil: mencari keberadaan lelaki yang tidak ingin ditemukan.
Harusnya sekarang mudah
saja. Etape terakhir dalam perjalanannya.
Iya, kan?
Dipandanginya jalan
berpaving di hadapannya, memanjang lurus. Rumah-rumah di kiri-kanannya berdiri
muram. Beberapa rumah seperti ditinggalkan tanpa penghuni, tampak menyedihkan,
mengecilkan hatinya.
Tak tampak orang
lalu-lalang, kecuali, dalam sebuah gang, dilihatnya beberapa wanita duduk-duduk
di sebuah gazebo. Mereka menoleh ketika ia melintas di mulut gang, lalu
berpaling tak peduli.
Salahnya, datang ke
situ pada saat lazimnya orang belum pulang bekerja, hiburnya dalam hati. Atau
mungkin memang sebaiknya sepi begini, ketika lelaki yang dicarinya itu belum
pulang bekerja, sehingga ia bisa leluasa mencari rumahnya.
Dipandangnya
sekeliling. Harus mulai dari mana?
Di tikungan depan
beberapa lelaki duduk-duduk di teras sebuah rumah. Sepeda motor mereka begitu
saja memenuhi halaman yang sempit.
“Maaf,” tanyanya, “blok
AG sebelah mana, ya?”
Para lelaki itu
berhenti bercakap, menatapnya tajam.
“Blok AG sebelah mana,
ya?” ulangnya.
Seorang lelaki berbadan
tambun bangkit dan mendekat. “Tidak ada blok AG di sini,” jawabnya.
Jantungnya terasa
berhenti sejenak. Tidak ada blok AG di sini? Masa alamat yang diperoleh dengan
susah-payah ini ternyata alamat palsu?
Lelaki itu menatapnya.
“Mbak mau mencari siapa?” tanyanya, mungkin iba.
Ia menelan ludah. Sudah
begitu lama ia tak menyebut nama lelaki itu. “Ferdi. Saya mencari rumah Pak
Ferdi.”
Lelaki di hadapannya
terdiam lama, seperti menimbang-nimbang sesuatu. “Di sini tidak ada yang
namanya Pak Ferdi.”
Ia tahu,
setahu-tahunya, bahwa lelaki itu berbohong.
Lelaki itu masih
menatapnya. Lalu, tanpa disangka-sangka, berkata, “Maaf…”
Ia mendongak, menatap
langsung mata lelaki di hadapannya itu. Dalam bola matanya ia melihat iba dan
sesal. Kenapa iba? Kenapa sesal? Apakah karena ia telah berkata dusta?
Ia memaksakan sebuah
senyum, kemudian berlalu. Tak ada yang bisa dilakukannya. Lelaki tadi sudah
bulat-bulat berkata tak ada blok AG. Tidak ada Ferdi.
And I’m feeling so small
It was over my head
I know nothing at all*)
Keraguan yang sedari tadi dipendamnya timbul tanpa bisa dicegah.
Sesungguhnya ia pun tak
tahu apa yang dilakukannya di situ. Ia hanya tahu bahwa ia harus ke situ. Kini,
suara yang selama ini diabaikannya, berbisik lagi di telinganya, menanyakan
pertanyaan yang coba dienyahkannya.
Setelah ketemu alamat itu, lalu apa?
Kali ini senyumnya
pahit. Orang waras pasti sudah balik badan, lalu pergi. Apa yang dicarinya di
sini? Tak ada. Bahkan bisa dipastikan, tak ada sambutan ramah yang menunggunya.
Pertengkaran mereka
yang terakhir, yang berujung pada kepergian lelaki itu, harusnya sudah cukup
jelas baginya. Lelaki itu tak tertarik padanya. Tidak sebagai teman, apalagi
sebagai seorang kekasih. Apalagi lelaki itu sudah menegaskan maksudnya dengan memblokir
nomornya di ponsel beserta akunnya di media sosial. Ia tak bisa lagi
menghubungi lelaki itu, bahkan sekedar mengintip isi akun media sosialnya.
Harusnya ia marah. Harusnya
ia mengamuk. Harusnya ia mengutuk. Seperti yang dilakukannya pada semua lelaki
yang meninggalkannya.
Tapi kali ini, lelaki ini, berbeda. Lelaki ini
menelanjangi hatinya bulat-bulat. Lelaki ini, tanpa tedeng aling-aling, tanpa
basa-basi membuka rahasianya yang terbesar: bahwa ia tak layak dicintai.
Begitu telaknya hingga
ia tak bisa lagi marah, atau mengamuk, atau mengutuk. Yang tersisa hanya
kesadaran yang menyakitkan. Bahwa ia tak layak dicintai. Karena itu mereka
semua pergi meninggalkannya. Karena entah bagaimana, entah mengapa,
keperempuanannya tidak bisa mencegah para lelaki meninggalkannya.
Dihelanya napas panjang. Ia sudah menempuh perjalanan
panjang untuk sampai di tempat itu, namun kini ia tak lagi yakin.
Sudah begitu lama… sudah begitu jauh waktu berjalan…
Dibukanya genggaman tangannya. Gumpalan kertas berisi
alamat itu masih di tempatnya, makin lembab karena keringat. Tinggal satu gang
yang belum dimasukinya.
Gang tempat perempuan-perempuan tadi berkumpul.
Dalam hati ia berdoa, please, please, semoga
kali ini benar…
Gang itu kini sepi. Perempuan-perempuan yang tadi
sekilas dilihatnya duduk-duduk di gazebo sudah membubarkan diri.
And I swallow my pride
You’re the one that I love
And I’m saying goodbye*)
Perasaan hangat yang tadi dirasakannya saat mencari
kompleks perumahan ini sudah hilang entah sejak kapan. Ia orang asing di situ. Mungkin
hanya perasaannya saja, tapi tatapan orang-orang yang ditemuinya di gang itu
tidaklah ramah. Seakan-akan mereka tahu isi hatinya. Tahu rahasianya. Bahwa ia
datang ke tempat itu untuk mencari rumah lelaki yang bahkan tak sudi menemuinya
lagi.
Gang itu bercabang, dan ia berbelok. Di pagar sebuah
rumah ia membaca: AG… blok AG… Dadanya berdegup kencang, menghapus semua
keraguannya. Mungkinkah… mungkinkah? Ditatapnya nomor-nomor rumah di sisi
kanan-kiri jalan. 10… 9… 7… 8… mana rumah nomor 12?
Makin ke ujung nomornya makin kecil, lalu gang itu
berakhir begitu saja di ujung gang lain. Ia berbalik. Ia pasti salah hitung. Jangan-jangan…
Ia kembali menyusuri gang itu, ke arah datangnya tadi.
Hingga rumah itu. Rumah di sudut jalan. Bertingkat dua, terletak di sudut
antara gang dengan jalan berbatu yang disangkanya jalan buntu. Tidak ada nomor
tertera di dinding, di pagar, atau di manapun yang bisa dilihatnya. Tapi ia
yakin, seyakin-yakinnya, rumah inilah yang dicarinya. Blok AG nomor 12.
Tapi mana penanda itu, penanda khas yang menunjukkan
itu rumah lelaki yang dicarinya?
Ia berbelok, keluar dari gang, menuju jalan berbatu,
mencari dinding rumah yang tak nampak dari gang. Dan di sanalah penanda itu
berada: relief dinding yang khas, menggambarkan sosok-sosok bersorban nan
berwibawa, dengan matahari kuning di atas mereka.
Tak salah lagi. Ini rumahnya. Ini rumah lelaki itu. Ia
pernah melihat foto lelaki itu dalam pose santai di depan relief ini.
Lehernya tercekat. Dadanya membuncah, namun tak seinci
pun tubuhnya mampu bergerak. Hanya tiga langkah, kurang-lebih, dan ia bisa
menjangkau pagar rumah itu. Membunyikan bel, lalu bertanya tentang Ferdi.
Hanya tiga langkah, namun tubuhnya membeku. Waktu membeku.
Dunia membeku.
Say something, I’m giving up on you
I’m sorry that I couldn’t get to you
And anywhere, I could’ve followed you
Say something, I’m giving up on you*)
Ia pernah menimbang-nimbang untuk meninggalkan semua. Pekerjaannya.
Karirnya. Keluarganya. Andai lelaki itu meminta.
Tapi lelaki itu tak pernah meminta. Jangankan meminta,
mengenalnya saja bagaikan aib bagi lelaki itu.
Di situlah ia sekarang. Rumah lelaki itu. Potongan terakhir
dalam puzzle misteri. Ia bisa membunyikan bel dan menghadapi apapun yang akan
terjadi.
Atau tidak.
Harusnya ia merasakan sesuatu. Tapi tidak ada perasaan
yang muncul. Tidak rasa lega. Tidak rasa marah. Tidak juga rindu, yang tadinya
ia bayangkan akan muncul.
Ia hanya merasa… kosong.
Tidak ada rasa puas karena menemukan rumah itu. Tidak ada
rasa kalah karena tidak memencet bel.
Hanya… kosong.
Bukan ini yang diharapkannya, namun ini juga bukan
antiklimaks, karena ia tak pernah bisa membayangkan akhir macam apa yang akan
dialaminya.
Hanya… kosong.
Semua perasaan yang menggayuti hatinya, mengaburkan
otaknya, pergi begitu saja, meninggalkan ruang kosong yang begitu besar dalam dirinya.
Ia mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa berat. Lelaki
itu masih hidup. Di Jombang, di Jawa Timur, di Indonesia. Dan ini rumahnya.
Alhamdulillah… begitu saja hatinya berbisik. Setengah terkejut,
ia sadar. Ya, Alhamdulillah. Saat ini, entah di mana, lelaki itu berada. Mungkin
sedang bekerja. Jantungnya masih berdenyut, walaupun denyut itu bukan untuknya.
Mungkin ia sedang tersenyum, teringat perempuan lain yang bukan dirinya. Matanya
yang indah mungkin juga sedang mengagumi matahari yang pelan-pelan turun di
ufuk barat. Rambutnya yang ikal indah mungkin sedang dihembus angin sore.
Semua itu patut disyukuri. Lelaki itu masih hidup, walaupun
hidup itu tak dijalani bersamanya.
Mungkin ia akan bertemu lelaki itu lagi. Kelak. Mungkin
juga tidak.
Dan rasa kosong ini… yah, ia akan bertahan, seperti
yang sudah-sudah. Entah seperti apa nantinya, entah seperti apa jadinya, yang
pasti ia akan bertahan.
Karena hanya itu yang ia tahu, hanya itu yang ia bisa.
Bertahan.
Say something, I’m giving up on you
Say something…*)
*) Kutipan lirik dari
lagu “Say Something” – A Great Big World
dan Christina Aguilera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar