Aku sudah tertarik
pada Mas Rindra sejak masa orientasi siswa baru. Jangkung. Rahang kuat. Hidung
mancung. Cerdas. Aktivis pecinta alam.
Satu hal yang membuatku enggan
mendekatinya: adiknya.
Ya, adik perempuannya, Reni, sekelas
denganku. Walaupun sama cerdasnya, Reni sangat berbeda dari abangnya. Kecil
mungil, ceriwis, lincah, dan ngetop luar biasa.
Reni dan kelompoknya bagaikan ‘kalangan bangsawan’,
sedangkan aku termasuk ‘rakyat jelata.’
Perbedaan ‘kasta’ itu membuatku
mengubur dalam-dalam rasa sukaku pada Mas Rindra.
Hingga suatu hari, saat pertandingan
olahraga antarkelas.
Sambil menunggu pertandingan, teman-teman sekelas
nongkrong di kantin.
Tak seperti biasa Mas Rindra bergabung dengan kami.
Saat itu rupanya Reni sedang kambuh tengilnya. Dengan santai ia
menyuruh-nyuruh Mas Rindra.
“Rindra, bawain tasku.”
“Rindra, beliin minum.”
Rindra ini, Rindra itu.
Setelah memberi perintah, Reni
terkikik-kikik karena puas mengerjai abangnya.
Marahkah Mas Rindra?
Tidak sama sekali. Diturutinya saja kemauan
Reni. Dengan santainya ia bahkan mencangklong tasnya dan tas Reni di pundaknya.
Ekspresinya menunjukkan dia abang yang sayang adik, walaupun adiknya sedang
bertingkah.
Saat itu aku membatin, aku ingin
lelaki seperti ini. Lelaki yang sayang
keluarga pasti sayang pada wanitanya kelak, walaupun wanitanya merepotkan.
Hingga Mas Rindra lulus, ia tak
pernah tahu aku menyukainya.
Ogah ah, adiknya itu enggak banget buatku!
Tulisan ini diikutsertakan dalam event Cerita Cinta dari SMA yang diselenggarakan oleh Fiksiana Community.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar