Lelah nugas di Jakarta dan Bandung adalah alasan yang valid bagi saya untuk mulai googling hiburan untuk melepas kegabutan saya pada akhir minggu terakhir bulan April 2024.
Posisi di Bandung, tapi tidak tertarik untuk belanja ke Pasar Baru.
Alternatifnya apa?
Dari media sosial, saya mendapat informasi bahwa Bandung Good Guide berkolaborasi dengan Eat And Date pada tanggal 27 April 2024, start jam 08.00 pagi. Acaranya, kulineran di daerah Lengkong.
Lengkong itu di mana saja saya tidak tahu. Tapi tak apa. Yuk, gaskeun!
Titik kumpul di trotoar depan BSI Asia Afrika Bandung. Seperti biasa, saya bersama Juno. Hari itu, kami sarapan ringan saja, untuk memberi ruang seluas-luasnya bagi segala jenis kuliner yang akan kami sikat sepagian ini.
Sebelum berangkat, pemandu kami, Kang Rifki dari Bandung Good Guide dan Teh Stevi dari Eat And Date membekali kami dengan peralatan makan.
Surprise yang sungguh menyenangkan. Jadi makin yakin bahwa hari ini bakal kenyang beneran.
Dari BSI Asia Afrika, tak sampai 50 meter, kami tiba di kuliner pertama: COMRO ECHO
"Cho"-nya mohon dilafalkan seperti "co-cok", ya... Echo, artinya dalam bahasa Jawa adalah "enak".
Pak Dani, founder Comro Echo sudah mulai berjualan comro sejak tahun 1997. Semula berjualan keliling, kini sudah menempati tempat yang permanen. Tak hanya comro, beliau juga berjualan gorengan lain, antara lain pisang goreng dan tahu isi.
Buat pembaca budiman arek Malang yang tidak familiar dengan comro, comro itu adalah jemblem, makanan yang berasal dari parutan singkong yang digoreng bulat-bulat. Bedanya, comro kemudian diisi oncom pedas.
Ngomong-ngomong soal pedas, comro produksi Pak Dani ini ada dua jenis. Yang bulat sempurna, pedasnya sedang. Yang lonjong, pedasnya nendang.
Comro sering dikonsumsi untuk sarapan, ditemani segelas kopi atau teh hangat. Karena itu, rata-rata penjual comro berjualan antara pukul 08.00 hingga pukul 10.00 saja.
Kalau saya sendiri, belum sarapan kalau belum makan nasi.
Puas menikmati comro sambil sedikit ber-huhhah kepedasan, kami bergeser ke Jalan Nursijan, mengunjungi MIE NURSIJAN.
Kedai mie ini didirikan oleh Pak Akiong pada tahun 1968, dan kini dikelola oleh Pak Wei Wei dan Bu Monika.
Mienya homemade, mie kecil, mirip dengan mie untuk cwie mie khas Malang.
Ngomong-ngomong soal cwie mie, saya sudah penasaran sejak melongok bahan-bahan racikan Mie Nursijan. Selain mie, tampak ada daging ayam cacah, botol-botol perbumbuan duniawi, dan kuah kaldu yang menggelegak di panci, harum menggoda selera.
Persis bahan-bahan cwie mie. Paling tidak, persis bahan-bahan cwie mie di kedai langgananku di Malang.
Mie Nursijan menyajikan mie polos dan rica, dengan base bumbu asin dan manis. Pembeli bisa memesan kombinasinya.
Saya pesan mie polos asin.
Mengasyikkan sungguh menonton Pak Wei Wei meracik mie.
Masukkan mie ke dalam air rebusan.
Aduk rata.
Siapkan mangkok.
Segala rupa minyak bumbu dituang.
Mie ditumplekkan ke dalam mangkok.
Aduk rata bersama saos dan minyak.
Taburi daging ayam cacah.
Kuah kaldu ayam kampung dihidangkan di mangkok terpisah. Makin mengepul asapnya, makin menguar aromanya.
Siap disantap.
Pak Wei Wei berpesan, untuk sendokan pertama, mie-nya jangan dicampur segala macam sambal dan kecap dulu, supaya kita familiar dengan rasa asli hidangan tanpa embel-embel.
Untuk yang satu ini, saya sepenuhnya setuju dengan Pak Wei Wei.
Saya juga, paling anti mengublek sambal, saos, dan kecap ke dalam mie atau bakso. Kuah tetap jernih. Rasa asli tetap terjaga.
Mie atau bakso yang memang enak, pasti tetap enak walaupun tanpa ublekan saos, sambal, kecap, dan lain-lain.
Tampilan mie yang kemudian muncul di hadapanku serupa dengan cwie mie. Semangkok mie, dengan taburan ayam cacah, ditemani semangkok kuah di sisinya. Tanpa pangsit, brambang (bawang merah) goreng, dan potongan acar mentimun-cabai. Pun ketika kucoba melongok dasarnya, tak kutemukan potongan sayur sawi rebus atau selada yang biasanya menghiasi semangkok cwie mie.
Selebihnya?
Sebelas-dua belas dengan cwie mie.
Perkara topping kiranya bukan perkara prinsip. Ada atau tidak pangsit, acar, dan sayur bukanlah hal besar.
Andai saya makan dengan mata tertutup, kiranya tak mudah membedakan mie Nursijan dengan cwie mie.
Walaupun, tentu saja, mie-nya akan kececeran kalau saya makan sambil merem.
Namun memang, kalau mau lebih teliti sedikit, minyak bawang dalam mie Nursijan terasa lebih soft daripada minyak bawang dalam cwie mie yang lebih medok.
Kenyang makan mie, saatnya melonggarkan ikat pinggang sejenak sebelum kulineran lagi. Ke mana lagi kalau bukan ke SOES STORY.
Walaupun menjual berbagai menu lain, toko kue yang memiliki speciality choux dengan resep lama ini berdiri tahun 2005 dan dikelola oleh Pak Freddy. Varian isiannya antara lain original, chocolate, marie regal, matcha, strawberry, cappuccino, dan keju. Kata Pak Freddy, para pelanggan wanita paling suka varian matcha.
Eh, kok choux? Katanya jualan kue soes...
Iya, kue soes itu tulisan aslinya choux.
Kue-kue choux ini tidak hanya lucu dan imut-imut. Isiannya juga luber dan creamy. Ukurannya mungil, sekali hap langsung masuk mulut. Tidak perlu kuatir isiannya belepotan ke mana-mana.
Setelah puas icip-icip choux beraneka isian, perut sudah agak longgar, ayok jalan lagi ke BASO TAHUN SHIN-CHAN.
Kedai baso tahu ini didirikan oleh Bu Wahyuni pada tahun 2005.
Bagi pembaca budiman arek Malang yang tidak familiar dengan baso tahu, baso tahu adalah siomay dengan bumbu kacang, namun tanpa pare dan kubis.
Perut kenyang, mata berat, langkah (sedikit) goyah, untunglah hanya selangkah-dua langkah kami sudah tiba di KOPI TOKO TUA.
Segelas-dua gelas kopi tentunya bisa menyegarkan tubuh.
Juno memesan Kopi Toko Tua, minuman dingin paduan sempurna kopi dan susu, menghasilkan rasa pahit, manis, dan creamy yang seimbang.
Untukku sendiri? Sebagai penggemar coklat, pilihan pasti adalah Coklat Toko Tua untuk menyudahi acara makan-makan hari ini. Nyoklat beneran sampai tetes terakhir.
Perut kenyang, pikiran adem.
Eh, makin bahagia karena dapat tumbler sebagai hadiah tebak-tebakan lucu.
Dalam perjalanan ke Masjid Raya Bandung untuk shalat Dzuhur, ingatan melayang lagi ke mie Nursijan yang ternyata mirip cwie mie. Bila jagad mie adalah Diagram Venn, menarik juga bahwa Bandung dan Malang ada rasa yang beririsan.
Kadang-kadang kita terlalu terfokus pada perbedaan, sampai-sampai lupa bahwa ada kalanya lebih mudah mencari kesamaan.
Ah, sudahlah...
Hujan menderas di tengah perjalanan. Bunyi tetesan hujan di kaca jendela mobil dan perut yang kenyang membikin ngantuk.
Merem sebentar, enak nih.
Selamat siang, selamat tidur... hoaaaheemmm...
Tulisan ini juga tayang dengan judul yang sama di Kompasiana pada akun milik Penulis:
https://www.kompasiana.com/arek-tembalangan/663248ccde948f79611e7ed2/kulineran-asyik-di-lengkong