Reuni selalu
membuatku gelisah. Masa lalu bukanlah sesuatu yang ingin kuingat-ingat kembali.
“Jangan
mengada-ada, deh. Okelah kalau selama ini kamu sibuk, tidak sempat
kumpul-kumpul dengan teman-teman lama. Tapi kali ini kita mau bikin reuni sungguhan
di kampus almamater kita. Dan kamu tinggal dekat kampus. Masa kamu enggak bisa
gabung?” sergah Bunga, satu dari sedikit temanku sekampus yang masih mau
meluangkan waktu untuk tetap berkomunikasi denganku. Ia mengernyit ketika
menangkap keenggananku datang di acara reuni.
“Aku kan enggak
dekat dengan mereka,” sahutkku mencoba berdalih. “Ngomong apa aku nanti?”
“Kalau kamu
enggak punya bahan omongan dengan teman-teman yang lain, dengarkan saja apa
yang diobrolkan. Kamu tidak harus ikut ngobrol, kok. Atau bagaimana terserah
kamu saja. Yang penting kamu harus datang. H-A-R-U-S.”
Aku menatapnya
tanpa daya. Tentu saja Bunga benar. Terlalu berlebihan rasanya bila aku menolak
hadir kali ini. Tapi Bunga tak tahu yang sesungguhnya. Tak masalah bagiku
bertemu dengan teman-teman seangkatanku dulu. Aku hanya enggan bertemu dengan
dua laki-laki yang pernah membuatku jatuh hati.
Razak dan Haryo.
Tapi malam itu,
ketika berbaring di tempat tidur, ajakan Bunga terbersit lagi dalam pikiranku.
Sudah hampir lima belas tahun terlewati sejak kami menjadi mahasiswa. Segala
sesuatunya pasti sudah berbeda. Seharusnya aku sudah bisa bertemu Razak dan Haryo
tanpa merasakan nyeri di ulu hatiku.
Tiba-tiba aku
ingin bertemu mereka lagi, ingin memastikan bahwa mereka baik-baik saja setelah
kami berpisah.
Reuni ini
mungkin layak dicoba.
*****
Pertama kali aku
melihatnya, Razak sudah menarik perhatianku. Rambut hitamnya jatuh melewati
bahu, membingkai wajahnya yang kokoh dengan mata elang dan hidung berbentuk
paruh rajawali. Andai kulitnya berwarna tembaga, maka ia akan tampak bak
pahlawan suku Indian yang berderap di atas kuda jantan nan perkasa. Mengesankan.
Saat itu kami
sedang di-briefing oleh kakak senior
kami, disuruh mencatat berbagai jenis barang yang harus kami bawa keesokan
harinya saat orientasi mahasiswa baru. Ketika kami semua tak ada yang berani
bersuara, dengan percaya diri ia mengangkat tangan, mempertanyakan keharusan
membawa permen bergambar timbangan kepada kakak senior. Permen yang, kami tahu
pasti, tak pernah diproduksi oleh perusahaan permen manapun di Indonesia.
Pertanyaan Razak
diganjar kakak senior dengan perintah ‘menghabisi’ rambut hitamnya yang indah
itu. Entah kenapa justru hatiku yang terasa berat. Si empunya rambut malah tak peduli
kepalanya digunduli.
Sejak hari itu
aku tertarik padanya, walaupun aku tahu tak sepantasnya aku memelihara perasaan
itu. Aku tak boleh jatuh cinta padanya. Tapi tetap saja aku tak bisa jauh dari Razak,
seperti ngengat yang terpesona cahaya lampu. Entah mengapa tampaknya ia pun
merasakan hal yang sama padaku.
“Seandainya aku
dan kamu mencoba jadi ‘kita’, kamu mau enggak?” tanya Razak suatu ketika.
Aku menatapnya tak
percaya. Tak mungkin. Ia pasti bercanda. Rasa sesalku muncul seketika. Seharusnya
aku bisa mencegahnya jatuh cinta padaku. Ia laki-laki yang baik dan aku tidak
layak baginya. Lalu sekarang bagaimana?
Razak salah
mengartikan pandanganku. Dikiranya aku tak memahami pertanyaannya. “Maksudku,
aku cuma sama kamu, dan kamu cuma sama aku,” jelasnya.
“Karena hanya
pengandaian, maka jawabanku adalah tidak,” jawabku. Setengah mati kutahan air
mata yang sudah hendak membanjir keluar.
“Maaf bila
kata-kataku salah. Aku tidak sedang berandai-andai. Aku ingin kita bersama.”
“Jawabanku tetap
tidak.”
Aku masih ingat
tatapan Razak saat itu. Aku juga merasakan nyeri dan kecewa yang sama. Ia
berdiri saja, menungguku menjelaskan kenapa aku menyakitinya, tapi aku tak
sanggup berkata apa-apa hingga akhirnya ia meninggalkanku tanpa menoleh lagi.
Begitu saja.
Kedekatan kami berakhir saat itu juga.
*****
“Aku tak
menyangka kamu mau seperti ini,” Pria di hadapanku ini menatapku sambil
tersenyum lebar. Senyum yang menampakkan sebaris gigi-geligi putih itu berhasil
menarik perhatianku. Begitu ceria. Begitu ringan tanpa beban.
Saat itu kami
sedang duduk berdesak-desakan dalam bis yang kami naiki sambil mencoba
berpegangan pada apapun yang bisa kami raih. Jalanan yang berlubang di
sana-sini membuat kami terguncang-guncang hebat. Rute pegunungan yang
berkelok-kelok tak menyurutkan nyali Pak Sopir untuk berkejar-kejaran dengan
bis lain.
“Seperti apa?”
tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
“Seperti ini.
Mau naik bis desak-desakan seperti ini,” jawabnya.
“Memangnya
kenapa?”
“Kamu kan tipe
cewek wangi yang sukanya naik-turun mobil bagus. Bukan bis reyot begini.”
Aku mengangkat
bahu. Kami sedang dalam perjalanan melayat teman kami yang wafat dalam sebuah
kecelakaan. “Arif juga temanku,” jawabku menyebut nama teman kami itu, sengaja
tak menanggapi ucapannya barusan.
Ia mengangguk. “Namaku
Haryo,” katanya sambil mengulurkan tangannya.
Sesungguhnya aku
sudah tahu namanya karena ia sering nongkrong bersama teman-teman sekelasku. Namun
tetap saja kusambut uluran tangannya. “Disti,” balasku.
Aku tahu dia
selalu memperhatikanku, walaupun aku tak pernah sungguh-sungguh membalas
perhatiannya. Aku tak ingin kehilangan Haryo sebagai teman baikku, seperti aku
pernah kehilangan Razak.
Hingga suatu
ketika aku menangkap sikap Haryo berubah padaku.
“Aku tahu kita
berdua berbeda. Seperti langit dan bumi…” Haryo memulai pendekatannya.
O-oh. Tolong
jangan, keluhku dalam hati.
“Kamu benar,
kita punya banyak perbedaan. Dan perbedaan itu sulit disatukan,” aku buru-buru
memotong.
“Maksudku bukan
begitu, Disti. Aku tidak peduli kita berbeda. Justru aku ingin menyatukan
perbedaan kita itu…”
Kutempelkan
telunjukku ke bibir, menghentikan ucapannya. “Perbedaan kita tidak bisa
disatukan, Har.”
“Kita bisa
mencoba.”
Aku menggeleng.
“Aku tidak bisa. Maaf.”
Kami bertukar
senyum pahit. Ah Haryo, seandainya kamu tahu…
Ia masih
berteman denganku selama beberapa waktu, lalu setelah itu menjauh. Aku
menangisi kepergiannya tanpa air mata.
*****
Seandainya bisa,
ada yang ingin kuceritakan pada mereka. Pada Razak dan Haryo, tentang kenapa
aku tak bisa bersama mereka.
Hidupku berubah tepat
sebelum aku masuk kuliah serta bertemu Razak dan Haryo. Persisnya di hari
terakhir kami mengikuti ujian kelulusan SMA. Siang itu, sepulang sekolah, kekasihku
memasuki tubuhku dan aku berdarah. Ia berjanji akan bertanggung jawab atas
perbuatannya asal aku mau melayaninya kapanpun ia mau. Bodohnya aku yang
mengikuti saja apa maunya.
Saat aku menata
hatiku untuk menjalani hidup dengan laki-laki yang bahkan sudah tak kucintai
lagi, aku bertemu Razak, disusul Haryo. Aku tak berani membalas perasaan mereka
karena siapalah laki-laki yang menginginkan perempuan yang sudah rusak seperti
aku. Rusak dan kotor.
Pria baik-baik
untuk wanita baik-baik. Begitu pula sebaliknya.
Karena itu aku
tidak layak mendapatkan Razak dengan tatapan mata elangnya , atau Haryo dengan senyum
yang begitu mudah diberikannya padaku.
Karena itu aku
membiarkan mereka pergi.
Razak dan Haryo
tak perlu tahu. Cukup aku saja yang kecewa karena tak bisa hidup bersama
mereka. Cukup aku saja yang sakit hati melihat mereka berpaling dariku dan
mencintai orang lain. Cukup aku saja yang menyesali kebodohanku.
Aku menyaksikan
dalam diam ketika Razak kemudian menjadi seniman kenamaan dan Haryo menjadi
hakim, menikah dengan perempuan yang lebih baik dariku, dan menjalani kehidupan
mereka masing-masing tanpa pernah tahu kebenaran tentang aku.
Tak apalah. Seperti
selalu kuyakinkan diri sendiri, aku telah menyelamatkan mereka, Razak dan Haryo.
Menyelamatkan mereka dari diriku. Mencegah mereka menyia-nyiakan hidup mereka
untukku.
*****
Celoteh dan
tawa. Wajah-wajah yang menimbulkan nostalgia. Deretan makanan dan minuman yang
menguarkan harum menggoda. Alunan musik yang mengajak pendengarnya berdansa.
Tetap saja aku
tak bisa menahan degup jantungku begitu melihat dua pria yang telah mencuri
hatiku itu.
Seperti sudah
kuduga, Razak nyaris tak mau memandangku. Ketika bersalamanpun, genggaman
tangannya terasa kaku. Begitu cepat ia berlalu dari hadapanku. Tak tersisa
sedikitpun tanda-tanda bahwa kami pernah dekat. Entahlah, mungkin ia masih
marah padaku.
“Kamu tidak
berubah,” sebuah suara dekat telingaku membuatku menoleh. Haryo berdiri dekat
di sampingku. “Dalam benakku, kamu masih seperti dulu,” sambungnya sambil
tersenyum.
“Terima kasih.”
Kubalas
senyumnya. Ia juga tak berubah di mataku. Senyumnya masih lebar dengan mata
yang berbinar-binar. Selalu begitu sedari dulu.
“Lumayan banyak
yang datang, ya,” kata Haryo sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru
ruangan.
“Iya. Banyak
yang bawa keluarga, sih. Kamu datang dengan siapa?”
“Aku datang
sendiri.”
“Lho, kok
istrimu enggak diajak?”
Ia menggeleng
sebelum menjawab. “Sudah mantan.”
Aku nyaris
tersedak air liurku sendiri.
“Ayo kita cari
tempat duduk. Acara sebentar lagi dimulai.” Ia mengulurkan tangan padaku. “Kali
ini, biarkan aku yang menyelamatkanmu,” sambungnya. Matanya bersinar jenaka.
Aku nyaris kena
serangan jantung.
😍💓💕💞👍👍👍
BalasHapussuwun yo jeng...
Hapussuwun pisan wes mampir.
good post mbak
BalasHapusterima kasih, pak.
Hapusterima kasih juga sudah mampir.
yeyeyeyeye.... hayuk atuh udah mantan kok, :P
BalasHapushihihihihihihihi...
BalasHapusgitu ya, mbak ??? ;) ;) ;)
makasih dah mampir yaaa...