Senin, 08 Agustus 2016

REUNI




Reuni selalu membuatku gelisah. Masa lalu bukanlah sesuatu yang ingin kuingat-ingat kembali.


“Jangan mengada-ada, deh. Okelah kalau selama ini kamu sibuk, tidak sempat kumpul-kumpul dengan teman-teman lama. Tapi kali ini kita mau bikin reuni sungguhan di kampus almamater kita. Dan kamu tinggal dekat kampus. Masa kamu enggak bisa gabung?” sergah Bunga, satu dari sedikit temanku sekampus yang masih mau meluangkan waktu untuk tetap berkomunikasi denganku. Ia mengernyit ketika menangkap keenggananku datang di acara reuni.

“Aku kan enggak dekat dengan mereka,” sahutkku mencoba berdalih. “Ngomong apa aku nanti?”

“Kalau kamu enggak punya bahan omongan dengan teman-teman yang lain, dengarkan saja apa yang diobrolkan. Kamu tidak harus ikut ngobrol, kok. Atau bagaimana terserah kamu saja. Yang penting kamu harus datang. H-A-R-U-S.”

Aku menatapnya tanpa daya. Tentu saja Bunga benar. Terlalu berlebihan rasanya bila aku menolak hadir kali ini. Tapi Bunga tak tahu yang sesungguhnya. Tak masalah bagiku bertemu dengan teman-teman seangkatanku dulu. Aku hanya enggan bertemu dengan dua laki-laki yang pernah membuatku jatuh hati.

Razak dan Haryo.

Tapi malam itu, ketika berbaring di tempat tidur, ajakan Bunga terbersit lagi dalam pikiranku. Sudah hampir lima belas tahun terlewati sejak kami menjadi mahasiswa. Segala sesuatunya pasti sudah berbeda. Seharusnya aku sudah bisa bertemu Razak dan Haryo tanpa merasakan nyeri di ulu hatiku.

Tiba-tiba aku ingin bertemu mereka lagi, ingin memastikan bahwa mereka baik-baik saja setelah kami berpisah.

Reuni ini mungkin layak dicoba.
*****

Pertama kali aku melihatnya, Razak sudah menarik perhatianku. Rambut hitamnya jatuh melewati bahu, membingkai wajahnya yang kokoh dengan mata elang dan hidung berbentuk paruh rajawali. Andai kulitnya berwarna tembaga, maka ia akan tampak bak pahlawan suku Indian yang berderap di atas kuda jantan nan perkasa. Mengesankan.

Saat itu kami sedang di-briefing oleh kakak senior kami, disuruh mencatat berbagai jenis barang yang harus kami bawa keesokan harinya saat orientasi mahasiswa baru. Ketika kami semua tak ada yang berani bersuara, dengan percaya diri ia mengangkat tangan, mempertanyakan keharusan membawa permen bergambar timbangan kepada kakak senior. Permen yang, kami tahu pasti, tak pernah diproduksi oleh perusahaan permen manapun di Indonesia.

Pertanyaan Razak diganjar kakak senior dengan perintah ‘menghabisi’ rambut hitamnya yang indah itu. Entah kenapa justru hatiku yang terasa berat. Si empunya rambut malah tak peduli kepalanya digunduli.

Sejak hari itu aku tertarik padanya, walaupun aku tahu tak sepantasnya aku memelihara perasaan itu. Aku tak boleh jatuh cinta padanya. Tapi tetap saja aku tak bisa jauh dari Razak, seperti ngengat yang terpesona cahaya lampu. Entah mengapa tampaknya ia pun merasakan hal yang sama padaku.

“Seandainya aku dan kamu mencoba jadi ‘kita’, kamu mau enggak?” tanya Razak suatu ketika.

Aku menatapnya tak percaya. Tak mungkin. Ia pasti bercanda. Rasa sesalku muncul seketika. Seharusnya aku bisa mencegahnya jatuh cinta padaku. Ia laki-laki yang baik dan aku tidak layak baginya. Lalu sekarang bagaimana?

Razak salah mengartikan pandanganku. Dikiranya aku tak memahami pertanyaannya. “Maksudku, aku cuma sama kamu, dan kamu cuma sama aku,” jelasnya.

“Karena hanya pengandaian, maka jawabanku adalah tidak,” jawabku. Setengah mati kutahan air mata yang sudah hendak membanjir keluar.

“Maaf bila kata-kataku salah. Aku tidak sedang berandai-andai. Aku ingin kita bersama.”

“Jawabanku tetap tidak.”

Aku masih ingat tatapan Razak saat itu. Aku juga merasakan nyeri dan kecewa yang sama. Ia berdiri saja, menungguku menjelaskan kenapa aku menyakitinya, tapi aku tak sanggup berkata apa-apa hingga akhirnya ia meninggalkanku tanpa menoleh lagi.

Begitu saja. Kedekatan kami berakhir saat itu juga.
*****

“Aku tak menyangka kamu mau seperti ini,” Pria di hadapanku ini menatapku sambil tersenyum lebar. Senyum yang menampakkan sebaris gigi-geligi putih itu berhasil menarik perhatianku. Begitu ceria. Begitu ringan tanpa beban.

Saat itu kami sedang duduk berdesak-desakan dalam bis yang kami naiki sambil mencoba berpegangan pada apapun yang bisa kami raih. Jalanan yang berlubang di sana-sini membuat kami terguncang-guncang hebat. Rute pegunungan yang berkelok-kelok tak menyurutkan nyali Pak Sopir untuk berkejar-kejaran dengan bis lain.

“Seperti apa?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi.

“Seperti ini. Mau naik bis desak-desakan seperti ini,” jawabnya.

“Memangnya kenapa?”

“Kamu kan tipe cewek wangi yang sukanya naik-turun mobil bagus. Bukan bis reyot begini.”

Aku mengangkat bahu. Kami sedang dalam perjalanan melayat teman kami yang wafat dalam sebuah kecelakaan. “Arif juga temanku,” jawabku menyebut nama teman kami itu, sengaja tak menanggapi ucapannya barusan.

Ia mengangguk. “Namaku Haryo,” katanya sambil mengulurkan tangannya.

Sesungguhnya aku sudah tahu namanya karena ia sering nongkrong bersama teman-teman sekelasku. Namun tetap saja kusambut uluran tangannya. “Disti,” balasku.

Aku tahu dia selalu memperhatikanku, walaupun aku tak pernah sungguh-sungguh membalas perhatiannya. Aku tak ingin kehilangan Haryo sebagai teman baikku, seperti aku pernah kehilangan Razak.

Hingga suatu ketika aku menangkap sikap Haryo berubah padaku.

“Aku tahu kita berdua berbeda. Seperti langit dan bumi…” Haryo memulai pendekatannya.

O-oh. Tolong jangan, keluhku dalam hati.

“Kamu benar, kita punya banyak perbedaan. Dan perbedaan itu sulit disatukan,” aku buru-buru memotong.

“Maksudku bukan begitu, Disti. Aku tidak peduli kita berbeda. Justru aku ingin menyatukan perbedaan kita itu…”

Kutempelkan telunjukku ke bibir, menghentikan ucapannya. “Perbedaan kita tidak bisa disatukan, Har.”

“Kita bisa mencoba.”

Aku menggeleng. “Aku tidak bisa. Maaf.”

Kami bertukar senyum pahit. Ah Haryo, seandainya kamu tahu…

Ia masih berteman denganku selama beberapa waktu, lalu setelah itu menjauh. Aku menangisi kepergiannya tanpa air mata.
*****
Seandainya bisa, ada yang ingin kuceritakan pada mereka. Pada Razak dan Haryo, tentang kenapa aku tak bisa bersama mereka.

Hidupku berubah tepat sebelum aku masuk kuliah serta bertemu Razak dan Haryo. Persisnya di hari terakhir kami mengikuti ujian kelulusan SMA. Siang itu, sepulang sekolah, kekasihku memasuki tubuhku dan aku berdarah. Ia berjanji akan bertanggung jawab atas perbuatannya asal aku mau melayaninya kapanpun ia mau. Bodohnya aku yang mengikuti saja apa maunya.

Saat aku menata hatiku untuk menjalani hidup dengan laki-laki yang bahkan sudah tak kucintai lagi, aku bertemu Razak, disusul Haryo. Aku tak berani membalas perasaan mereka karena siapalah laki-laki yang menginginkan perempuan yang sudah rusak seperti aku. Rusak dan kotor.

Pria baik-baik untuk wanita baik-baik. Begitu pula sebaliknya.

Karena itu aku tidak layak mendapatkan Razak dengan tatapan mata elangnya , atau Haryo dengan senyum yang begitu mudah diberikannya padaku.

Karena itu aku membiarkan mereka pergi.

Razak dan Haryo tak perlu tahu. Cukup aku saja yang kecewa karena tak bisa hidup bersama mereka. Cukup aku saja yang sakit hati melihat mereka berpaling dariku dan mencintai orang lain. Cukup aku saja yang menyesali kebodohanku.

Aku menyaksikan dalam diam ketika Razak kemudian menjadi seniman kenamaan dan Haryo menjadi hakim, menikah dengan perempuan yang lebih baik dariku, dan menjalani kehidupan mereka masing-masing tanpa pernah tahu kebenaran tentang aku.

Tak apalah. Seperti selalu kuyakinkan diri sendiri, aku telah menyelamatkan mereka, Razak dan Haryo. Menyelamatkan mereka dari diriku. Mencegah mereka menyia-nyiakan hidup mereka untukku.
*****
Celoteh dan tawa. Wajah-wajah yang menimbulkan nostalgia. Deretan makanan dan minuman yang menguarkan harum menggoda. Alunan musik yang mengajak pendengarnya berdansa.

Tetap saja aku tak bisa menahan degup jantungku begitu melihat dua pria yang telah mencuri hatiku itu.

Seperti sudah kuduga, Razak nyaris tak mau memandangku. Ketika bersalamanpun, genggaman tangannya terasa kaku. Begitu cepat ia berlalu dari hadapanku. Tak tersisa sedikitpun tanda-tanda bahwa kami pernah dekat. Entahlah, mungkin ia masih marah padaku.

“Kamu tidak berubah,” sebuah suara dekat telingaku membuatku menoleh. Haryo berdiri dekat di sampingku. “Dalam benakku, kamu masih seperti dulu,” sambungnya sambil tersenyum.

“Terima kasih.”

Kubalas senyumnya. Ia juga tak berubah di mataku. Senyumnya masih lebar dengan mata yang berbinar-binar. Selalu begitu sedari dulu.

“Lumayan banyak yang datang, ya,” kata Haryo sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.

“Iya. Banyak yang bawa keluarga, sih. Kamu datang dengan siapa?”

“Aku datang sendiri.”

“Lho, kok istrimu enggak diajak?”

Ia menggeleng sebelum menjawab. “Sudah mantan.”

Aku nyaris tersedak air liurku sendiri.

“Ayo kita cari tempat duduk. Acara sebentar lagi dimulai.” Ia mengulurkan tangan padaku. “Kali ini, biarkan aku yang menyelamatkanmu,” sambungnya. Matanya bersinar jenaka.

Aku nyaris kena serangan jantung.




6 komentar: