Rabu, 16 November 2016

[FANTASY] PERJALANAN MALAM SANG PENJAGA MUDA



Sudah malam. Jangan main-main denganku.


Taruno tersenyum lebar. Gelenyar kebanggaan menggelitiki ujung-ujung syarafnya. Tak setiap hari ia merasakan gairah seperti ini. Tak setiap hari menjadi manusia linuwih [1]membuatnya merasa puas-diri.

Ia berdiri di pucuk pohon akasia, menghirup dalam-dalam udara malam. Kesegarannya menjernihkan otaknya. Kakinya bertumpu ringan pada sehelai daun. Ia tak khawatir ada orang yang melihatnya bertengger di atas pohon. Malam yang gelap menelan bayangan tubuhnya. Lagipula, tak ada orang lewat yang mau repot-repot menengadah, mengamati pohon akasia yang berdiri di tepi jalan.

Segenap inderanya waspada. Inderanya adalah salah satu dari sekian kelebihan yang dimilikinya. Tak ada bau yang lolos dari penciumannya. Tak ada bunyi yang luput dari pendengarannya. Tak ada gerakan yang tak teraba kulitnya. Tak ada penampakan yang tak tertangkap matanya. Bahkan lidahnya pun seakan-akan bisa mencecap rasa malam hari, seakan-akan malam hari punya rasa tertentu, walaupun malam hari rasanya segar seperti segelas air dari kendi tanah liat di dapur Ibu.

Mau apa lagi, Taruno memang bukan manusia biasa. Ia adalah penjaga, seperti semua laki-laki dalam garis keturunannya, baik ke atas maupun ke bawah. Walaupun tingkatannya masih penjaga muda, seperti para seniornya, tugas utamanya adalah menjaga perbatasan dunia manusia dan dunia wong alus[2]. Kalau boleh jujur, ia punya istilah sendiri untuk dunia gaib itu, tapi rama-nya bersikeras ia menggunakan istilah dunia wong alus demi menghormati makhluk-mahluk tak kasat mata itu.

Taruno menghembuskan napas tak sabar. Saatnya berkeliling. Beberapa saat lagi tepat tengah malam, saat di mana perbatasan dunia menjadi tipis. Ada tempat-tempat yang perlu mendapat perhatian khusus saking tipisnya batas itu. Tempat-tempat di mana, tak diragukan lagi, Rama dan beberapa temannya sesama penjaga utama tengah berkumpul saat ini.

Taruno tak berminat pergi ke tempat Rama[3]. Ia mencebikkan bibirnya. Orang-orang tua itu... hanya berjaga, berjaga, berjaga. Tak pernah bersenang-senang. Padahal tak ada yang mengalahkan asyiknya bersenang-senang di malam hari. Ia bisa menjadi siapapun yang ia inginkan. Ia bukan lagi Taruno, si kutu buku pendiam yang tak bisa apa-apa. Ia bebas mengeluarkan kekuatannya, tanpa khawatir ketahuan teman-teman sekolahnya. Ia bisa pergi ke rumah Fika, pujaan hatinya, tanpa takut diusir ayahnya.

Dengan ringan Taruno terjun ke bawah. Kakinya menginjak tanah dengan debum yang tak lebih keras dari dentam kaki semut.

“Selamat malam, Mas Taruno,” sebuah suara manis membelai telinganya.

Taruno menoleh. Seorang perempuan berdiri di sampingnya. Sosok rampingnya mengisyaratkan kecantikan seorang gadis muda. Separuh wajahnya tertutup rambut panjang yang tergerai. Taruno tak tertarik untuk melihat wajah di balik rambut itu. Bukan pemandangan menarik, mengingat perempuan itu mati bunuh diri dengan cara melompat dari puncak gedung dengan kepala menghantam aspal lebih dulu.

“Selamat malam, Mbak. Lagi jalan-jalan, ya?” tanya Taruno sopan, yang dijawab dengan tawa lembut.

Semasa hidupnya, Kartika perempuan yang baik. Nasib buruk membawanya mencintai laki-laki yang salah.

“Permisi Mbak, saya mau patroli dulu.”

“Silakan, Mas. Mau nyusul Rama, ya?”

Taruno menggeleng. “Lagi kepingin sendirian,” jawabnya sambil tersenyum, lalu beranjak.

Bukannya ia tak ingin mengobrol dengan Kartika, namun malam ini terlalu indah untuk diisi curahan hati Kartika tentang cinta yang sia-sia.

Langkahnya ringan menembus malam. Ada sensasi yang berbeda, gelenyar yang berbeda di kulitnya bila malam tiba. Rasa yang tak pernah dialaminya di siang hari, terutama bila matahari bertengger tepat di puncak ubun-ubun.

Monggo[4] mampir, Mas,” sebuah suara memanggilnya. Lik[5] Parjo, lelaki pemilik warung di wilayah perbatasan, yang melayani dua dunia yang berbeda. Bagian depan warung yang diterangi lampu neon melayani manusia, sedang bagian yang remang-remang melayani wong-wong alus yang singgah untuk secangkir kopi hitam pahit beraroma kemenyan atau segenggam bunga tujuh rupa.

Taruno mendekat. Lik Parjo selalu punya cerita yang menarik untuknya. Berita apa yang hendak dibaginya malam ini?

Belum sempat ia menyapa Lik Parjo, serombongan pria lewat. Taruno terdiam di tempatnya. Rama dan teman-temannya. Pria-pria berpakaian hitam dengan wajah serius. Hanya ayahnya yang menoleh ke arahnya, lalu berkata dengan tajam, “Daripada nongkrong tidak jelas begini, lebih baik ikut kami, No. Banyak yang bisa kaupelajari.”

Taruno tak menjawab. Rama mengedikkan bahu tak sabar, lalu beranjak menyusul teman-temannya.

Sepeninggal mereka, Lik Parjo berkata, “Monggo kalau mau keliling dulu Mas, daripada Rama marah.”

Taruno menggelengkan kepala tak sabar. Baiklah, berita dari Lik Parjo bisa menunggu. “Nggih sampun, pareng[6], Lik.”

Lik Parjo hanya melambai, lalu melayani seorang pelanggan bermata merah membara yang barusan memesan secangkir kopi kemenyan.

Taruno meneruskan langkah, menuju sebuah rumah terbengkalai yang terletak di ujung gang. Siang tadi ia melihat serombongan orang bermobil berhenti di depan rumah itu, lalu menurunkan beberapa tas perlengkapan. Dari orang-orang yang berkerumun menonton, ia tahu malam ini ada syuting acara televisi yang menguji nyali pesertanya. Seorang peserta akan ditinggal dalam rumah itu berbekal lilin dan kamera yang dilekatkan pada helm yang dikenakannya untuk merekam fenomena yang terjadi di sekitarnya.

Taruno tak pernah memahami apa tujuan acara seperti itu. Apa menariknya dunia wong alus? Tak banyak bedanya dengan dunia manusia. Ada yang baik, ada yang jahat. Ada yang setengah baik-setengah jahat.

Ia mendengus jengkel. Acara semacam ini merepotkan saja! Para penjaga terpaksa bekerja ekstra agar kegiatan seperti ini tidak mengganggu wong-wong alus itu. Bisa panjang urusannya bila mereka sampai tersinggung. Peserta yang kesurupan tak ada artinya dibanding kemarahan wong alus yang merasa terganggu. Taruno pernah ikut Rama menangani wong-wong alus yang melemparkan segala macam barang, termasuk meja, kursi, bahkan lemari karena marah. Berkat Rama, saat itu ia tak terluka.

Rama selalu memastikan ia aman. Tapi kini ia sudah besar. Ia bisa menjaga diri sendiri.

Di atap rumah, tersembunyi sempurna dalam kegelapan, ia melihat seorang rekan Rama berjaga. Bagus, berarti situasi aman terkendali.

Memang seharusnya begitu. Sebelum ditinggalkan begitu saja, rumah itu pernah menjadi klinik yang melayani perempuan-perempuan yang hendak menggugurkan kandungan mereka. Taruno melihat sosok-sosok kecil berdatangan satu persatu ke lokasi syuting. Anak-anak bajang[7]. Taruno tahu mereka hanya berniat menonton, tak ingin mengganggu.

Tapi tetap saja... lebih baik hati-hati daripada menyesal.

Bersama mereka, Taruno menonton jalannya syuting. Beberapa kali ia ikut terkekeh melihat si peserta nyaris histeris karena terbawa suasana. Beberapa anak bajang iseng melemparkan kerikil ke arah peserta, membuatnya makin ketakutan. Yang lain terkikik-kikik geli.

Sebuah tangan kecil menarik-narik celananya. Taruno menoleh. Seorang anak bajang menatapnya dengan pandangan memohon. Tanpa suara ia ingin Taruno mengikutinya.

Ada sesuatu yang terjadi.

“Di mana?” tanya Taruno. Anak bajang itu menunjuk ke arah sungai. Pandangannya mendesak.

Taruno menoleh ke atap rumah. Penjaga yang bertengger di atap tampak serius mengamati jalannya syuting. Lebih baik Taruno tak mengganggunya. Bila keadaan memburuk, hanya pria itu yang bisa mengendalikan situasi. Bagaimanapun, Taruno baru penjaga pemula. Walaupun memiliki kelebihan, ia belum cukup terlatih.

Begitu saja, ia memutuskan untuk mengikuti si anak bajang.

Aliran sungai bagaikan pita hitam dalam kegelapan malam tanpa bulan. Desir airnya yang lembut biasanya menenangkan. Bila tepiannya bebas sampah busuk, mau rasanya Taruno berlama-lama duduk memandangi langit yang terpantul dalam aliran sungai.

Kali ini ketenangan itu terganggu dua orang laki-laki yang melangkah tersaruk-saruk menuruni tebing sungai. Salah seorang di antaranya menggendong sebuah buntalan yang seketika menarik perhatian Taruno.

Taruno menoleh ke arah anak bajang yang mengajaknya ke situ. “Itu bayi?” tanyanya.

Anak bajang memandangnya dengan berapi-api, lalu mengangguk tajam.

Taruno menajamkan mata. Bahkan pandangannya yang awas tak bisa menangkap gerakan bayi dalam buntalan itu. “Masih hidup?” tanyanya.

Lagi-lagi anggukan tajam.

“Mau apa mereka membawa bayi ke sungai?”

Anak bajang memandangnya dengan tatapan menghina. Tiba-tiba Taruno merasa bodoh. Tentu saja! Mereka akan membuang bayi itu!

“Panggil Lik Parjo. Aku akan menghalangi mereka,” desak Taruno.

Si anak bajang mengangguk, lalu berlalu bersama angin.

“Hei! Hei! Kalian mau apa?” seru Taruno ke arah dua orang itu.

Sejenak mereka terdiam membeku karena terkejut, lalu berubah santai melihat yang meneriaki mereka hanyalah seorang remaja tanggung. Sendirian, pula.

“Bukan urusanmu. Sudah, pergi sana!” bentak pria yang membawa buntalan bayi.

“Ngapain kalian di sini? Mau buang apa itu? Mau buang bayi, ya? Itu anak orang, woy, bukan sampah kayak kalian!” Taruno balas membentak.

Kedua pria itu berpandangan, lalu merangsek maju dengan tangan terkepal, siap menghajar Taruno.

Taruno memasang kuda-kuda, siap bertarung.

Sebuah tinju siap mendarat di tubuh Taruno ketika si empunya tiba-tiba menatap nanar ke belakang tubuh Taruno, lalu menjerit sambil mundur ketakutan. Rekannya ikut menjerit lalu ikut kabur. Buntalan bayi dalam gendongannya jatuh begitu saja. Taruno menangkap buntalan itu dengan sigap sebelum sempat menyentuh permukaan air.

“Untung sampeyan[8] sigap, Mas. Bayinya tidak sampai jatuh,” sebuah suara manis membelai telinga Taruno.

Ia menoleh. Kartika berdiri di belakangnya. Tangannya menata rambut panjangnya hingga tergerai menutupi sebelah wajahnya. Sekilas Taruno melihat wajah remuk perempuan itu. Wajah yang tadi dipamerkannya pada kedua penyerang Taruno.

Taruno terkekeh pelan. “Tak heran mereka kabur. Belum kenal Mbak Kartika, sih,” katanya.

Separuh wajah Kartika yang terbuka menampilkan senyum sedih. “Kalau bukan karena bayi itu, aku tak akan ikut campur, Mas,” jawabnya.

Bulan purnama menyembul dari kungkungan awan. Sinarnya yang keperakan memantul di atas permukaan sungai. Desirnya pelan, menghanyutkan. Taruno membalas senyum Kartika. Baru sekarang ia menyadari betapa cantik perempuan di hadapannya ini...

Langkah-langkah cepat Lik Parjo yang mendekat membuyarkan lamunan Taruno. Anak bajang mengekor rapat di belakangnya.

Hati-hati Taruno mengangsurkan buntalan di tangannya pada Lik Parjo. Bayi di dalamnya mengeluarkan suara lemah, seakan-akan mengucapkan terima kasih.

“Dia akan baik-baik saja,” kata Lik Parjo setelah mengintip ke dalam buntalan. “Masih lemah, tapi dia akan baik-baik saja. Aku akan mengurusnya.”

Taruno mengangguk mantap. Malam ini ternyata lebih menarik daripada perkiraannya sebelumnya.

Sebelum beranjak, Lik Parjo menoleh dan berkata, “Monggo ngopi di warung, Mas. Lumayan buat menghangatkan tubuh. Kali ini Rama pasti tak keberatan.”

Senyum Taruno terkembang.

Kopi hitam istimewa racikan Lik Parjo, siapa yang bisa menolak?


[1] Manusia yang memiliki kelebihan dibandingkan manusia normal lainnya, kelebihan yang bersifat supranatural.
[2] Arti harfiahnya adalah “orang halus”, bahasa halus untuk menyebut makhluk gaib.
[3] Ayah
[4] Silakan
[5] Arti sebenarnya adalah “paman”, adik laki-laki ayah atau ibu, namun bisa menjadi panggilan sopan untuk orang yang lebih tua walaupun tanpa hubungan darah.
[6] Ya sudah, permisi, Lik.
[7] Anak-anak yang sengaja dibuang oleh orang tuanya.
[8] Kamu, Anda.

2 komentar: