Sudah malam. Jangan main-main denganku.
Taruno tersenyum lebar. Gelenyar kebanggaan menggelitiki
ujung-ujung syarafnya. Tak setiap hari ia merasakan gairah seperti ini. Tak setiap
hari menjadi manusia linuwih [1]membuatnya
merasa puas-diri.
Ia berdiri di pucuk pohon akasia, menghirup dalam-dalam udara
malam. Kesegarannya menjernihkan otaknya. Kakinya bertumpu ringan pada sehelai
daun. Ia tak khawatir ada orang yang melihatnya bertengger di atas pohon. Malam
yang gelap menelan bayangan tubuhnya. Lagipula, tak ada orang lewat yang mau
repot-repot menengadah, mengamati pohon akasia yang berdiri di tepi jalan.
Segenap inderanya waspada. Inderanya adalah salah satu dari
sekian kelebihan yang dimilikinya. Tak ada bau yang lolos dari penciumannya. Tak
ada bunyi yang luput dari pendengarannya. Tak ada gerakan yang tak teraba
kulitnya. Tak ada penampakan yang tak tertangkap matanya. Bahkan lidahnya pun seakan-akan
bisa mencecap rasa malam hari, seakan-akan malam hari punya rasa tertentu, walaupun
malam hari rasanya segar seperti segelas air dari kendi tanah liat di dapur
Ibu.
Mau apa lagi, Taruno memang bukan manusia biasa. Ia adalah
penjaga, seperti semua laki-laki dalam garis keturunannya, baik ke atas maupun
ke bawah. Walaupun tingkatannya masih penjaga muda, seperti para seniornya, tugas
utamanya adalah menjaga perbatasan dunia manusia dan dunia wong alus[2].
Kalau boleh jujur, ia punya istilah sendiri untuk dunia gaib itu, tapi rama-nya bersikeras ia menggunakan
istilah dunia wong alus demi
menghormati makhluk-mahluk tak kasat mata itu.
Taruno menghembuskan napas tak sabar. Saatnya berkeliling. Beberapa
saat lagi tepat tengah malam, saat di mana perbatasan dunia menjadi tipis. Ada tempat-tempat
yang perlu mendapat perhatian khusus saking tipisnya batas itu. Tempat-tempat
di mana, tak diragukan lagi, Rama dan
beberapa temannya sesama penjaga utama tengah berkumpul saat ini.
Taruno tak berminat pergi ke tempat Rama[3]. Ia mencebikkan
bibirnya. Orang-orang tua itu... hanya berjaga, berjaga, berjaga. Tak pernah
bersenang-senang. Padahal tak ada yang mengalahkan asyiknya bersenang-senang di
malam hari. Ia bisa menjadi siapapun yang ia inginkan. Ia bukan lagi Taruno, si
kutu buku pendiam yang tak bisa apa-apa. Ia bebas mengeluarkan kekuatannya,
tanpa khawatir ketahuan teman-teman sekolahnya. Ia bisa pergi ke rumah Fika, pujaan
hatinya, tanpa takut diusir ayahnya.
Dengan ringan Taruno terjun ke bawah. Kakinya menginjak
tanah dengan debum yang tak lebih keras dari dentam kaki semut.
“Selamat malam, Mas Taruno,” sebuah suara manis membelai
telinganya.
Taruno menoleh. Seorang perempuan berdiri di sampingnya. Sosok
rampingnya mengisyaratkan kecantikan seorang gadis muda. Separuh wajahnya
tertutup rambut panjang yang tergerai. Taruno tak tertarik untuk melihat wajah
di balik rambut itu. Bukan pemandangan menarik, mengingat perempuan itu mati
bunuh diri dengan cara melompat dari puncak gedung dengan kepala menghantam
aspal lebih dulu.
“Selamat malam, Mbak. Lagi jalan-jalan, ya?” tanya Taruno
sopan, yang dijawab dengan tawa lembut.
Semasa hidupnya, Kartika perempuan yang baik. Nasib buruk
membawanya mencintai laki-laki yang salah.
“Permisi Mbak, saya mau patroli dulu.”
“Silakan, Mas. Mau nyusul Rama, ya?”
Taruno menggeleng. “Lagi kepingin sendirian,” jawabnya
sambil tersenyum, lalu beranjak.
Bukannya ia tak ingin mengobrol dengan Kartika, namun malam
ini terlalu indah untuk diisi curahan hati Kartika tentang cinta yang sia-sia.
Langkahnya ringan menembus malam. Ada sensasi yang berbeda,
gelenyar yang berbeda di kulitnya bila malam tiba. Rasa yang tak pernah dialaminya
di siang hari, terutama bila matahari bertengger tepat di puncak ubun-ubun.
“Monggo[4]
mampir, Mas,” sebuah suara memanggilnya. Lik[5]
Parjo, lelaki pemilik warung di wilayah perbatasan, yang melayani dua dunia
yang berbeda. Bagian depan warung yang diterangi lampu neon melayani manusia,
sedang bagian yang remang-remang melayani wong-wong
alus yang singgah untuk secangkir kopi hitam pahit beraroma kemenyan atau
segenggam bunga tujuh rupa.
Taruno mendekat. Lik Parjo selalu punya cerita yang menarik untuknya.
Berita apa yang hendak dibaginya malam ini?
Belum sempat ia menyapa Lik Parjo, serombongan pria lewat. Taruno
terdiam di tempatnya. Rama dan
teman-temannya. Pria-pria berpakaian hitam dengan wajah serius. Hanya ayahnya
yang menoleh ke arahnya, lalu berkata dengan tajam, “Daripada nongkrong tidak
jelas begini, lebih baik ikut kami, No. Banyak yang bisa kaupelajari.”
Taruno tak menjawab. Rama
mengedikkan bahu tak sabar, lalu beranjak menyusul teman-temannya.
Sepeninggal mereka, Lik Parjo berkata, “Monggo kalau mau keliling dulu Mas, daripada Rama marah.”
Taruno menggelengkan kepala tak sabar. Baiklah, berita dari
Lik Parjo bisa menunggu. “Nggih sampun,
pareng[6],
Lik.”
Lik Parjo hanya melambai, lalu melayani seorang pelanggan
bermata merah membara yang barusan memesan secangkir kopi kemenyan.
Taruno meneruskan langkah, menuju sebuah rumah terbengkalai
yang terletak di ujung gang. Siang tadi ia melihat serombongan orang bermobil
berhenti di depan rumah itu, lalu menurunkan beberapa tas perlengkapan. Dari orang-orang
yang berkerumun menonton, ia tahu malam ini ada syuting acara televisi yang
menguji nyali pesertanya. Seorang peserta akan ditinggal dalam rumah itu
berbekal lilin dan kamera yang dilekatkan pada helm yang dikenakannya untuk
merekam fenomena yang terjadi di sekitarnya.
Taruno tak pernah memahami apa tujuan acara seperti itu. Apa
menariknya dunia wong alus? Tak banyak
bedanya dengan dunia manusia. Ada yang baik, ada yang jahat. Ada yang setengah
baik-setengah jahat.
Ia mendengus jengkel. Acara semacam ini merepotkan saja! Para
penjaga terpaksa bekerja ekstra agar kegiatan seperti ini tidak mengganggu wong-wong alus itu. Bisa panjang
urusannya bila mereka sampai tersinggung. Peserta yang kesurupan tak ada
artinya dibanding kemarahan wong alus
yang merasa terganggu. Taruno pernah ikut Rama
menangani wong-wong alus yang melemparkan
segala macam barang, termasuk meja, kursi, bahkan lemari karena marah. Berkat Rama, saat itu ia tak terluka.
Rama selalu
memastikan ia aman. Tapi kini ia sudah besar. Ia bisa menjaga diri sendiri.
Di atap rumah, tersembunyi sempurna dalam kegelapan, ia
melihat seorang rekan Rama berjaga. Bagus,
berarti situasi aman terkendali.
Memang seharusnya begitu. Sebelum ditinggalkan begitu saja,
rumah itu pernah menjadi klinik yang melayani perempuan-perempuan yang hendak
menggugurkan kandungan mereka. Taruno melihat sosok-sosok kecil berdatangan
satu persatu ke lokasi syuting. Anak-anak
bajang[7].
Taruno tahu mereka hanya berniat menonton, tak ingin mengganggu.
Tapi tetap saja... lebih baik hati-hati daripada menyesal.
Bersama mereka, Taruno menonton jalannya syuting. Beberapa kali
ia ikut terkekeh melihat si peserta nyaris histeris karena terbawa suasana. Beberapa
anak bajang iseng melemparkan kerikil
ke arah peserta, membuatnya makin ketakutan. Yang lain terkikik-kikik geli.
Sebuah tangan kecil menarik-narik celananya. Taruno menoleh.
Seorang anak bajang menatapnya dengan
pandangan memohon. Tanpa suara ia ingin Taruno mengikutinya.
Ada sesuatu yang terjadi.
“Di mana?” tanya Taruno. Anak
bajang itu menunjuk ke arah sungai. Pandangannya mendesak.
Taruno menoleh ke atap rumah. Penjaga yang bertengger di
atap tampak serius mengamati jalannya syuting. Lebih baik Taruno tak
mengganggunya. Bila keadaan memburuk, hanya pria itu yang bisa mengendalikan
situasi. Bagaimanapun, Taruno baru penjaga pemula. Walaupun memiliki kelebihan,
ia belum cukup terlatih.
Begitu saja, ia memutuskan untuk mengikuti si anak bajang.
Aliran sungai bagaikan pita hitam dalam kegelapan malam
tanpa bulan. Desir airnya yang lembut biasanya menenangkan. Bila tepiannya
bebas sampah busuk, mau rasanya Taruno berlama-lama duduk memandangi langit
yang terpantul dalam aliran sungai.
Kali ini ketenangan itu terganggu dua orang laki-laki yang
melangkah tersaruk-saruk menuruni tebing sungai. Salah seorang di antaranya
menggendong sebuah buntalan yang seketika menarik perhatian Taruno.
Taruno menoleh ke arah anak
bajang yang mengajaknya ke situ. “Itu bayi?” tanyanya.
Anak bajang
memandangnya dengan berapi-api, lalu mengangguk tajam.
Taruno menajamkan mata. Bahkan pandangannya yang awas tak
bisa menangkap gerakan bayi dalam buntalan itu. “Masih hidup?” tanyanya.
Lagi-lagi anggukan tajam.
“Mau apa mereka membawa bayi ke sungai?”
Anak bajang memandangnya
dengan tatapan menghina. Tiba-tiba Taruno merasa bodoh. Tentu saja! Mereka akan
membuang bayi itu!
“Panggil Lik Parjo. Aku akan menghalangi mereka,” desak
Taruno.
Si anak bajang
mengangguk, lalu berlalu bersama angin.
“Hei! Hei! Kalian mau apa?” seru Taruno ke arah dua orang
itu.
Sejenak mereka terdiam membeku karena terkejut, lalu berubah
santai melihat yang meneriaki mereka hanyalah seorang remaja tanggung. Sendirian,
pula.
“Bukan urusanmu. Sudah, pergi sana!” bentak pria yang
membawa buntalan bayi.
“Ngapain kalian di sini? Mau buang apa itu? Mau buang bayi,
ya? Itu anak orang, woy, bukan sampah kayak kalian!” Taruno balas membentak.
Kedua pria itu berpandangan, lalu merangsek maju dengan tangan
terkepal, siap menghajar Taruno.
Taruno memasang kuda-kuda, siap bertarung.
Sebuah tinju siap mendarat di tubuh Taruno ketika si empunya
tiba-tiba menatap nanar ke belakang tubuh Taruno, lalu menjerit sambil mundur
ketakutan. Rekannya ikut menjerit lalu ikut kabur. Buntalan bayi dalam
gendongannya jatuh begitu saja. Taruno menangkap buntalan itu dengan sigap
sebelum sempat menyentuh permukaan air.
“Untung sampeyan[8]
sigap, Mas. Bayinya tidak sampai jatuh,” sebuah suara manis membelai telinga
Taruno.
Ia menoleh. Kartika berdiri di belakangnya. Tangannya menata
rambut panjangnya hingga tergerai menutupi sebelah wajahnya. Sekilas Taruno
melihat wajah remuk perempuan itu. Wajah yang tadi dipamerkannya pada kedua
penyerang Taruno.
Taruno terkekeh pelan. “Tak heran mereka kabur. Belum kenal
Mbak Kartika, sih,” katanya.
Separuh wajah Kartika yang terbuka menampilkan senyum sedih.
“Kalau bukan karena bayi itu, aku tak akan ikut campur, Mas,” jawabnya.
Bulan purnama menyembul dari kungkungan awan. Sinarnya yang
keperakan memantul di atas permukaan sungai. Desirnya pelan, menghanyutkan. Taruno
membalas senyum Kartika. Baru sekarang ia menyadari betapa cantik perempuan di
hadapannya ini...
Langkah-langkah cepat Lik Parjo yang mendekat membuyarkan
lamunan Taruno. Anak bajang mengekor rapat
di belakangnya.
Hati-hati Taruno mengangsurkan buntalan di tangannya pada
Lik Parjo. Bayi di dalamnya mengeluarkan suara lemah, seakan-akan mengucapkan
terima kasih.
“Dia akan baik-baik saja,” kata Lik Parjo setelah mengintip
ke dalam buntalan. “Masih lemah, tapi dia akan baik-baik saja. Aku akan
mengurusnya.”
Taruno mengangguk mantap. Malam ini ternyata lebih menarik
daripada perkiraannya sebelumnya.
Sebelum beranjak, Lik Parjo menoleh dan berkata, “Monggo ngopi di warung, Mas. Lumayan buat
menghangatkan tubuh. Kali ini Rama pasti tak keberatan.”
Senyum Taruno terkembang.
Kopi hitam istimewa racikan Lik Parjo, siapa yang bisa
menolak?
[1] Manusia yang
memiliki kelebihan dibandingkan manusia normal lainnya, kelebihan yang bersifat
supranatural.
[2] Arti harfiahnya
adalah “orang halus”, bahasa halus untuk menyebut makhluk gaib.
[3] Ayah
[4] Silakan
[5] Arti sebenarnya
adalah “paman”, adik laki-laki ayah atau ibu, namun bisa menjadi panggilan
sopan untuk orang yang lebih tua walaupun tanpa hubungan darah.
[6] Ya sudah,
permisi, Lik.
[7] Anak-anak
yang sengaja dibuang oleh orang tuanya.
[8] Kamu,
Anda.
good post
BalasHapusterima kasih, pak...
BalasHapusterima kasih juga mampirnya.