Matahari masih bersinar, namun tubuhnya tersamar sempurna dalam
bayang-bayang hutan jati. Rumah yang dicintai dan mencintainya. Rumah yang kini
menguarkan aroma gelisah yang membungkus rapat tubuhnya hingga ia sulit
bernapas.
Ada yang datang, dan berniat tidak baik.
Matanya tak lepas mengamati dua anak laki-laki yang sedang berjalan
memasuki hutan jati sambil bercakap-cakap itu. Sekali lihat katapel yang menyembul
keluar dari saku celana pendek salah seorang di antara mereka, ia sudah tahu
apa maksud kedatangan mereka. Ia mendesah. Sayang sekali, semuda itu sudah
belajar bersikap kejam terhadap sesama makhluk hidup.
Ayam hutan dalam pelukannya bergerak-gerak gelisah.
“Ssshhh... ssshhh... tenang,” belainya menenangkan. “Takkan kubiarkan
mereka menyakitimu lagi.”
Ayam hutan berbulu hijau-hitam mengkilat itu mematuk tangannya dengan
sayang. Ia terkekeh.
“Menurutmu, aku harus mengambil wujud apa?”
Satu patukan lagi.
“Baiklah kalau begitu.”
Udara yang bergetar dalam gelombang-gelombang panjang menyelubungi tubuhnya.
Ketika getaran itu menghilang, ia sudah bersalin rupa menjadi seorang anak
laki-laki seusia dua orang “tamu”nya itu.
Mereka tak akan curiga bahwa ia bukan manusia biasa.
“Aku butuh bantuanmu,” katanya sambil membelai paruh ayamnya. “Siap?”
Piaraannya berkokok sekali.
*****
Ssswwiiing! Klotak!
“Yah… meleset!” gerutu Andi. Dipelototinya
buruannya dengan jengkel. Ayam hutan gemuk itu kini hinggap di dahan yang tak
terjangkau.
“Sudah, Ndi. Sudah siang nih, aku belum shalat
lohor. Nanti aku dimarahi Ibu,” rengek Toto. Ia sudah bosan mengikuti Andi
berburu ayam hutan dengan katapel. Sebenarnya ibunya juga sudah melarangnya
ikut-ikutan Andi. Apa daya, Andi memaksanya ikut dan ia tak berani menolak.
Siapalah yang berani berkata tidak pada Andi, sang jagoan di sekolah dan di kampung.
Toto memandang berkeliling. Hutan jati itu kini
lebih sunyi dari biasanya. Angin seakan berhenti berhembus. Keheningan hutan
membuat bulu kuduknya meremang. Sinar matahari yang memancar dari sela-sela daun
jati tidak bisa mengusir suramnya suasana hutan siang itu. “Pulang yok…” rengeknya
lagi.
“Dasar
penakut! Sana, pulang
saja sendiri! Lagi nanggung, nih,” sahut Andi sambil menoleh ke kiri dan kanan,
mencari buruannya.
“Sudah ya, aku pulang,” pamit Toto. Cepat-cepat
ia menuju jalan raya, meninggalkan Andi di tengah belukar. Tak dipedulikannya
Andi yang mendelik jengkel ke arahnya.
Sambil menggerundel sendiri, Andi berjalan tersaruk-saruk
makin jauh dari jalan raya. Ia sebal
karena tak bisa berjalan dengan leluasa. Rumput liar tumbuh hampir setinggi dadanya. Sepatu bot karet milik ayahnya menyulitkan
langkahnya. Ingin rasanya ia melepas sepatu bot itu, namun ia takut menginjak
ular. Bisa repot kalau kakinya dipatuk ular.
Kesunyian hutan membuat kantuk tiba-tiba
menyerang. Andi mengucek mata. Ia masih penasaran pada ayam hutan hijau yang
diincarnya tadi. Mana binatang sialan itu? Ah, itu dia!
Seperti menggoda Andi, buruannya terbang rendah
di atas kepalanya. Andi makin geregetan. Buru-buru dikejarnya ayam hutan itu.
Entah berapa lama Andi berlari. Tiba-tiba ia
mengaduh. Kakinya terantuk pagar kayu. Sebuah rumah yang asri tampak dari balik
pagar. Andi sedikit heran, kok ada rumah di sini? Bukankah kata orang, bagian
hutan jati yang ini tidak berpenghuni?
Keraguannya segera terlupakan
saat dilihatnya incarannya terbang melintas, lalu hinggap di ambang jendela rumah itu. Setelah berkokok pendek, ayam hutan itu membersihkan
sayapnya. Gerak-geriknya menggoda Andi. Andi jadi makin geregetan.
Ayam hutan itulah alasannya berpayah-payah menelusuri hutan
jati. Hewan itu selalu berhasil kabur darinya sejak mereka bertemu. Begitu kencang larinya, begitu
cepat terbangnya. Belum lagi bulunya yang hijau kemilau di bawah cahaya
matahari. Sayangnya, ayam hutan yang satu ini tidak hanya cantik, namun juga
cerdik. Baru ayam hutan ini yang lolos dari incaran Andi. Sebagai jawara tak resmi
di bidang perketapelan, Andi tidak mau dikalahkan begitu saja oleh seekor ayam
hutan.
Andi kenal orang-orang yang pekerjaannya berburu ayam hutan. Ayam hutan
berbulu bagus akan dijual, sedangkan yang bulunya jelek akan berakhir di meja
makan. Kalau boleh
jujur, ia sebenarnya tak begitu suka daging ayam hutan. Walaupun Ibu bisa
memasak hidangan ayam hutan yang sedap, tetap saja dagingnya lebih keras
daripada ayam kampung.
Ayam hutan yang ini tidak akan
dijualnya. Paling tidak sampai dia bosan.
Andi menoleh ke kanan dan ke kiri. Aman. Tak ada seorang pun di sana. Ia mengangkat katapelnya. Kali ini
tidak boleh lolos lagi!
Belum sempat Andi menembak sasarannya, pintu
depan rumah itu tiba-tiba terbuka. Andi melihat seorang anak laki-laki
seusianya muncul dari dalam rumah. Mereka berpandangan sejenak, lalu anak itu tersenyum. Ayam hutan buruan Andi mengangkat
kepalanya, lalu terbang ke dalam pelukan anak itu.
“Masuklah, Andi. Kamu lapar, kan?” Anak itu
memanggil Andi. Tangannya membelai ayam hutan hijau dalam pelukannya.
Andi mengerutkan kening. Dari mana anak itu
tahu namanya?
Bagai bisa membaca pikiran Andi, anak itu
tertawa. “Aku tahu namamu Andi. Toto yang bilang.”
Ah, tentu saja. Toto yang bermulut ember itu
pasti sudah bercerita ke mana-mana tentang Andi dan hobinya ini.
“Tunggu apa lagi? Ayo, tidak usah malu-malu.”
Andi merasa sedikit segan. Bagaimanapun, ia
baru kali itu bertemu dengan anak laki-laki itu, dan sekarang anak itu
mengundangnya makan siang. Tapi… krukukkk… Perut Andi berbunyi. Memang ia lapar
sekali!
Bagai kerbau dicocok hidung, Andi membuka pintu
pagar. Di depan pintu rumah, Andi berhenti. Ia ragu. Ibu selalu mengingatkan
agar ia hati-hati pada orang asing. Tapi ini kan bukan orang asing, bantahnya
dalam hati. Ini hanya anak laki-laki seperti dia. Lagipula, mana mungkin anak
laki-laki sekurus itu bisa menyakitinya? Tubuhnya
saja hampir dua kali lebih besar dari anak itu!
Anak itu tersenyum lagi. Andi balas tersenyum.
Keraguannya hilang seketika. Dari dalam rumah menguar bau yang sedap sekali.
Hmmmm… perut Andi makin keroncongan. Ia buru-buru masuk.
Benar saja, di atas meja terhidang sebakul nasi
hangat, sepiring besar ayam goreng, sambal, dan lalapan. Liur Andi sampai
hampir menetes!
“Makanlah.”
Andi tak perlu disuruh dua kali. Ia langsung
duduk dan melahap hidangan di atas meja. Anak laki-laki itu memperhatikan Andi makan sambil tetap tersenyum. Tangannya tidak berhenti membelai ayam hutan
hijau yang duduk nyaman dalam pelukannya.
“Kau tak makan?” tanya Andi dengan mulut penuh.
Anak laki-laki itu menggeleng. “Aku tidak lapar.”
Andi mengangkat bahu. Terserah saja bila anak
itu tidak mau makan. Lumayan. Hidangan ini bisa kuhabiskan sendiri, batinnya.
“Bagaimana, enak tidak?” tanyanya begitu Andi
selesai makan. Andi menghembuskan napas puas. Kenyanggg… makan siang ini
benar-benar nikmat!
“He-eh, enak banget,” jawab Andi sambil
nyengir. “Terima kasih, lho. Eh, mana ibumu?”
Anak itu menggeleng. “Aku tinggal sendirian di sini. Ayam hutan ini temanku satu-satunya. Aku senang kamu
datang. Temani aku di sini, ya?”
Tiba-tiba Andi merasa bulu kuduknya meremang.
Mendadak rumah itu dan penghuninya terasa mengancam. “Wah, sudah sore, nih.
Besok saja aku ke sini lagi. Sekarang aku pulang dulu,” jawab Andi berusaha
mengelak.
“Kamu tidak boleh pulang,” jawab anak laki-laki
itu. Suaranya berubah. Bola matanya
menjadi hitam sepenuhnya, bagaikan lubang tak berdasar pada wajahnya yang pucat
pasi. Di bibirnya
tersungging senyum jahat. “Kamu harus menemani aku di sini.”
Tiba-tiba pintu dan jendela menutup dengan
suara keras. Ruangan itu menjadi gelap. Andi berlari ke arah pintu depan, namun
pintu itu terkunci rapat. Sekuat apapun Andi menggoncangnya, pintu itu tidak
bergerak sama sekali.
“Sudahlah, menyerah saja. Kamu harus tinggal di
sini bersamaku, sebagai ganti ayam hutan yang sudah kaumakan dagingnya.” Anak
itu berjalan mendekati Andi. Tangannya teracung hendak memegang pundak Andi.
Dengan ngeri Andi melihat kuku-kuku anak itu pelan-pelan memanjang membentuk
cakar besar melengkung.
Andi makin ketakutan. “Tolong! Tolong!”
teriaknya dengan panik. Ia buru-buru menghindari cengkeraman cakar yang
mengerikan itu. Dengan panik ia berusaha mencari jalan keluar. Namun semua
pintu dan jendela bagaikan dipaku mati. Tak ada satu pun celah yang tersisa.
Kini Andi tahu rasanya menjadi tikus yang
terjebak dalam perangkap tanpa jalan keluar. Anak laki-laki itu tidak mengejarnya, hanya mengamati kepanikannya sambil
terkekeh. Andi tahu, ia hanya menunggu sampai Andi lelah sendiri. Ia tidak
terburu-buru. Suara
tawanya membuat bulu
kuduk Andi meremang. Ia
senang mempermainkan Andi, senang melihat Andi ketakutan. Ia tahu Andi tak bisa
lari ke mana-mana.
Sialan!
“Tolong! Tolong!” teriak Andi lagi. Semoga saja
ada yang mendengarnya!
“Andi, bangun! Andi, jangan teriak-teriak begitu
dong. Aku takut, nih.”
Andi membuka mata. Dilihatnya Toto membungkuk
ke arahnya sambil memandanginya dengan cemas. Andi buru-buru bangkit. Rumah itu
lenyap. Matahari bersinar cerah. Rupanya ia tadi tertidur sambil bersandar di
bawah pohon. Katapelnya tergeletak di sampingnya.
“Masa ditinggal sebentar sudah tidur. Kalau mau
tidur, di rumah saja, jangan di sini. Di sini seram, tau!” sergah Toto.
Andi memandang berkeliling. Di dekat pohon
tempatnya tertidur tadi, dilihatnya puing-puing bangunan tua yang sudah
menghitam. Bulu kuduknya meremang. Mana rumah tadi? Mana anak yang menyeramkan
tadi?
“Ayo To, kita pulang. Jangan lama-lama di sini.
Di sini ada… hiiii….” ajak Andi. Ia setengah berlari ke jalan raya.
“Ndi, tunggu dong. Katapelmu ketinggalan. Nggak
jadi berburu, nih?” tanya Toto sambil berusaha mengikuti langkah Andi. Napasnya
terengah-engah.
“Enggak deh, kapok aku!” seru Andi sambil tetap
berlari. “Aku tidak mau berburu lagi!”
Dalam hutan, tersembunyi sempurna dalam bayang-bayang, seorang anak laki-laki memandangi
mereka sambil tersenyum senang. Satu lagi pemburu gelap mendapat pelajaran
berharga. Berkurang satu musuh hutan.
Semoga setelah ini Andi tak suka berburu
binatang di hutan itu lagi.
Ayam hutan hijau yang bertengger di pundaknya berkokok riang. Ia tertawa.
“Yang satu ini sudah kapok. Yang lain akan kita bikin kapok juga,” janjinya.
Tangannya membelai ayam peliharaannya, menenangkan. “Malam ini, kita berenang di sendang[1]. Mau?”
Ayam jantan itu mematuk telinganya dengan sayang. Ia terkekeh. Ia tahu,
pekerjaannya masih jauh dari selesai. Namun keberhasilan, sekecil apapun, layak
dirayakan.
good post mbak
BalasHapusterima kasih, pak...
Hapusterima kasih juga sudah mampir.