Selasa, 22 November 2016

[FANTASY] SUDAH KAPOK !





Matahari masih bersinar, namun tubuhnya tersamar sempurna dalam bayang-bayang hutan jati. Rumah yang dicintai dan mencintainya. Rumah yang kini menguarkan aroma gelisah yang membungkus rapat tubuhnya  hingga ia sulit bernapas.


Ada yang datang, dan berniat tidak baik.

Matanya tak lepas mengamati dua anak laki-laki yang sedang berjalan memasuki hutan jati sambil bercakap-cakap itu. Sekali lihat katapel yang menyembul keluar dari saku celana pendek salah seorang di antara mereka, ia sudah tahu apa maksud kedatangan mereka. Ia mendesah. Sayang sekali, semuda itu sudah belajar bersikap kejam terhadap sesama makhluk hidup.

Ayam hutan dalam pelukannya bergerak-gerak gelisah.

“Ssshhh... ssshhh... tenang,” belainya menenangkan. “Takkan kubiarkan mereka menyakitimu lagi.”

Ayam hutan berbulu hijau-hitam mengkilat itu mematuk tangannya dengan sayang. Ia terkekeh.

“Menurutmu, aku harus mengambil wujud apa?”

Satu patukan lagi.

“Baiklah kalau begitu.”

Udara yang bergetar dalam gelombang-gelombang panjang menyelubungi tubuhnya. Ketika getaran itu menghilang, ia sudah bersalin rupa menjadi seorang anak laki-laki seusia dua orang “tamu”nya itu.

Mereka tak akan curiga bahwa ia bukan manusia biasa.

“Aku butuh bantuanmu,” katanya sambil membelai paruh ayamnya. “Siap?”

Piaraannya berkokok sekali.

*****

Ssswwiiing! Klotak!

“Yah… meleset!” gerutu Andi. Dipelototinya buruannya dengan jengkel. Ayam hutan gemuk itu kini hinggap di dahan yang tak terjangkau.

“Sudah, Ndi. Sudah siang nih, aku belum shalat lohor. Nanti aku dimarahi Ibu,” rengek Toto. Ia sudah bosan mengikuti Andi berburu ayam hutan dengan katapel. Sebenarnya ibunya juga sudah melarangnya ikut-ikutan Andi. Apa daya, Andi memaksanya ikut dan ia tak berani menolak. Siapalah yang berani berkata tidak pada Andi, sang jagoan di sekolah dan di kampung.

Toto memandang berkeliling. Hutan jati itu kini lebih sunyi dari biasanya. Angin seakan berhenti berhembus. Keheningan hutan membuat bulu kuduknya meremang. Sinar matahari yang memancar dari sela-sela daun jati tidak bisa mengusir suramnya suasana hutan siang itu. “Pulang yok…” rengeknya lagi.

Dasar penakut! Sana, pulang saja sendiri! Lagi nanggung, nih,” sahut Andi sambil menoleh ke kiri dan kanan, mencari buruannya.

“Sudah ya, aku pulang,” pamit Toto. Cepat-cepat ia menuju jalan raya, meninggalkan Andi di tengah belukar. Tak dipedulikannya Andi yang mendelik jengkel ke arahnya.

Sambil menggerundel sendiri, Andi berjalan tersaruk-saruk makin jauh dari jalan raya. Ia sebal karena tak bisa berjalan dengan leluasa. Rumput liar tumbuh hampir setinggi dadanya. Sepatu bot karet milik ayahnya menyulitkan langkahnya. Ingin rasanya ia melepas sepatu bot itu, namun ia takut menginjak ular. Bisa repot kalau kakinya dipatuk ular.

Kesunyian hutan membuat kantuk tiba-tiba menyerang. Andi mengucek mata. Ia masih penasaran pada ayam hutan hijau yang diincarnya tadi. Mana binatang sialan itu? Ah, itu dia!

Seperti menggoda Andi, buruannya terbang rendah di atas kepalanya. Andi makin geregetan. Buru-buru dikejarnya ayam hutan itu.

Entah berapa lama Andi berlari. Tiba-tiba ia mengaduh. Kakinya terantuk pagar kayu. Sebuah rumah yang asri tampak dari balik pagar. Andi sedikit heran, kok ada rumah di sini? Bukankah kata orang, bagian hutan jati yang ini tidak berpenghuni?

Keraguannya segera terlupakan saat dilihatnya incarannya terbang melintas, lalu hinggap di ambang jendela rumah itu. Setelah berkokok pendek, ayam hutan itu membersihkan sayapnya. Gerak-geriknya menggoda Andi. Andi jadi makin geregetan.

Ayam hutan itulah alasannya berpayah-payah menelusuri hutan jati. Hewan itu selalu berhasil kabur darinya sejak mereka bertemu. Begitu kencang larinya, begitu cepat terbangnya. Belum lagi bulunya yang hijau kemilau di bawah cahaya matahari. Sayangnya, ayam hutan yang satu ini tidak hanya cantik, namun juga cerdik. Baru ayam hutan ini yang lolos dari incaran Andi. Sebagai jawara tak resmi di bidang perketapelan, Andi tidak mau dikalahkan begitu saja oleh seekor ayam hutan.

Andi kenal orang-orang yang pekerjaannya berburu ayam hutan. Ayam hutan berbulu bagus akan dijual, sedangkan yang bulunya jelek akan berakhir di meja makan. Kalau boleh jujur, ia sebenarnya tak begitu suka daging ayam hutan. Walaupun Ibu bisa memasak hidangan ayam hutan yang sedap, tetap saja dagingnya lebih keras daripada ayam kampung.

Ayam hutan yang ini tidak akan dijualnya. Paling tidak sampai dia bosan.

Andi menoleh ke kanan dan ke kiri. Aman. Tak ada seorang pun di sana. Ia mengangkat katapelnya. Kali ini tidak boleh lolos lagi!

Belum sempat Andi menembak sasarannya, pintu depan rumah itu tiba-tiba terbuka. Andi melihat seorang anak laki-laki seusianya muncul dari dalam rumah. Mereka berpandangan sejenak, lalu  anak itu tersenyum. Ayam hutan buruan Andi mengangkat kepalanya, lalu terbang ke dalam pelukan anak itu.

“Masuklah, Andi. Kamu lapar, kan?” Anak itu memanggil Andi. Tangannya membelai ayam hutan hijau dalam pelukannya.

Andi mengerutkan kening. Dari mana anak itu tahu namanya?

Bagai bisa membaca pikiran Andi, anak itu tertawa. “Aku tahu namamu Andi. Toto yang bilang.”

Ah, tentu saja. Toto yang bermulut ember itu pasti sudah bercerita ke mana-mana tentang Andi dan hobinya ini.

“Tunggu apa lagi? Ayo, tidak usah malu-malu.”

Andi merasa sedikit segan. Bagaimanapun, ia baru kali itu bertemu dengan anak laki-laki itu, dan sekarang anak itu mengundangnya makan siang. Tapi… krukukkk… Perut Andi berbunyi. Memang ia lapar sekali!

Bagai kerbau dicocok hidung, Andi membuka pintu pagar. Di depan pintu rumah, Andi berhenti. Ia ragu. Ibu selalu mengingatkan agar ia hati-hati pada orang asing. Tapi ini kan bukan orang asing, bantahnya dalam hati. Ini hanya anak laki-laki seperti dia. Lagipula, mana mungkin anak laki-laki sekurus itu bisa menyakitinya? Tubuhnya saja hampir dua kali lebih besar dari anak itu!
Anak itu tersenyum lagi. Andi balas tersenyum. Keraguannya hilang seketika. Dari dalam rumah menguar bau yang sedap sekali. Hmmmm… perut Andi makin keroncongan. Ia buru-buru masuk.

Benar saja, di atas meja terhidang sebakul nasi hangat, sepiring besar ayam goreng, sambal, dan lalapan. Liur Andi sampai hampir menetes!

“Makanlah.”

Andi tak perlu disuruh dua kali. Ia langsung duduk dan melahap hidangan di atas meja. Anak laki-laki itu memperhatikan Andi makan sambil tetap tersenyum. Tangannya tidak berhenti membelai ayam hutan hijau yang duduk nyaman dalam pelukannya.

“Kau tak makan?” tanya Andi dengan mulut penuh.

Anak laki-laki itu menggeleng. “Aku tidak lapar.”

Andi mengangkat bahu. Terserah saja bila anak itu tidak mau makan. Lumayan. Hidangan ini bisa kuhabiskan sendiri, batinnya.

“Bagaimana, enak tidak?” tanyanya begitu Andi selesai makan. Andi menghembuskan napas puas. Kenyanggg… makan siang ini benar-benar nikmat!

“He-eh, enak banget,” jawab Andi sambil nyengir. “Terima kasih, lho. Eh, mana ibumu?”

Anak itu menggeleng. “Aku tinggal sendirian di sini. Ayam hutan ini temanku satu-satunya. Aku senang kamu datang. Temani aku di sini, ya?”

Tiba-tiba Andi merasa bulu kuduknya meremang. Mendadak rumah itu dan penghuninya terasa mengancam. “Wah, sudah sore, nih. Besok saja aku ke sini lagi. Sekarang aku pulang dulu,” jawab Andi berusaha mengelak.

“Kamu tidak boleh pulang,” jawab anak laki-laki itu. Suaranya berubah. Bola matanya menjadi hitam sepenuhnya, bagaikan lubang tak berdasar pada wajahnya yang pucat pasi. Di bibirnya tersungging senyum jahat. “Kamu harus menemani aku di sini.”

Tiba-tiba pintu dan jendela menutup dengan suara keras. Ruangan itu menjadi gelap. Andi berlari ke arah pintu depan, namun pintu itu terkunci rapat. Sekuat apapun Andi menggoncangnya, pintu itu tidak bergerak sama sekali.

“Sudahlah, menyerah saja. Kamu harus tinggal di sini bersamaku, sebagai ganti ayam hutan yang sudah kaumakan dagingnya.” Anak itu berjalan mendekati Andi. Tangannya teracung hendak memegang pundak Andi. Dengan ngeri Andi melihat kuku-kuku anak itu pelan-pelan memanjang membentuk cakar besar melengkung.

Andi makin ketakutan. “Tolong! Tolong!” teriaknya dengan panik. Ia buru-buru menghindari cengkeraman cakar yang mengerikan itu. Dengan panik ia berusaha mencari jalan keluar. Namun semua pintu dan jendela bagaikan dipaku mati. Tak ada satu pun celah yang tersisa.

Kini Andi tahu rasanya menjadi tikus yang terjebak dalam perangkap tanpa jalan keluar. Anak laki-laki itu tidak mengejarnya, hanya mengamati kepanikannya sambil terkekeh. Andi tahu, ia hanya menunggu sampai Andi lelah sendiri. Ia tidak terburu-buru. Suara tawanya membuat bulu kuduk Andi meremang. Ia senang mempermainkan Andi, senang melihat Andi ketakutan. Ia tahu Andi tak bisa lari ke mana-mana.

Sialan!

“Tolong! Tolong!” teriak Andi lagi. Semoga saja ada yang mendengarnya!

“Andi, bangun! Andi, jangan teriak-teriak begitu dong. Aku takut, nih.”

Andi membuka mata. Dilihatnya Toto membungkuk ke arahnya sambil memandanginya dengan cemas. Andi buru-buru bangkit. Rumah itu lenyap. Matahari bersinar cerah. Rupanya ia tadi tertidur sambil bersandar di bawah pohon. Katapelnya tergeletak di sampingnya.

“Masa ditinggal sebentar sudah tidur. Kalau mau tidur, di rumah saja, jangan di sini. Di sini seram, tau!” sergah Toto.

Andi memandang berkeliling. Di dekat pohon tempatnya tertidur tadi, dilihatnya puing-puing bangunan tua yang sudah menghitam. Bulu kuduknya meremang. Mana rumah tadi? Mana anak yang menyeramkan tadi?

“Ayo To, kita pulang. Jangan lama-lama di sini. Di sini ada… hiiii….” ajak Andi. Ia setengah berlari ke jalan raya.

“Ndi, tunggu dong. Katapelmu ketinggalan. Nggak jadi berburu, nih?” tanya Toto sambil berusaha mengikuti langkah Andi. Napasnya terengah-engah.

“Enggak deh, kapok aku!” seru Andi sambil tetap berlari. “Aku tidak mau berburu lagi!”

Dalam hutan, tersembunyi sempurna dalam bayang-bayang, seorang anak laki-laki memandangi mereka sambil tersenyum senang. Satu lagi pemburu gelap mendapat pelajaran berharga. Berkurang satu musuh hutan.

Semoga setelah ini Andi tak suka berburu binatang di hutan itu lagi.

Ayam hutan hijau yang bertengger di pundaknya berkokok riang. Ia tertawa.

“Yang satu ini sudah kapok. Yang lain akan kita bikin kapok juga,” janjinya. Tangannya membelai ayam peliharaannya, menenangkan. “Malam ini, kita berenang di sendang[1]. Mau?”

Ayam jantan itu mematuk telinganya dengan sayang. Ia terkekeh. Ia tahu, pekerjaannya masih jauh dari selesai. Namun keberhasilan, sekecil apapun, layak dirayakan.


[1] Telaga






2 komentar: