Semuanya berawal
ketika di media sosial, Dwi, teman SMA-ku, menge-tag namaku ke sebuah acara. Bukan main-main: acara nikah massal!
Sambil menghela
napas, kubaca detil acara itu. “Hadirilah! Ikutilah! Gratis! PT Maju Mundur
mensponsori kegiatan Nikah Massal sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat.
Fasilitas: gratis mahar, gratis biaya nikah, gratis pakaian pengantin, tempat
akad nikah unik di atas dermaga, bulan madu romantis di hotel berbintang,
hadiah pernikahan dari sponsor.”
Aku tersenyum
kecut. Okelah, aku sudah bercerai selama dua belas tahun. Okelah, Dwi memang
suka usil. Namun menge-tag namaku ke
dalam acara semacam itu bukanlah gurauan yang lucu, melainkan ejekan yang kejam
bagiku.
Aku hanya bisa
tercenung menatap layar monitor komputer. Apa pula ini maksudnya? Bujukan (yang
tidak terlalu) halus agar aku menikah lagi? Dia malu karena punya teman yang
lama menjanda? Atau Dwi menyangka aku tak kunjung bersuami lagi karena tak
punya uang untuk menikah? Sampai sekarang aku belum menikah lagi tentu bukan
karena tidak ada biaya. Walaupun gajiku tak seberapa bila dibandingkan dirinya,
tak perlulah aku ikut acara nikah massal. Kalau mau, aku masih mampu kok membiayai
acara pernikahanku sendiri.
Aku menghela
napas. Bagiku, tidak mudah hidup sebagai janda. Pilihannya hanya ada dua:
dicibir orang, atau direcoki dengan saran, dukungan, bahkan dorongan karena
“prihatin” padaku, yang ujung-ujungnya sama mengganggu dan menyakitkannya
dengan dicibir.
Ah, tapi tak
baik berburuk sangka pada Dwi. Temanku itu memang sudah nyentrik sejak SMA. Sikapnya
bisa berubah dari menyebalkan menjadi menyenangkan dan seterusnya dalam
hitungan detik. Berteman dengannya berarti harus siap dengan kejutan-kejutan
yang tak selalu menyenangkan. Walaupun begitu, ia teman yang baik. Aku belum
lupa ketika Surya, mantan suamiku, nekad datang ke acara reuni SMA membawa istri barunya, dengan ringan Dwi berkomentar, “Hah? Kamu
ninggalin Rani buat perempuan kayak gini? Yaelaaahhh…Cantikan Rani banget-banget,
Sur…”
Dwi yang
ceplas-ceplos dan apa adanya. Saat itu, setelah ia melontarkan komentarnya itu,
kupeluk ia erat-erat. Tak kupedulikan tatapan marah Surya dan tatapan iba
teman-temanku yang lain.
Selama ini tak bisa aku sungguh-sungguh marah pada Dwi.
Dan sekarang ini… entah apalagi yang ada di otaknya.
Aku nyaris
melupakan keusilan Dwi itu ketika seminggu kemudian sebuah nomor tak dikenal
menghubungi ponselku. “Selamat siang. Apa benar ini Bu Rani?”
Aku tak
mengenali suara perempuan di seberang sana. “Iya, benar. Ini siapa, ya?”
“Saya Wiwin dari
Widuri Tailor. Besok siang Bu Rani sudah bisa mengukur baju. Kami tunggu jam 10
sampai jam 11 ya Bu.”
Aku bengong.
“Mengukur baju apa, ya?”
“Kebaya, Bu. Buat
acara pernikahan itu, lho. Masa lupa?”
“Pernikahan
apa?”
“Lho, Bu Rani
kan terdaftar sebagai peserta acara nikah massal yang diadakan PT Maju Mundur.
Sebagai peserta, Ibu mendapat kebaya gratis.”
“Saya bukan
peserta acara itu, Mbak!”
Diam sejenak.
“Tapi nama Ibu ada di daftar peserta,” sahut Wiwin hati-hati.
Tanpa berpanjang
kata, kututup telepon.
Belum sempat aku
mencerna apa yang terjadi, ponselku berbunyi lagi. Kali ini suara pria. “Ini Bu
Rani? Kami dari Tresno Catering. Kami menunggu konfirmasi Ibu tentang jumlah
keluarga yang akan hadir, soalnya terkait dengan hidangan yang harus kami
siapkan. Jadinya berapa orang, Bu?”
Aku menggeram.
Ini tidak lucu sama sekali. “Kalau ini tentang acara nikah massal itu, maaf
saja, Mas. Saya bukan peserta!”
“Kami menelepon
Ibu karena data Ibu ada di panitia. Silakan menghubungi panitia saja Bu, kalau
memang ada kesalahan.”
Setelah
memberiku nomor telepon panitia nikah massal, laki-laki itu menyudahi
pembicaraan.
“Selamat siang.
Panitia Nikah Massal PT Maju Mundur,” suara pria di seberang sana terdengar
ramah menjawab panggilanku. “Dengan Cahyo di sini, ada yang bisa saya bantu?”
“Nama saya Rani
Anindita. Seharian ini saya sudah dihubungi penjahit dan katering menyangkut
acara Nikah Massal yang diselenggarakan PT Maju Mundur. Masalahnya, saya tidak
pernah mendaftar untuk ikut acara itu.”
Lamat-lamat
terdengar suara orang mengetik di atas keyboard.
“Dalam komputer kami sudah tercatat peserta nikah massal atas nama Rani
Anindita,” sahut laki-laki itu beberapa saat kemudian.
“Tapi saya tak
pernah mendaftar!”
Hening lagi. “Di
sini tercatat yang mendaftarkan Rani Anindita adalah Dwiani Lestari.”
Kenapa aku tak
heran? Tentu saja ini ulah Dwi!
“Kalau begitu,
saya batal ikut.”
“Maaf Bu,
kepesertaan acara ini tidak dapat dibatalkan. Acara ini tidak sembarangan.
Fasilitasnya kelas satu. Kalau mengundurkan diri, ada dendanya lho, Bu.”
Aku menggeram.
“Pokoknya saya batal ikut!”
“Kalau begitu,
silakan datang ke kantor untuk membicarakan masalah ini.”
“Nanti saya
harus bertemu dengan siapa?”
“Cukup dengan
saya, Bu.”
Sepanjang perjalanan
ke kantor panitia Nikah Massal, aku sibuk menenangkan diri. Aku tak habis
pikir. Kalau Dwi bermaksud bergurau, kali ini ia benar-benar kelewatan. Sudah
bukan masanya lagi ia mempermainkanku seperti ini. Kami sudah bukan anak SMA
yang bisa leluasa saling mengerjai. Harusnya ia tahu, urusan pernikahan selalu menyakitkan
bagiku. Butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk menata hidup dan hatiku setelah
Surya mengkhianatiku. Salahkah aku bila aku berharap teman-temanku memahami
perasaanku?
Berkali-kali
kucoba menghubungi ponsel Dwi, namun jawabannya sama: telepon yang Anda hubungi
sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Tentu saja! Ia tentu sudah
merasa bahwa aku akan marah-marah padanya, sehingga ponselnya sengaja
dimatikan. Dasar Dwi!
Kantor panitia
Nikah Massal berada di gedung PT Maju Mundur. Ketika aku tiba, ruangan yang
nyaman dengan pot-pot tanaman dan musik yang sayup-sayup terdengar itu hanya
berisi seorang laki-laki yang sedang sibuk dengan laptop-nya.
“Permisi,”
sapaku. “Pak Cahyo-nya ada? Saya ingin bertemu. Tadi sudah janjian.”
Laki-laki itu bangkit
sambil tersenyum. Senyumnya manis juga. “Saya Cahyo. Bu Rani, ya? Silakan duduk.”
Aku duduk di
hadapannya. Harus kuakui, ia cukup menarik. Hidungnya mancung. Garis wajahnya
tegas, namun matanya memancar ramah. Rambut ikal dengan beberapa helai uban
yang memantulkan cahaya lampu membuatnya kelihatan matang.
“Saya Rani
Anindita, yang tadi menelepon. Saya ke sini untuk meluruskan masalah
keikutsertaan saya dalam acara Nikah Massal itu.”
Pak Cahyo melirik
laptop yang terbuka di hadapannya,
lalu mengangguk-angguk. “Kami menerima pendaftaran atas nama Anda karena kami
lihat dalam KTP Anda berstatus cerai hidup. Kami tidak tahu kalau Anda sudah
menikah lagi, Mbak.”
Oh, jadi begitu.
Aku mendadak ingat pernah memberi fotokopi KTP pada Dwi ketika ia mendata
teman-teman sekelas menjelang reuni tempo hari. Rupanya ia mendaftarkanku
sebagai peserta Nikah Massal berbekal fotokopi KTP itu. Kesebalanku muncul lagi,
kali ini pada Pak Cahyo. Sok tahu sekali dia, menyebutku sudah menikah lagi.
Lagipula, kenapa
panggilan “Bu” berubah menjadi “Mbak”?
“Saya belum
menikah lagi,” sahutku ketus.
Pak Cahyo
memandangku dengan heran. “Lalu kenapa mundur dari acara Nikah Massal?”
“Saya ini tidak
punya calon suami kok disuruh ikut Nikah Massal. Terus saya ini disuruh menikah
dengan siapa? Iya, saya ngerti, saya ini sudah bertahun-tahun jadi janda. Sudah
waktunya saya menikah lagi. Saya ini sudah puas Pak, disakiti laki-laki.
Makanya saya enggak segitunya ngebet kepengin kawin lagi! Ini kok sekarang saya
disuruh ikut Nikah Massal. Maksudnya apa? Apa mau menghina saya, karena saya
janda? Apa dikira saya tidak laku, tidak ada laki-laki yang mau sama saya? Apa
dikira saya belum menikah lagi karena tidak punya uang?” semburku. Buru-buru
kututup mulut, tapi terlambat. Kata-kata itu sudah telanjur membanjir bagai air
bah. Air mata menggenang di sudut mataku. Sialan, kenapa pula aku jadi kelepasan
begini?
“Oh,” Pak Cahyo
memandangku dengan iba, “begitu. Kami tidak bermaksud menghina kok, Mbak. Saya
rasa teman Mbak juga tidak bermaksud begitu.”
Setengah mati
aku menahan isak. Aku malu sekali. Sudah cukup buruk aku marah-marah seperti
itu, ditambah lagi Pak Cahyo jadi kasihan padaku. Ah, kenapa pula ia kasihan
padaku? Aku tak perlu dikasihani! Dengan marah kuambil selembar tisu dari dalam
tas dan kususut air mataku.
Kami terdiam
beberapa saat. Kemudian, setelah mendehem, Pak Cahyo berkata, “Kalau begitu
situasinya, silakan bila Mbak Rani ingin mengundurkan diri. Kami tidak akan
memberi sanksi denda pada Mbak. Apalagi Mbak Rani didaftarkan oleh orang lain,
bukan mendaftar sendiri.”
Seharusnya aku
mengucapkan terima kasih atau apalah, tapi aku hanya terduduk diam. Semburan
kemarahan tadi menghabiskan energiku. Aku lunglai seperti ban sepeda bocor yang
sudah habis anginnya. Anehnya, aku justru merasa plong. Sudah lama tak
kurasakan dadaku selega ini.
*****
Hari pelaksanaan
Nikah Massal datang, lalu pergi. Kulihat di televisi, acara itu sukses luar
biasa. PT Maju Mundur tak mengingkari janji. Mereka menyediakan fasilitas
terbaik bagi para pasangan yang menikah dalam acara itu. Para pengantin
berbagai usia yang mengikuti acara Nikah Massal itu tampak berseri-seri.
Doaku untuk
mereka. Semoga pernikahan mereka langgeng, bahagia dunia akhirat.
Pak Cahyo juga
menepati janjinya. Sejak kedatanganku ke kantor panitia Nikah Massal, aku tak
diganggu lagi. Pihak panitia juga benar-benar tidak menjatuhkan denda padaku.
Seharusnya
kulupakan saja acara itu. Namun aku tak bisa melupakan wajah Pak Cahyo ketika
aku membentak-bentaknya di kantor panitia tempo hari. Mungkin seharusnya aku
minta maaf padanya…
“Itu pengamen
kok enggak pergi-pergi, ya?” gerutu Ningsih, asisten rumah tanggaku sambil
mengantarkan teh hangat pesananku.
“Pengamen apa
sih?” tanyaku penasaran.
“Itu Bu, orangnya
kelihatan kok dari sini,” jawabnya sambil melihat ke luar jendela.
Aku ikut
melongok. Di dekat pagar, seorang laki-laki menenteng gitar bersandar di pohon
mangga. Keningku berkerut. Kok kayaknya aku kenal orang ini?
Laki-laki itu
mendongak, melihat aku mengawasinya, lalu memberi isyarat agar aku membuka
jendela. Aku terkesiap. Lho, itu kan Pak Cahyo?
Begitu aku
membuka jendela, Pak Cahyo menatapku lekat-lekat lalu mulai mendendangkan lagu
dangdut lawas diiringi petikan gitarnya, ”Tak
semua laki-laki bersalah padamu… Contohnya aku mau mencintaimu… Tapi mengapa
engkau masih ragu…”
Astaga!
good post mbak , mantap ceritanya
BalasHapusterima kasih, pak...
Hapusterima kasih juga mampirnya.
Melongo di awal, terharu di tengah, tertawa di akhir. Rombongan jempol mba Dani!
BalasHapus👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍
hehehehehe...
Hapusmatur nuwun, mbak...
matur nuwun juga sudah mampir.
salam buat mas al dan puput yaaa...
Trm kasih salamnya mba Dani.
HapusKetinggalan banyak dari blog ini.
Nanti sy kembali lg ya?
Salam..