Senin, 14 November 2016

NIKAH MASSAL



Semuanya berawal ketika di media sosial, Dwi, teman SMA-ku, menge-tag namaku ke sebuah acara. Bukan main-main: acara nikah massal!


Sambil menghela napas, kubaca detil acara itu. “Hadirilah! Ikutilah! Gratis! PT Maju Mundur mensponsori kegiatan Nikah Massal sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. Fasilitas: gratis mahar, gratis biaya nikah, gratis pakaian pengantin, tempat akad nikah unik di atas dermaga, bulan madu romantis di hotel berbintang, hadiah pernikahan dari sponsor.”

Aku tersenyum kecut. Okelah, aku sudah bercerai selama dua belas tahun. Okelah, Dwi memang suka usil. Namun menge-tag namaku ke dalam acara semacam itu bukanlah gurauan yang lucu, melainkan ejekan yang kejam bagiku.

Aku hanya bisa tercenung menatap layar monitor komputer. Apa pula ini maksudnya? Bujukan (yang tidak terlalu) halus agar aku menikah lagi? Dia malu karena punya teman yang lama menjanda? Atau Dwi menyangka aku tak kunjung bersuami lagi karena tak punya uang untuk menikah? Sampai sekarang aku belum menikah lagi tentu bukan karena tidak ada biaya. Walaupun gajiku tak seberapa bila dibandingkan dirinya, tak perlulah aku ikut acara nikah massal. Kalau mau, aku masih mampu kok membiayai acara pernikahanku sendiri.

Aku menghela napas. Bagiku, tidak mudah hidup sebagai janda. Pilihannya hanya ada dua: dicibir orang, atau direcoki dengan saran, dukungan, bahkan dorongan karena “prihatin” padaku, yang ujung-ujungnya sama mengganggu dan menyakitkannya dengan dicibir.

Ah, tapi tak baik berburuk sangka pada Dwi. Temanku itu memang sudah nyentrik sejak SMA. Sikapnya bisa berubah dari menyebalkan menjadi menyenangkan dan seterusnya dalam hitungan detik. Berteman dengannya berarti harus siap dengan kejutan-kejutan yang tak selalu menyenangkan. Walaupun begitu, ia teman yang baik. Aku belum lupa ketika Surya, mantan suamiku, nekad datang ke acara reuni SMA membawa istri barunya, dengan ringan Dwi berkomentar, “Hah? Kamu ninggalin Rani buat perempuan kayak gini? Yaelaaahhh…Cantikan Rani banget-banget, Sur…”

Dwi yang ceplas-ceplos dan apa adanya. Saat itu, setelah ia melontarkan komentarnya itu, kupeluk ia erat-erat. Tak kupedulikan tatapan marah Surya dan tatapan iba teman-temanku yang lain.

Selama ini tak bisa aku sungguh-sungguh marah pada Dwi. Dan sekarang ini… entah apalagi yang ada di otaknya.                    

Aku nyaris melupakan keusilan Dwi itu ketika seminggu kemudian sebuah nomor tak dikenal menghubungi ponselku. “Selamat siang. Apa benar ini Bu Rani?”

Aku tak mengenali suara perempuan di seberang sana. “Iya, benar. Ini siapa, ya?”

“Saya Wiwin dari Widuri Tailor. Besok siang Bu Rani sudah bisa mengukur baju. Kami tunggu jam 10 sampai jam 11 ya Bu.”

Aku bengong. “Mengukur baju apa, ya?”

“Kebaya, Bu. Buat acara pernikahan itu, lho. Masa lupa?”

“Pernikahan apa?”

“Lho, Bu Rani kan terdaftar sebagai peserta acara nikah massal yang diadakan PT Maju Mundur. Sebagai peserta, Ibu mendapat kebaya gratis.”

“Saya bukan peserta acara itu, Mbak!”

Diam sejenak. “Tapi nama Ibu ada di daftar peserta,” sahut Wiwin hati-hati.

Tanpa berpanjang kata, kututup telepon.

Belum sempat aku mencerna apa yang terjadi, ponselku berbunyi lagi. Kali ini suara pria. “Ini Bu Rani? Kami dari Tresno Catering. Kami menunggu konfirmasi Ibu tentang jumlah keluarga yang akan hadir, soalnya terkait dengan hidangan yang harus kami siapkan. Jadinya berapa orang, Bu?”

Aku menggeram. Ini tidak lucu sama sekali. “Kalau ini tentang acara nikah massal itu, maaf saja, Mas. Saya bukan peserta!”

“Kami menelepon Ibu karena data Ibu ada di panitia. Silakan menghubungi panitia saja Bu, kalau memang ada kesalahan.”

Setelah memberiku nomor telepon panitia nikah massal, laki-laki itu menyudahi pembicaraan.

“Selamat siang. Panitia Nikah Massal PT Maju Mundur,” suara pria di seberang sana terdengar ramah menjawab panggilanku. “Dengan Cahyo di sini, ada yang bisa saya bantu?”

“Nama saya Rani Anindita. Seharian ini saya sudah dihubungi penjahit dan katering menyangkut acara Nikah Massal yang diselenggarakan PT Maju Mundur. Masalahnya, saya tidak pernah mendaftar untuk ikut acara itu.”

Lamat-lamat terdengar suara orang mengetik di atas keyboard. “Dalam komputer kami sudah tercatat peserta nikah massal atas nama Rani Anindita,” sahut laki-laki itu beberapa saat kemudian.

“Tapi saya tak pernah mendaftar!”

Hening lagi. “Di sini tercatat yang mendaftarkan Rani Anindita adalah Dwiani Lestari.”

Kenapa aku tak heran? Tentu saja ini ulah Dwi!

“Kalau begitu, saya batal ikut.”

“Maaf Bu, kepesertaan acara ini tidak dapat dibatalkan. Acara ini tidak sembarangan. Fasilitasnya kelas satu. Kalau mengundurkan diri, ada dendanya lho, Bu.”

Aku menggeram. “Pokoknya saya batal ikut!”

“Kalau begitu, silakan datang ke kantor untuk membicarakan masalah ini.”

“Nanti saya harus bertemu dengan siapa?”

“Cukup dengan saya, Bu.”

Sepanjang perjalanan ke kantor panitia Nikah Massal, aku sibuk menenangkan diri. Aku tak habis pikir. Kalau Dwi bermaksud bergurau, kali ini ia benar-benar kelewatan. Sudah bukan masanya lagi ia mempermainkanku seperti ini. Kami sudah bukan anak SMA yang bisa leluasa saling mengerjai. Harusnya ia tahu, urusan pernikahan selalu menyakitkan bagiku. Butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk menata hidup dan hatiku setelah Surya mengkhianatiku. Salahkah aku bila aku berharap teman-temanku memahami perasaanku?

Berkali-kali kucoba menghubungi ponsel Dwi, namun jawabannya sama: telepon yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Tentu saja! Ia tentu sudah merasa bahwa aku akan marah-marah padanya, sehingga ponselnya sengaja dimatikan. Dasar Dwi!

Kantor panitia Nikah Massal berada di gedung PT Maju Mundur. Ketika aku tiba, ruangan yang nyaman dengan pot-pot tanaman dan musik yang sayup-sayup terdengar itu hanya berisi seorang laki-laki yang sedang sibuk dengan laptop-nya.

“Permisi,” sapaku. “Pak Cahyo-nya ada? Saya ingin bertemu. Tadi sudah janjian.”

Laki-laki itu bangkit sambil tersenyum. Senyumnya manis juga. “Saya Cahyo. Bu Rani, ya? Silakan duduk.”

Aku duduk di hadapannya. Harus kuakui, ia cukup menarik. Hidungnya mancung. Garis wajahnya tegas, namun matanya memancar ramah. Rambut ikal dengan beberapa helai uban yang memantulkan cahaya lampu membuatnya kelihatan matang.

“Saya Rani Anindita, yang tadi menelepon. Saya ke sini untuk meluruskan masalah keikutsertaan saya dalam acara Nikah Massal itu.”

Pak Cahyo melirik laptop yang terbuka di hadapannya, lalu mengangguk-angguk. “Kami menerima pendaftaran atas nama Anda karena kami lihat dalam KTP Anda berstatus cerai hidup. Kami tidak tahu kalau Anda sudah menikah lagi, Mbak.”

Oh, jadi begitu. Aku mendadak ingat pernah memberi fotokopi KTP pada Dwi ketika ia mendata teman-teman sekelas menjelang reuni tempo hari. Rupanya ia mendaftarkanku sebagai peserta Nikah Massal berbekal fotokopi KTP itu. Kesebalanku muncul lagi, kali ini pada Pak Cahyo. Sok tahu sekali dia, menyebutku sudah menikah lagi.

Lagipula, kenapa panggilan “Bu” berubah menjadi “Mbak”?

“Saya belum menikah lagi,” sahutku ketus.

Pak Cahyo memandangku dengan heran. “Lalu kenapa mundur dari acara Nikah Massal?”

“Saya ini tidak punya calon suami kok disuruh ikut Nikah Massal. Terus saya ini disuruh menikah dengan siapa? Iya, saya ngerti, saya ini sudah bertahun-tahun jadi janda. Sudah waktunya saya menikah lagi. Saya ini sudah puas Pak, disakiti laki-laki. Makanya saya enggak segitunya ngebet kepengin kawin lagi! Ini kok sekarang saya disuruh ikut Nikah Massal. Maksudnya apa? Apa mau menghina saya, karena saya janda? Apa dikira saya tidak laku, tidak ada laki-laki yang mau sama saya? Apa dikira saya belum menikah lagi karena tidak punya uang?” semburku. Buru-buru kututup mulut, tapi terlambat. Kata-kata itu sudah telanjur membanjir bagai air bah. Air mata menggenang di sudut mataku. Sialan, kenapa pula aku jadi kelepasan begini?

“Oh,” Pak Cahyo memandangku dengan iba, “begitu. Kami tidak bermaksud menghina kok, Mbak. Saya rasa teman Mbak juga tidak bermaksud begitu.”

Setengah mati aku menahan isak. Aku malu sekali. Sudah cukup buruk aku marah-marah seperti itu, ditambah lagi Pak Cahyo jadi kasihan padaku. Ah, kenapa pula ia kasihan padaku? Aku tak perlu dikasihani! Dengan marah kuambil selembar tisu dari dalam tas dan kususut air mataku.

Kami terdiam beberapa saat. Kemudian, setelah mendehem, Pak Cahyo berkata, “Kalau begitu situasinya, silakan bila Mbak Rani ingin mengundurkan diri. Kami tidak akan memberi sanksi denda pada Mbak. Apalagi Mbak Rani didaftarkan oleh orang lain, bukan mendaftar sendiri.”

Seharusnya aku mengucapkan terima kasih atau apalah, tapi aku hanya terduduk diam. Semburan kemarahan tadi menghabiskan energiku. Aku lunglai seperti ban sepeda bocor yang sudah habis anginnya. Anehnya, aku justru merasa plong. Sudah lama tak kurasakan dadaku selega ini.
*****

Hari pelaksanaan Nikah Massal datang, lalu pergi. Kulihat di televisi, acara itu sukses luar biasa. PT Maju Mundur tak mengingkari janji. Mereka menyediakan fasilitas terbaik bagi para pasangan yang menikah dalam acara itu. Para pengantin berbagai usia yang mengikuti acara Nikah Massal itu tampak berseri-seri.

Doaku untuk mereka. Semoga pernikahan mereka langgeng, bahagia dunia akhirat.

Pak Cahyo juga menepati janjinya. Sejak kedatanganku ke kantor panitia Nikah Massal, aku tak diganggu lagi. Pihak panitia juga benar-benar tidak menjatuhkan denda padaku.

Seharusnya kulupakan saja acara itu. Namun aku tak bisa melupakan wajah Pak Cahyo ketika aku membentak-bentaknya di kantor panitia tempo hari. Mungkin seharusnya aku minta maaf padanya…

“Itu pengamen kok enggak pergi-pergi, ya?” gerutu Ningsih, asisten rumah tanggaku sambil mengantarkan teh hangat pesananku.

“Pengamen apa sih?” tanyaku penasaran.

“Itu Bu, orangnya kelihatan kok dari sini,” jawabnya sambil melihat ke luar jendela.

Aku ikut melongok. Di dekat pagar, seorang laki-laki menenteng gitar bersandar di pohon mangga. Keningku berkerut. Kok kayaknya aku kenal orang ini?

Laki-laki itu mendongak, melihat aku mengawasinya, lalu memberi isyarat agar aku membuka jendela. Aku terkesiap. Lho, itu kan Pak Cahyo?

Begitu aku membuka jendela, Pak Cahyo menatapku lekat-lekat lalu mulai mendendangkan lagu dangdut lawas diiringi petikan gitarnya, ”Tak semua laki-laki bersalah padamu… Contohnya aku mau mencintaimu… Tapi mengapa engkau masih ragu…”

Astaga!



5 komentar:

  1. Melongo di awal, terharu di tengah, tertawa di akhir. Rombongan jempol mba Dani!
    👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehehehe...
      matur nuwun, mbak...

      matur nuwun juga sudah mampir.

      salam buat mas al dan puput yaaa...

      Hapus
    2. Trm kasih salamnya mba Dani.
      Ketinggalan banyak dari blog ini.
      Nanti sy kembali lg ya?
      Salam..

      Hapus