Kamis, 10 November 2016

RESTUMU, IBU




Malang, 1945

“Jadi kamu sudah tidak mau kembali ke Jakarta, sudah tidak mau meneruskan studimu? Mikir apa to kamu ini, Nak…”


Sulastri menatap putranya dari seberang meja. Ia masih sulit mencerna kata-kata Seno barusan. Meninggalkan pelajarannya di Djakarta Ika Daigaku[1]? Putranya itu pasti sudah gila. Sulastri masih ingat benar betapa besar pengorbanan Kusno, almarhum suaminya, agar putra sulung mereka ini bisa masuk sekolah bergengsi itu. Agar putra kesayangan mereka yang pintar ini bisa menjadi dokter. Siapa orang tua yang tak ingin anaknya menjadi dokter? Punya anak berstatus siswa sekolah kedokteran saja sudah membuat gengsi orang tua naik berlipat-lipat. Apalagi nanti bila ia lulus.

Ah, lupakan soal gengsi. Gengsi tak penting. Yang lebih penting adalah bagaimana caranya agar Seno mengurungkan niatnya. Mau jadi apa anak ini nanti bila sekolah saja tak sampai rampung?

Seno tak membalas pandangan mata ibunya, kedua tangannya terjalin rapi di pangkuannya.

“Perang sudah selesai. Negara kita sudah merdeka. Belanda dan Jepang sudah pergi. Mestinya sebentar lagi sekolahmu dibuka lagi. Bersabarlah sebentar. Tidak usah ikut-ikut Susilo. Kalau kamu ingin jadi tentara seperti Susilo, paklik[2]-mu itu, kenapa tidak ngomong dari dulu, supaya Bapak dan Ibu tidak perlu menyekolahkan kamu jauh-jauh ke Jakarta?”

Seno tetap diam. Sulastri ikut diam, dadanya sesak. Diam-diam ia menyesali kedekatan Seno dengan Susilo, adiknya. Sepeninggal Kusno, Susilo bertindak sebagai ayah bagi Seno dan Mirah, anak-anak Sulastri. Anak-anaknya, terutama Seno, sangat mengagumi dan menghormati paklik-nya itu. Susilo pun sangat menyayangi keponakan-keponakannya. Seandainya tahu akhirnya akan seperti ini, sudah sejak dulu Sulastri membatasi kedekatan paman dan keponakan itu.

“Keadaan belum aman, Bu. Sewaktu-waktu masih ada tembak-menembak di sana-sini. Pasukan Paklik kekurangan tenaga kesehatan untuk merawat tentara yang terluka. Aku ingin membantu Paklik sambil menunggu sekolah dibuka lagi, bukan ingin berhenti sekolah.”

“Memangnya kamu bisa apa sehingga mau membantu Paklik-mu? Dia tentara, Nak. Sudah pekerjaannya blusukan ke mana-mana, memanggul senjata. Lha kamu…” Sulastri tak meneruskan kata-katanya. Pandangannya menelusuri sosok Seno. Walaupun tidak ringkih, Seno bukanlah pemuda yang kekar berotot. Tubuhnya ramping saja.

Apa jadinya anakku nanti di medan perang? Apa dia bisa mengikuti ritme hidup tentara? Siapa nanti yang mengurusi makannya? Bagaimana kalau dia sendiri terluka?

“Aku memang tidak mengerti senjata, Bu. Aku juga tak bisa menembak. Tapi aku punya ilmu. Walaupun belum lulus jadi dokter, aku punya pengetahuan yang bermanfaat buat membantu pasukan kita.”

“Hidup sebagai tentara itu berat, Nak. Jangan main-main, kamu.”

Seno mengangkat wajahnya. Dibalasnya tatapan mata ibunya. “Aku tahu, Bu. Aku bukan laki-laki lemah. Aku kan dulu pernah jadi pandu[3]…”

“Jangan samakan kepanduan dengan ketentaraan!”

Ruangan itu hening seketika. Bahkan jangkrikpun enggan bersuara, seperti ikut merasakan kemarahan Sulastri. Sulastri menghela napas. Bukan sifatnya mudah hilang sabar. Bukan kebiasaannya berkata keras pada anak-anaknya. Kenapa kali ini ia tak bisa menahan diri?

“Aku hanya ingin minta restu Ibu. Kalau Ibu tidak memberi restu, aku pun tak memaksa,” sahut Seno lirih. “Paklik juga bilang, aku boleh bergabung asal Ibu mengijinkan.”

Restu? Semudah itukah? Bila ia tak memberi restu, apakah lantas Seno batal berangkat?

Sulastri memejamkan mata. Bukannya ia tak tahu perkembangan di luar kota kecil mereka. Bukannya ia tak tahu kekacauan masih terjadi di mana-mana. Belanda mau masuk lagi. Jepang masih kalang-kabut menyusul kekalahan mereka dalam perang. Dalam surat-suratnya, Susilo mengisyaratkan gentingnya situasi yang dihadapi pasukan BKR yang dipimpinnya di Surabaya. Entahlah. Tampaknya merdeka belum berarti aman.

Tegakah ia membiarkan Seno menceburkan diri dalam kekisruhan itu? Seno, buah hatinya, kesayangannya. Seno, dengan wajah yang selalu tersenyum. Seno yang lembut hati. Seno yang pintar. Seno, putranya, tumpuan hari tuanya. Tegakah ia?

Sulastri bukannya tak mendengar kasak-kusuk tetangga yang membicarakan dirinya. Bagaimana mereka mencibir kengototannya menyekolahkan Seno di Djakarta Ika Daigaku walaupun kehidupan keluarga mereka kembang-kempis. Bagaimana mereka memandang kepatuhan Seno padanya dengan sebelah mata, menganggap Seno tak punya nyali untuk angkat senjata, betapa Seno hanya bisa berlindung di balik ketiak Sulastri.

Tapi Seno anakku, bantah Sulastri keras-keras dalam hati. Seno anakku. Salahkah aku bila aku tak ingin anakku menyabung nyawa? Salahkah aku bila aku ingin hidup dengan tenang, tanpa harus khawatir akan nasib anakku? Tanpa harus khawatir akan keselamatannya?

Ingatannya melayang pada Partini, perempuan kampung sebelah, yang tiga anak lelakinya bergabung dengan PETA dan sampai sekarang belum kembali. Tubuhnya bergidik setiap kali ingat Warsiyem yang suaminya diajak tentara Jepang untuk bekerja di Sumatera dan tidak pernah terdengar kabarnya lagi. Ia sudah melihat tatapan kosong perempuan-perempuan itu setiap kali membicarakan pria-pria terkasih mereka. Ia mengenali kerinduan, kekhawatiran, dan ketakutan yang tak terucap dari bibir mereka.

Hatinya bak diremas tangan-tangan tak kasat mata. Akankah aku seperti mereka?

Oalah Mas Kusno, aku harus bagaimana? Wajah almarhum suaminya melintas di benaknya. Sulastri belum lupa betapa besar harapan Kusno pada putra mereka. “Aku ingin putra kita jadi orang yang berguna buat orang banyak, Dik. Malu aku, kalau Seno jadi orang biasa-biasa saja. Dia pintar, lebih pintar dari aku, lebih pintar dari bapakku. Makanya kita harus perjuangkan betul agar kepintarannya itu tidak sia-sia.”


Masa lalu dan masa kini berkelindan dalam benaknya. Masih terngiang ucapan Seno barusan, “Walaupun belum lulus jadi dokter, aku punya pengetahuan yang bermanfaat buat membantu pasukan kita.”

Apakah ‘membantu pasukan kita’ sama dengan ‘berguna buat orang banyak’?

Jauh dalam lubuk hatinya, Sulastri sudah tahu jawabannya. Bukankah ia mengamini keinginan Kusno? Bukankah ia sendiri punya keinginan yang sama? Karena itu ia rela hidup prihatin, rela berpisah dengan putranya, asal Seno bisa bersekolah di Ika Daigaku. Semua pengorbanan itu, bukankah muaranya adalah “supaya Seno jadi orang yang berguna buat orang banyak”? Berguna kelak sebagai dokter, atau berguna sekarang membantu tentara, adakah bedanya?

Seandainya Kusno masih hidup, ia pasti akan mengijinkan Seno pergi. Seandainya Kusno masih hidup, kemungkinan besar malah ia sendiri akan bergabung dengan pasukan Susilo. Seno benar. Tinggal menunggu kerelaan Sulastri. 

Ia kembali memandang putranya. Seno tetap menunduk, menatap tangannya yang terjalin rapi di pangkuan. Nyala api dalam lampu minyak bergoyang-goyang, seakan-akan bermain-main. Dalam temaram cahaya, Seno tampak begitu mirip almarhum ayahnya waktu seusianya. Tak hanya sosoknya yang mirip, rupanya hati dan pikirannya pun menurun dari Kusno. Sesak di dada Sulastri makin menjadi.

Sulastri memejamkan mata. Diredakannya debar jantungnya yang meliar. Ya Allah, berilah hambaMu ini kekuatan.

“Jaga dirimu baik-baik,” kata Sulastri akhirnya.

Seno menengadah. Ia menatap wajah ibunya, tak percaya, “Bu?”

Sulastri menelan ludah, berusaha melonggarkan tenggorokannya yang terasa tersumbat. “Ibu mengijinkanmu pergi. Jaga dirimu baik-baik. Ibu hanya bisa mendoakanmu.”

Seno merosot dari duduknya, bersimpuh di kaki Sulastri. Diciumnya lutut ibunya. “Matur nuwun[4], Bu.”

Sulastri mengelus rambut ikal Seno. “Kalau kamu pergi, lalu Ibu bagaimana, Nak?” keluhnya.

Seno mengangkat wajahnya. “Ibu akan baik-baik saja,” jawabnya yakin. “Aku sudah mengajari Mirah untuk menjaga diri sekaligus menjaga Ibu. Kalau keadaan memburuk, Paklik sudah menitipkan keamanan Ibu dan Mirah pada pasukan BKR yang ada di sini. Teman-teman Paklik siap menjaga Ibu dan Mirah.”

Sulastri melongo. “Kamu sudah berunding dengan Mirah dan Susilo sebelum bicara dengan Ibu?”

“Iya, Bu,” sebuah suara menyahut dari sisi lain ruangan. Sulastri dan Seno serempak menoleh. Mirah berdiri di depan kamarnya sambil menutup mulut, salah tingkah karena keceplosan.

“Apa-apaan ini, Ibu dipojokkan seperti ini?” Sulastri pura-pura marah.

Seno dan Mirah mengerut sedikit. “Maaf, Bu,” jawab Seno lirih. Namun kemudian dilihatnya ibunya tersenyum kecil. Seno balas tersenyum.

“Sebelum aku menyusul Paklik ke Surabaya, aku ingin mengajak Ibu dan Mirah ke studio foto Baba Ong. Kita bikin foto bertiga,” kata Seno bersemangat.

“Halah, gayamu. Memangnya Mas Seno punya duit?” cibir Mirah.

“Punya, kok. Kalau duitku kurang, nanti gambarnya Mirah dipotong saja. Siapa tahu bisa mengurangi ongkos foto.”

Mirah mencubit abangnya. Seno berteriak, pura-pura kesakitan. Sulastri diam-diam berdoa. Ya Allah, berilah hambaMu ini kekuatan.
*****
Malang, 2016

Sawitri menatap foto yang dibingkai rapi di ruang keluarga. Seorang wanita berkebaya duduk diapit pemuda berpeci dan pemudi berkepang dua. Foto kuno milik Mirah, neneknya. Sejenak tangannya berhenti menata bunga-bunga dalam vas.

“Eyang Mirah waktu masih muda cantik ya Bu.”

Sawitri menoleh. Wita, putrinya, berdiri di sampingnya, ikut memandangi foto itu. Jemarinya yang gendut menunjuk pemudi berkepang dua. Sawitri tersenyum. “Iya. Cantiknya khas orang kuno.”

“Yang laki-laki itu Eyang Seno, kan?”

Sawitri mengangguk.

“Eyang Seno makamnya di mana, Bu? Kok kita enggak pernah nyekar[5] Eyang Seno?”

“Tak ada yang tahu nasib Mas Seno, masih hidup atau sudah meninggal. Kalau sudah meninggal, makamnya di mana, juga tidak ada yang tahu. Terakhir dia bertugas waktu Peristiwa Sepuluh Nopember itu. Setelah itu dia tak pernah kembali ke Markas. Buatku, yang penting Ibu sudah mengikhlaskan Mas Seno. Kalau Ibu ikhlas, aku juga ikhlas.”

Kata-kata Mirah masih terngiang di telinga Sawitri, masih sama jelasnya seperti ketika ia menanyakan keberadaan Seno pada Mirah bertahun-tahun lalu. Masih diingatnya betapa perempuan sepuh itu menyusut sudut matanya dengan sapu tangan. Suaranya bergetar, namun bibirnya tersenyum.

“Buatku, yang penting Ibu sudah mengikhlaskan Mas Seno. Kalau Ibu ikhlas, aku juga ikhlas.”

Sawitri menatap mata bening Wita. Dielusnya rambut ikal Wita. “Kita doakan saja, yuk,” ajaknya.

Sesaat sebelum menutup mata untuk berdoa, dibacanya tulisan tangan Mirah di sudut foto itu. “Mirah, Ibu, Seno. Kita akan bersama lagi. Nopember ’05[6].”


[1] Sekolah Kedokteran masa penjajahan Jepang
[2] Paman, adik ayah atau ibu
[3] Sekarang Pramuka
[4] Terima kasih
[5] Mengunjungi makam kerabat untuk mendoakan mereka. Seringkali disertai tabur bunga.
[6] ’05 atau 2605 menurut Tahun Jepang, adalah tahun 1945 menurut Tahun Masehi.





3 komentar:

  1. terima kasih, Pak.

    terima kasih juga sudah mampir.

    BalasHapus
  2. Weh jadi mewek mengkis2 aku mba Dani....

    BalasHapus
    Balasan
    1. matur nuwun, Mbak.

      matur nuwun juga sudah mampir.

      salam buat Put dan Mas Al yaaa...

      Hapus