Malang,
1945
“Jadi kamu sudah
tidak mau kembali ke Jakarta, sudah tidak mau meneruskan studimu? Mikir apa to kamu ini, Nak…”
Sulastri menatap
putranya dari seberang meja. Ia masih sulit mencerna kata-kata Seno barusan.
Meninggalkan pelajarannya di Djakarta Ika
Daigaku[1]?
Putranya itu pasti sudah gila. Sulastri masih ingat benar betapa besar
pengorbanan Kusno, almarhum suaminya, agar putra sulung mereka ini bisa masuk
sekolah bergengsi itu. Agar putra kesayangan mereka yang pintar ini bisa
menjadi dokter. Siapa orang tua yang tak ingin anaknya menjadi dokter? Punya
anak berstatus siswa sekolah kedokteran saja sudah membuat gengsi orang tua
naik berlipat-lipat. Apalagi nanti bila ia lulus.
Ah, lupakan soal
gengsi. Gengsi tak penting. Yang lebih penting adalah bagaimana caranya agar
Seno mengurungkan niatnya. Mau jadi apa anak ini nanti bila sekolah saja tak
sampai rampung?
Seno tak
membalas pandangan mata ibunya, kedua tangannya terjalin rapi di pangkuannya.
“Perang sudah
selesai. Negara kita sudah merdeka. Belanda dan Jepang sudah pergi. Mestinya
sebentar lagi sekolahmu dibuka lagi. Bersabarlah sebentar. Tidak usah ikut-ikut
Susilo. Kalau kamu ingin jadi tentara seperti Susilo, paklik[2]-mu
itu, kenapa tidak ngomong dari dulu, supaya Bapak dan Ibu tidak perlu
menyekolahkan kamu jauh-jauh ke Jakarta?”
Seno tetap diam.
Sulastri ikut diam, dadanya sesak. Diam-diam ia menyesali kedekatan Seno dengan
Susilo, adiknya. Sepeninggal Kusno, Susilo bertindak sebagai ayah bagi Seno dan
Mirah, anak-anak Sulastri. Anak-anaknya, terutama Seno, sangat mengagumi dan
menghormati paklik-nya itu. Susilo
pun sangat menyayangi keponakan-keponakannya. Seandainya tahu akhirnya akan
seperti ini, sudah sejak dulu Sulastri membatasi kedekatan paman dan keponakan
itu.
“Keadaan belum
aman, Bu. Sewaktu-waktu masih ada tembak-menembak di sana-sini. Pasukan Paklik kekurangan tenaga kesehatan untuk
merawat tentara yang terluka. Aku ingin membantu Paklik sambil menunggu sekolah dibuka lagi, bukan ingin berhenti
sekolah.”
“Memangnya kamu
bisa apa sehingga mau membantu Paklik-mu?
Dia tentara, Nak. Sudah pekerjaannya blusukan ke mana-mana, memanggul senjata.
Lha kamu…” Sulastri tak meneruskan kata-katanya. Pandangannya menelusuri sosok
Seno. Walaupun tidak ringkih, Seno bukanlah pemuda yang kekar berotot. Tubuhnya
ramping saja.
Apa jadinya
anakku nanti di medan perang? Apa dia bisa mengikuti ritme hidup tentara? Siapa
nanti yang mengurusi makannya? Bagaimana kalau dia sendiri terluka?
“Aku memang
tidak mengerti senjata, Bu. Aku juga tak bisa menembak. Tapi aku punya ilmu. Walaupun
belum lulus jadi dokter, aku punya pengetahuan yang bermanfaat buat membantu
pasukan kita.”
“Hidup sebagai
tentara itu berat, Nak. Jangan main-main, kamu.”
Seno mengangkat
wajahnya. Dibalasnya tatapan mata ibunya. “Aku tahu, Bu. Aku bukan laki-laki
lemah. Aku kan dulu pernah jadi pandu[3]…”
“Jangan samakan
kepanduan dengan ketentaraan!”
Ruangan itu
hening seketika. Bahkan jangkrikpun enggan bersuara, seperti ikut merasakan
kemarahan Sulastri. Sulastri menghela napas. Bukan sifatnya mudah hilang sabar.
Bukan kebiasaannya berkata keras pada anak-anaknya. Kenapa kali ini ia tak bisa
menahan diri?
“Aku hanya ingin
minta restu Ibu. Kalau Ibu tidak memberi restu, aku pun tak memaksa,” sahut
Seno lirih. “Paklik juga bilang, aku
boleh bergabung asal Ibu mengijinkan.”
Restu? Semudah
itukah? Bila ia tak memberi restu, apakah lantas Seno batal berangkat?
Sulastri
memejamkan mata. Bukannya ia tak tahu perkembangan di luar kota kecil mereka.
Bukannya ia tak tahu kekacauan masih terjadi di mana-mana. Belanda mau masuk
lagi. Jepang masih kalang-kabut menyusul kekalahan mereka dalam perang. Dalam
surat-suratnya, Susilo mengisyaratkan gentingnya situasi yang dihadapi pasukan
BKR yang dipimpinnya di Surabaya. Entahlah. Tampaknya merdeka belum berarti
aman.
Tegakah ia
membiarkan Seno menceburkan diri dalam kekisruhan itu? Seno, buah hatinya,
kesayangannya. Seno, dengan wajah yang selalu tersenyum. Seno yang lembut hati.
Seno yang pintar. Seno, putranya, tumpuan hari tuanya. Tegakah ia?
Sulastri
bukannya tak mendengar kasak-kusuk tetangga yang membicarakan dirinya.
Bagaimana mereka mencibir kengototannya menyekolahkan Seno di Djakarta Ika Daigaku walaupun kehidupan
keluarga mereka kembang-kempis. Bagaimana mereka memandang kepatuhan Seno
padanya dengan sebelah mata, menganggap Seno tak punya nyali untuk angkat
senjata, betapa Seno hanya bisa berlindung di balik ketiak Sulastri.
Tapi Seno
anakku, bantah Sulastri keras-keras dalam hati. Seno anakku. Salahkah aku bila
aku tak ingin anakku menyabung nyawa? Salahkah aku bila aku ingin hidup dengan
tenang, tanpa harus khawatir akan nasib anakku? Tanpa harus khawatir akan
keselamatannya?
Ingatannya
melayang pada Partini, perempuan kampung sebelah, yang tiga anak lelakinya
bergabung dengan PETA dan sampai sekarang belum kembali. Tubuhnya bergidik
setiap kali ingat Warsiyem yang suaminya diajak tentara Jepang untuk bekerja di
Sumatera dan tidak pernah terdengar kabarnya lagi. Ia sudah melihat tatapan
kosong perempuan-perempuan itu setiap kali membicarakan pria-pria terkasih mereka.
Ia mengenali kerinduan, kekhawatiran, dan ketakutan yang tak terucap dari bibir
mereka.
Hatinya bak
diremas tangan-tangan tak kasat mata. Akankah aku seperti mereka?
Oalah Mas Kusno,
aku harus bagaimana? Wajah almarhum suaminya melintas di benaknya. Sulastri
belum lupa betapa besar harapan Kusno pada putra mereka. “Aku ingin putra kita
jadi orang yang berguna buat orang banyak, Dik. Malu aku, kalau Seno jadi orang
biasa-biasa saja. Dia pintar, lebih pintar dari aku, lebih pintar dari bapakku.
Makanya kita harus perjuangkan betul agar kepintarannya itu tidak sia-sia.”
Masa lalu dan
masa kini berkelindan dalam benaknya. Masih terngiang ucapan Seno barusan,
“Walaupun belum lulus jadi dokter, aku punya pengetahuan yang bermanfaat buat membantu
pasukan kita.”
Apakah ‘membantu
pasukan kita’ sama dengan ‘berguna buat orang banyak’?
Jauh dalam lubuk
hatinya, Sulastri sudah tahu jawabannya. Bukankah ia mengamini keinginan Kusno?
Bukankah ia sendiri punya keinginan yang sama? Karena itu ia rela hidup
prihatin, rela berpisah dengan putranya, asal Seno bisa bersekolah di Ika Daigaku. Semua pengorbanan itu,
bukankah muaranya adalah “supaya Seno jadi orang yang berguna buat orang
banyak”? Berguna kelak sebagai dokter, atau berguna sekarang membantu tentara,
adakah bedanya?
Seandainya Kusno
masih hidup, ia pasti akan mengijinkan Seno pergi. Seandainya Kusno masih
hidup, kemungkinan besar malah ia
sendiri akan bergabung dengan pasukan Susilo. Seno benar. Tinggal menunggu
kerelaan Sulastri.
Ia kembali
memandang putranya. Seno tetap menunduk, menatap tangannya yang terjalin rapi
di pangkuan. Nyala api dalam lampu minyak bergoyang-goyang, seakan-akan
bermain-main. Dalam temaram cahaya, Seno tampak begitu mirip almarhum ayahnya
waktu seusianya. Tak hanya sosoknya yang mirip, rupanya hati dan pikirannya pun
menurun dari Kusno. Sesak di dada Sulastri makin menjadi.
Sulastri
memejamkan mata. Diredakannya debar jantungnya yang meliar. Ya Allah, berilah
hambaMu ini kekuatan.
“Jaga dirimu
baik-baik,” kata Sulastri akhirnya.
Seno menengadah.
Ia menatap wajah ibunya, tak percaya, “Bu?”
Sulastri menelan
ludah, berusaha melonggarkan tenggorokannya yang terasa tersumbat. “Ibu
mengijinkanmu pergi. Jaga dirimu baik-baik. Ibu hanya bisa mendoakanmu.”
Seno merosot
dari duduknya, bersimpuh di kaki Sulastri. Diciumnya lutut ibunya. “Matur nuwun[4],
Bu.”
Sulastri
mengelus rambut ikal Seno. “Kalau kamu pergi, lalu Ibu bagaimana, Nak?”
keluhnya.
Seno mengangkat
wajahnya. “Ibu akan baik-baik saja,” jawabnya yakin. “Aku sudah mengajari Mirah
untuk menjaga diri sekaligus menjaga Ibu. Kalau keadaan memburuk, Paklik sudah menitipkan keamanan Ibu dan
Mirah pada pasukan BKR yang ada di sini. Teman-teman Paklik siap menjaga Ibu dan Mirah.”
Sulastri
melongo. “Kamu sudah berunding dengan Mirah dan Susilo sebelum bicara dengan
Ibu?”
“Iya, Bu,”
sebuah suara menyahut dari sisi lain ruangan. Sulastri dan Seno serempak
menoleh. Mirah berdiri di depan kamarnya sambil menutup mulut, salah tingkah karena
keceplosan.
“Apa-apaan ini,
Ibu dipojokkan seperti ini?” Sulastri pura-pura marah.
Seno dan Mirah
mengerut sedikit. “Maaf, Bu,” jawab Seno lirih. Namun kemudian dilihatnya
ibunya tersenyum kecil. Seno balas tersenyum.
“Sebelum aku
menyusul Paklik ke Surabaya, aku
ingin mengajak Ibu dan Mirah ke studio foto Baba Ong. Kita bikin foto bertiga,”
kata Seno bersemangat.
“Halah, gayamu.
Memangnya Mas Seno punya duit?” cibir Mirah.
“Punya, kok.
Kalau duitku kurang, nanti gambarnya Mirah dipotong saja. Siapa tahu bisa
mengurangi ongkos foto.”
Mirah mencubit
abangnya. Seno berteriak, pura-pura kesakitan. Sulastri diam-diam berdoa. Ya
Allah, berilah hambaMu ini kekuatan.
*****
Malang,
2016
Sawitri menatap
foto yang dibingkai rapi di ruang keluarga. Seorang wanita berkebaya duduk diapit
pemuda berpeci dan pemudi berkepang dua. Foto kuno milik Mirah, neneknya.
Sejenak tangannya berhenti menata bunga-bunga dalam vas.
“Eyang Mirah
waktu masih muda cantik ya Bu.”
Sawitri menoleh.
Wita, putrinya, berdiri di sampingnya, ikut memandangi foto itu. Jemarinya yang
gendut menunjuk pemudi berkepang dua. Sawitri tersenyum. “Iya. Cantiknya khas
orang kuno.”
“Yang laki-laki
itu Eyang Seno, kan?”
Sawitri
mengangguk.
“Eyang Seno
makamnya di mana, Bu? Kok kita enggak pernah nyekar[5] Eyang
Seno?”
“Tak ada yang tahu nasib Mas Seno, masih hidup atau
sudah meninggal. Kalau sudah meninggal, makamnya di mana, juga tidak ada yang
tahu. Terakhir dia bertugas waktu Peristiwa Sepuluh Nopember itu. Setelah itu
dia tak pernah kembali ke Markas. Buatku, yang penting Ibu sudah mengikhlaskan
Mas Seno. Kalau Ibu ikhlas, aku juga ikhlas.”
Kata-kata Mirah
masih terngiang di telinga Sawitri, masih sama jelasnya seperti ketika ia
menanyakan keberadaan Seno pada Mirah bertahun-tahun lalu. Masih diingatnya
betapa perempuan sepuh itu menyusut sudut matanya dengan sapu tangan. Suaranya
bergetar, namun bibirnya tersenyum.
“Buatku, yang penting Ibu sudah mengikhlaskan Mas Seno.
Kalau Ibu ikhlas, aku juga ikhlas.”
Sawitri menatap
mata bening Wita. Dielusnya rambut ikal Wita. “Kita doakan saja, yuk,” ajaknya.
Sesaat sebelum
menutup mata untuk berdoa, dibacanya tulisan tangan Mirah di sudut foto itu. “Mirah, Ibu, Seno. Kita akan bersama lagi. Nopember
’05[6].”
terima kasih, Pak.
BalasHapusterima kasih juga sudah mampir.
Weh jadi mewek mengkis2 aku mba Dani....
BalasHapusmatur nuwun, Mbak.
Hapusmatur nuwun juga sudah mampir.
salam buat Put dan Mas Al yaaa...